Islam merupakan agama dengan perjalanan sejarah yang begitu panjang. Islam sebagai suatu sistem kepercayaan agama yang terstruktur, baru diturunkan pada abad ke-7 M. Hal ini menjadikan agama islam sebagai adik bungsu dari tiga agama monoteisme samawi bersaudara. Dua agama lain yaitu Yahudi dan Kristen. Namun, dalam beberapa pandangan umat muslim, nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam keyakinan terdahulu juga adalah bentuk dari ajaran islam.
Cikal bakal islam sebagai sebuah sistem kepercayaan yang komplek sudah dimulai jauh sebelum agama Yahudi dimandatkan kepada Nabi Musa a.s, yakni dimulai oleh Nabi Ibrahim a.s. Antara agama Yahudi, Kristen, maupun Islam sepakat dalam menempatkan Nabi Ibrahim a.s. sebagai Bapak Monoteisme Samawi dan bapak bagi para nabi.
Agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim a.s bukanlah Yahudi, Kristen, ataupun Islam, tetapi menjadi permulaan dari diturunkan ketiga agama tersebut. Muarid dalam buku Monoteisme Agama Samawi (2018: 9) menjelaskan jika masyarakat Makkah pada masa Nabi Muhammad saw. menyebut peninggalan ajaran Nabi Ibrahim a.s. ini sebagai ajaran Hanifiyah, dan hanya menyisakan empat pengikut setia kala itu.
Pada rentan waktu abad ke-8 hingga abad ke-13, Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia, terutama bagi peradaban barat. Pasalnya, pada masa itu Eropa masih sibuk bergulat dengan tindakan otoritarianisme gereja yang memegang kendali penuh atas klaim kebenaran.
Kemajuan islam tidak begitu saja terjadi hanya karena barat mengalami kemunduran. Namun, keterbukaan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan yang menjadi faktor utamanya. Upaya itu diawali dengan menerjemahkan teks-teks peninggalan filsafat Yunani dan melakukan studi terhadapnya.
Pemikir muslim tidak berhenti hanya sebagai pengkaji saja, mereka juga melakukan kritik terhadap filsafat Yunani yang memprioritaskan rasio-idealistik dan tak jarang bersifat spekulatif. Pemikir muslim menyeimbangkan hal tersebut dengan menerapkan observasi-empirik-eksperimental dalam metode keilmuan mereka (Bagir Haidar, 2019:106).
Alhasil nama-nama seperti Ibn Sina, Zakaria ar-Razi, al-Khawarizmi, dan banyak ilmuwan lainnya berhasil tidak hanya sebagai ahli metafisika. Namun juga dalam ilmu-ilmu pasti seperti biologi, kimia, fisika, dan matematika.
Kemunduran peradaban islam di kemudian hari diikuti dengan pergerakan pemikir barat yang sudah sejak lama mengutuk otoritarianisme gereja. Perkembangan pemikiran Barat semakin pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, politik, dan militer di sana. Hal ini menyebabkan gereja meningkatkan aktivitas kristenisasi di Asia dan Afrika sebagai bagian dari kolonialisme, dengan tujuan merubah pandangan masyarakat terhadap Barat.
Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris membuat mereka sedikit banyak belajar tentang budaya, bahasa, ilmu pengetahuan umat islam. Meski begitu, para misionaris tetap dalam koridor tujuan mereka, yakni kristenisasi dengan cara membandingkan agama mereka dengan agama masyarakat setempat terutama islam (Cholili, 2018:4). Pandangan terhadap islam semacam ini yang nantinya akan melahirkan pandangan orientalis dari Barat.
Para orientalis generasi pertama lebih cenderung menggambarkan islam sesuai dengan pandangan subjektif mereka. Abd. Rahim (2018:187) menerangkan bahwa terjemahan yang dilakukan terhadap teks-teks islam berbahasa arab juga tidak luput dari hal tersebut, seperti menggambarkan Nabi Muhammad Saw. sebagai Tuhan, pendusta, penggemar wanita, tukang sihir, atau bahkan sebagai seorang kristen yang murtad.
Tulisan-tulisan yang memperkenalkan islam secara obyektif dan positif baru muncul pada akhir abad ke-19, dengan tujuan agar dunia islam dapat diketahui dan dipahami secara mendalam. Meski hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya kolonialisme dan kristenisasi. Di antara para orientalis ternama ialah Sir Hamilton A.R. Gibb, Louis Massignon, W. C. Smith, dan masih banyak lagi.
Pada kurun waktu yang sama, sementara barat memandang islam sebagai agama yang pernah menjadi pusat peradaban, umat islam masih berupaya mengembalikan masa keemasan di masa lalu. Kesadaran akan kemunduran dan keterpurukan peradaban islam, melahirkan pandangan perlunya reaktualisasi nilai-nilai islam pada masa kejayaan di kalangan umat islam sendiri.
Pandangan ini memberi dampak positif dengan menghasilkan penemuan kembali aspek sejarah dan pencapaian islam yang dilupakan. Sebagaimana penjelasan Naufal Cholili, (2018:6-7), kecintaan terhadap warisan tradisi masa keemasan yang berlebihan mengakibatkan pengetahuan yang dihasilkan bersifat subjektif, memihak, dan apologis.
Saat ini islam menjadi agama dengan pertumbuhan paling pesat di Dunia. Dilansir dari tulisan Ahmad Khadafi (2021) pada laman tirto.id penelitian Pew Research Center pada tahun 2010 populasi umat islam dunia adalah 23,2% dari total populasi dunia, dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 24,1% dari total populasi dunia, serta akan diperkirakan akan menjadi 30% tiga puluh lima tahun kemudian.
Pertumbuhan populasi umat islam yang sangat cepat bukan hanya karena telah diterimanya islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Melainkan, karena tingginya tingkat kesuburan dan kelahiran umat islam itu sendiri.
Belum diterimanya islam sebagai agama pembawa perdamaian secara penuh juga terbukti dari masih maraknya islamophobia. Terlebih pasca peristiwa penyerangan gedung WTC pada 11 September 2001. Hal ini diperparah dengan konflik intra-agama di timur tengah, yang terkadang lebih keras dari konflik antar agama di masa lalu.
Dalam bentuk ekstrem, dapat diambil ISIS dan gerakan sejenisnya sebagai contoh, mereka tampil lebih garang dan sadis terhadap sesama muslim (Bagir Haidar, 2019:241). Dalam bentuk lainnya, dapat ditemukan banyak sekali aliran dalam islam yang dengan mudah saling mengkafirkan satu sama lain, bahkan terjadi di Indonesia.
Fenomena menampilkan wajah islam yang garang ke hadapan dunia maupun ke hadapan saudara sesama muslim ini, sepatutnya sudah mulai dihentikan. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin harusnya lebih bersikap welas asih, karena perdamaian tak lain adalah makna literal dari nama Islam itu sendiri.