Saya juga ingin menulis tentang sosok yang paling besar jasanya dalam hidup saya: Ibu saya. Satu-satunya orang yang ayah tinggalkan untuk saya setelah ia meninggal dunia 17 tahun silam. Perempuan yang paling sering saya sakiti hatinya.
Ibu tidak punya pendidikan yang tinggi. Ia tidak tamat Sekolah Dasar. Hanya bisa membaca dan berhitung. Tapi kedua ilmu dasar saya belajar langsung dari Ibu. Bukan dari guru di sekolah. Saya sudah bisa mengeja dan membaca, sebelum masuk ke sekolah. Saya juga sudah bisa berhitung hitungan dasar seperti perkalian sampai sepuluh, juga sebelum masuk sekolah. Semua diajar langsung oleh Ibu.
Maski Ibu tidak tamat sekolah, ia menuntut saya untuk sekolah setinggi-tingginya. Kerja keras mencari uang untuk biaya pendidikan saya. Ayah saya meninggal ketika saya masih begitu kecil. Tidak meninggalkan apa-apa. Kecuali Ibu untuk saya dan saya untuk Ibu.
Suatu hari saya pernah meminta uang kepada Ibu untuk membeli smartphone. Ibu tidak memberi. Tidak ada uang, katanya. Lalu seminggu setelah itu saya tanya Ibu lagi, apakah ada uang. Saya mau ikut tes sertifikat Bahasa Inggris sebagai syarat untuk daftar beasiswa S2. Ibu mengatakan bahwa uangnya ada.
Lalu saya tanya, “Minggu lalu kata Mamak tidak ada uang?”
“Kalau untuk membeli handphone memang tidak ada. Untuk membeli hal-hal yang tidak perlu, Mamak tidak punya uang. Tapi kalau itu untuk pendidikan dan sekolahmu, Mamak pasti akan usahakan uangnya ada.” Begitu jawaban Ibu saat itu.
Setelah ayah meninggal, semua kebutuhan saya Ibu yang menanggung. Tanpa pernah minta bantuan sana-sini. Sebab itu pula, Ibu tidak pernah sempat menabung. Bahkan untuk membangun rumah atau membeli kebutuhannya. Semua uangnya ia habiskan untuk keperluan saya. Anak lelakinya.
Saya sekolah di pesantren enam tahun. Lalu kuliah di Jogja delapan tahun, S1 dan S2. Hanya ketika S1, Ibu tidak banyak mengirim saya uang. Karena saat itu saya mendapat beasiswa dari Kemenag. Saat S2 saya dibiayai lagi oleh Ibu. Ibu tidak pernah meminta saya untuk bekerja. Ia lebih suka jika saya fokus kuliah dan belajar saja.
Ibu pernah bilang ke saya, “Nak, Mamak sejak dulu dididik oleh Datukmu untuk hidup mandiri. Mamak sudah terbiasa sejak kecil mencari uang sendiri. Perempuan tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada laki-laki. Jika dulu Mamak hanya bergantung kepada ayahmu dan tidak bisa mencari uang sendiri, maka setelah ayahmu meninggal sudah lama kita tidak makan dan kau putus sekolah.
“Saat kau S1 dengan biaya dari pemerintah dulu, saat itulah Mamak ada kesempatan menabung. Uangnya Mamak belikan kebun di kampung. Mamak hanya tidak ingin menyusahkanmu di masa depan. Meski kau sudah sekolah tinggi, belum tentu nanti kau bisa menghidupi Mamak.”
“Setidaknya, hasil dari kebun itu cukup untuk kebutuhan hidup Mamak ketika nanti Mamak tidak kuat lagi bekerja. Dan kau sudah sibuk mengurus keluargamu. Anak dan istrimu. Mamak terbiasa memegang uang dan tidak pernah meminta kepada orang, meski itu anak Mamak sendiri.” Begitulah kata-kata Ibu yang terus saya ingat.
Konsep hidup Ibu itu saya baca di banyak buku. Tentang bagaimana seharusnya perempuan itu. Perempuan harus mandiri. Tidak menggantungkan hidupnya kepada laki-laki.
Ibu memang tidak tamat sekolah. Ibu tidak pernah belajar di ruang-ruang kampus. Ibu tidak pernah tau tentang teori-teori itu. Ibu juga tidak pernah membaca buku-buku tentang isi kesetaraan gender. Tapi Ibu sudah mempraktekkannya sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Sebagai penutup, untuk kalian yang membaca tulisan ini, saya minta doa untuk Ibu saya dan ibu-ibu kita semua. Agar mereka selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang. Dan saya, kita, punya kesempatan untuk membahagiakan mereka.
Selamat Hari Ibu, untuk semua perempuan yang luar biasa.