Itu salah satu pertanyaan netizen di kolom komentar. Jika yang disebut beriman adalah “mempercayai sesuatu”, mungkin betul. Khususnya, mengimani bahwa virus itu nyata. Seperti yang dialami pasien Covid-19 yang sekamar denganku.
Awalnya dia tidak percaya virus Corona itu nyata. Pergi kerja setiap hari, di ruang ber-AC berjam-jam, di ruangan banyak orang, kadang pakai masker kadang tidak. Nongkrong beramai ke sana ke mari. Mengira Covid-19 itu konspirasi pemerintah.
Setelah terkena Covid-19 dan merasakan gejala hebat sesak napas yang membuatnya merasa mau mati, dia baru percaya bahwa serangan virus yang menyerang tubuh itu nyata. Selama di RS, setiap terima telepon dari saudara dan teman, dia memberitahu bahwa virus itu nyata. Dan, meminta agar mengikuti protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Buatku, tak harus jadi pasien Covid-19 dulu untuk percaya virus itu nyata. Percaya eksistensi virus itu bagiku bukan dengan iman. Dengan sains, keberadaan virus bisa dibuktikan. Pun, tak harus kuliah Mikrobiologi 4 SKS dulu untuk percaya virus itu benar ada. Aku memang menjalani kuliah itu karena mata kuliah wajib. Kalau studi Biologi tidak percaya virus itu nyata, mungkin bisa dicabut gelarnya. 😁
Tapi kalau yang disebut beriman adalah percaya yang kaitannya dengan agama, itu sifatnya personal. Aku tidak tahu secara pasti kondisi religiusitas pasien lain.
Bagiku, penyakit akibat virus yang menyebar di seluruh penjuru bumi ini adalah peristiwa alam. Virus punya sifat viral, menular dan menyebar. Bisa dari satu individu ke individu lain. Kematian juga peristiwa alam. Manusia punya insting mempertahankan hidup dan mampu mencari solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan kehidupan.
Kalau dapat nasihat agar selama karantina sebaiknya banyak berdoa, dzikir, salat, dan mendengarkan murattal, bagiku itu setara dengan nasihat untuk meditasi dan mendengarkan musik. Intinya untuk membantu menenangkan batin. Dan, aku percaya doa-doa kebaikan direspon baik oleh alam semesta.
Jika “lebih beriman” dikaitkan dengan ritual keagamaan atau religiusitas, misalnya makin banyak hafalan ayat atau mengubah penampilan jadi agamis, adanya Covid-19 tidak membuatku makin religius.
Keadaan luar biasa ini memang membuatku makin banyak melakukan refleksi, tapi sepertinya tidak bersifat religius.
Keimanan seseorang, bagiku bukan ukuran kebaikan manusia. Iman tidak serta merta membuat manusia menghargai kemanusiaan. Bagaimana seseorang beriman hanyalah tentang sudut pandangnya terhadap suatu hal dan keadaan. Demikian. Semoga netizen tidak kecewa. ❤️
Catatan 27 September 2020