Kemas M. Intizham
Penulis Kolom

Lahir di Jambi. Kuliah S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sekarang mengajar di Pesantren An-Nur dan UIN Sultan Thaha Jambi.

Dari Sepak Bola hingga Mantan Pacar, Kenapa Kita Membenci Hal yang Seharusnya Tidak Perlu Dibenci?

Cetak Dua Gol Lionel Messi Samai Rekor 12 Musim Beruntun Milik Cristiano Ronaldo Xwyhcuapjx

Saat masih berusia 18 tahunan, saya hanya mempunyai sedikit sekali daftar kebencian dalam kepala saya. Seingat saya, hanya ada tiga hal yang saya benci saat itu: Juventus, Bercelona, dan mantan pacar. Mungkin juga karena saat itu saya baru lulus dari pesantren. Jadi pikiran saya belum terlalu banyak dipengaruhi oleh berita hoax dan hal negatif dari isi bumi yang luas ini.

Untuk mengantar tulisan ini, saya akan tuliskan sedikit alasan saya membenci tiga hal di atas:

Pertama. Alasan membenci Juventus adalah kerena saya seorang fans Inter Milan. Hanya itu. Saya seperti wajib membenci tim dari kota Turin itu. Tidak peduli itu adalah salah satu tim sepakbola terbaik di dunia yang diisi oleh pemain-pemain top kelas satu dunia. Tim yang punya banyak prestasi. Tapi saya tetap membencinya sampai sekarang. Dan sampai kapan pun.

Kedua. Bagi seorang tifosi liga Italia, membenci tim dari liga lain adalah yang aneh. Yang tidak ada hubungannya sama sekali. Itu benar. Saya mulai membenci Barcelona setelah menonton pertandingan semifinal leg kedua Liga Champion antara Barcelona VS Inter Milan di Camp Nou pada 29 April 2010 lalu. Pada pertandingan itu, tim kesayangan saya banyak dirugikan. Terutama kartu merah Thiago Motta pada menit ke-28. Malam itu saya rela kabur dari pesantren demi menonton pertandingan Barcelona VS Inter Milan dengan risiko dikeluarkan dari pesantren. Hanya saya sendiri seorang interisti yang kabur malam itu. Sisanya fans baru Barcelona dan fans Chelsea yang ditumbangkan Inter Milan pada turmamen yang sama.

Baca juga:  Mampu Memahami dan Menghormati Dengan Membaca

Ketiga. Alasan membenci mantan adalah karena dia sudah tidak mencintai saya lagi. Hanya itu. Jika dia kembali mencitai saya, maka saya tidak akan membencinya lagi.

Selain tiga hal itu, sepertinya memang belum ada yang saya benci. Walhasil saya bebas bergaul, membaca, dan menonton apa saja yang saya mau tanpa ada hal yang menghalangi saya sebelum melakukan itu. Kebencian akan menghalangi saya melakukan sesuatu yang sebenarnya saya sendiri belum tau bagaimana.

Saya ingat betul, di semester awal saya kuliah, saya bisa mendengar ceramah dari  siapa saja. Tanpa pernah memerhatikan dari kelompok mana penceramah itu. Saya dan kebanyakan kawan lain, juga akan dengan mudah akrab kepada siapa saja. Tanpa pernah peduli apa paham keagamaan yang ia anut.

Namun hal itu berbeda dengan sekarang. Saya menjadi lebih sering menghapus pertemanan di facebook dan sosial media lainnya daripada menambah teman baru. Menutup telinga dari ceramah orang yang tidak sepaham dengan saya. Tidak pernah mau lagi membaca tulisan orang yang berada di seberang saya. Dan kadang-kadang menutup ruang diskusi dengan kelompok-kelompok tertentu.

Sekarang, kebencian-kebencian sudah banyak hinggap dalam kepala saya. Hampir setiap hari saya menambah daftar baru menu kebencian saya. Saya bisa membenci segala hal. Dari mulai kelompok, tokoh, tulisan, pikiran, bahkan diri saya sendiri.

Baca juga:  Sajian Khusus: Menelisik Wahabi

Kebencian-kebencian itu tidak tumbuh dengan sendirinya. Kadang-kadang ia datang dari mimbar-mimbar keagamaan. Ceramah-ceramah yang penuh dengan  caci-maki serta penghakiman-penghakiman yang disertai klaim kebenaran miliknya atau kelompoknya sendiri. Siapa saja akan dengan gampang masuk ke dalam kubangan kebencian itu.

Saya merasa, semakin banyak yang saya benci, akan semakin banyak pula hal lain yang ikut saya benci. Misalnya, saya membenci Barcelona, saya juga akan membenci Messi, Pique, Guardiola, dan yang bersangkutan dengan tim itu. Karena saya membenci Messi ataupun Pique, pada piala Eropa dan Amerika lalu, saya jadi membenci Argentina dan Spanyol. Lalu saya akan membenci apa yang ada di dalam kedua tim itu. Begitu seterusnya.

Padahal jika saya renungkan, semua yang saya benci di atas sama sekali tidak pernah bersinggungan langsung dengan kehidupan saya. Saya tidak pernah punya masalah dengan Messi ataupun Guardiola dan mereka juga tidak pernah punya masalah dengan saya. Saya tidak pernah bertemu pemain-pemain dari tim sepak bola di atas. Lalu kenapa saya harus repot-repot membenci mereka?

Sebenarnya, kita hanya berada pada sudut yang berbeda dalam sebuah ruang yang sama, yaitu ruang kebencian. Orang lain membenci kita dan kelompok kita, sedangkan kita juga membenci orang lain dan kelompok mereka. Orang lain dan kelompoknya menganggap mereka benar, sedangkan kita beserta kelompok kita salah. Kita dan kelompok kita juga mengklaim bahwa kita yang benar, sedangkan orang lain dan kelompoknya salah.

Baca juga:  Sajian Khusus: Karna

Jika begitu, di dunia yang fana ini apa yang boleh dan pantas saya benci? Ya hanya mantan saya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top