Penentuan awal bulan Qamariah secara garis besar menggunakan dua metode, yaitu rukyatul hilal (pengamatan Hilal) dan hisab (perhitungan). Di Indonesia metode penetapan awal bulan dengan menggunakan metode ini dipresentasikan oleh dua organisasi masyarakat besar, yakni Nahdlatul Ulama menggunakan rukyatul hilal dan Muhammadiyah menggunakan hisab.
Rukyatul hilal (pengamatan Hilal) adalah pengamatan atau observasi terhadap hilal, yakni lengkungan bulan Sabit paling tipis yang berketinggian rendah di atas ufuk barat pasca Matahari terbenam (ghurub) dan bisa diamati. Bagaimana cara mengamati hilal atau bulan Sabit?
Cara pengamatannya untuk saat ini terbagi menjadi tiga, mulai mengandalkan mata telanjang, mata dibantu alat optik (umumnya teleskop) hingga yang termutakhir alat optik (umumnya teleskop) terhubung sensor/kamera. Dari ketiga cara tersebut, maka keterlihatan hilal pun terbagi menjadi tiga pula, mulai dari kasat mata telanjang (bil fi’li), kasat mata teleskop, dan kasat-citra.
Sedangkan hisab adalah perhitungan dalam penentuan waktu-waktu ibadah seperti waktu salat, awal bulan, gerhana, dan arah kiblat. Istilah hisab dikenal dengan beberapa macam, yakni urfi (kebiasaab), hakiki (kedudukan bulan pada saat matahari terbenam). Hisab hakiki terbagi tiga: taqribi, hakiki bit tahqiq, hakiki bi tadqiq al-ashri (kontemporer).
Dua metode di atas, NU berpendapat bahwa hitungan hisab bersifat “prediktif”. Kesahihannya harus diuji dengan pengamatan/observasi Hilal di lapangan (rukyat al-hilal bi al-fi’li) yang merupakan asas ta’abbudi, yakni patuh menjalankan seluruh nash yang ada dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta kontrol terhadap pelaporan “rukyat” yang tidak akurat serta menambah kekuatan iman. Walhasil, pelaksanaannya berimplikasi pada hukum fardlu kifayah. Oleh karena itu, penyelenggaraan Rukyatul hilal bil fi’li selalu dilaksanakan meskipun posisi hilal masih di bawah ufuk atau belum imkanur rukyat (tidak mungkin diamati).
Berdasarkan data hisab Lembaga Falakiyah PBNU menggunakan sistem hisab jama’i (tahqiqi tadqiqi ‘ashri kontemporer), posisi hilal pada tanggal 29 Ramadan 1441 H yang bertepatan dengan Jum’at Pon, 22 Mei 2020 M bertempat di markaz nasional Gedung PBNU Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat dengan koordinat 6º 11’ 25” LS 106º 50’ 50” BT, sebagai berikut:
Ijtimak Sabtu 23 Mei 2020 pukul 00:39:35 WIB, Tinggi hilal –3º 54’ 05”, dan Letak Matahari terbenam 20º 44’ 00” utara titik barat.
Hasil pengamatan tersebut nantinya NU melalui Lembaga Falakiyah PBNU akan mengikhbarkan 1 Syawal 1441 H pada Sabtu, 23 Mei 2020 M apabila pengamatan hilal terlihat. Tetapi apabila hilal tidak terlihat maka akan meng-istikmal-kan (menyempurnakan) menjadi 30 hari, yakni 1 Syawal 1441 H jatuh pada Ahad, 24 Mei 2020 M. Proses penentuan ini didasarkan pada ajaran Rasulullah saw, dan sekaligus sebagai bentuk komitmen untuk melaksanakan kesepakatan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI dan Ormas Islam se-Indonesia tahun 2003. Kesepakatan itu bahwa penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan pada metode rukyat dan hisab.
Bagaimana dengan Muhammadiyah?
Muhammadiyah merujuk keputusan Putusan Tarjih XXVI, 2003 sebagaimana termuat dalam buku “Pedoman Hisab Muhammadiyah” yang diterbitkan oleh “Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah” tahun 2009 bahwa dalam penentuan awal bulan Qamariah menyatakan Hisab sama kedudukannya dengan rukyat.
Hisab yang dimaksud untuk penentuan awal bulan baru Qamariah di lingkungan Muhammadiyah adalah hisab hakiki wujud al-hilal. Dalam hisab hakiki wujud al-hilal, bulan baru Qamariah dimulai apabila telah terpenuhi tiga kriteria berikut:
1) Telah terjadi ijtimak (konjungsi);
2) Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum matahari terbenam;
3) Pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan Sabit berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).
Ketiga kriteria di atas penggunaannya adalah secara kumulatif. Artinya, ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka bulan baru belum mulai.
Berkaitan dengan penentuan awal syawal 1441 H Muhammadiyah menetapkan Berdasarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/E/2020 tertanggal 01 Rajab 1441 H/25 Februari 2020 M tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1441 H bahwa Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan ini mengumumkan awal Syawal 1441 H berdasarkan hasil hisab “hakiki wujudul hilal” yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai berikut:
Ijtimak jelang Syawal 1441 H terjadi pada hari Sabtu Wage, 23 Mei 2020 M pukul 00:41:57 WIB. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta -07°48’ (LS) dan 110°21’ (BT) = +06°43’ 31” (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di atas ufuk. Maka 1 Syawal 1441 H jatuh pada hari Ahad Kliwon, 24 Mei 2020 M.
Insya Allah, Idul Fitri 1 Syawal 1441 H akan diperingati pada hari dan tanggal yang sama. Semoga menjadi berkah buat bangsa.
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1441 H