Sedang Membaca
Syaikhona Kholil (3): Tentang Modernisme Islam
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Syaikhona Kholil (3): Tentang Modernisme Islam

Whatsapp Image 2021 09 28 At 22.22.17

Pada bulan Agustus tahun 2011, tahun yang harusnya menyenangkan itu berubah menjadi mimpi buruk yang amat mengerikan. Muncul sebuah kelompok teroris bengis yang menamakan diri Islamic State of Irak and Syria atau ISIS. Sesuai doktrin salafi mereka, mereka tak segan membunuh sesama muslim yang tak sealiran dengan mereka. Situs bersejarah termasuk makam para ulama, di antaranya Imam Nawawi, turut dihancurkan karena dianggap sebagai idolatry (pemberhalaan). Di tahun-tahun itu, menghinggap sebuah paranoia global (kecemasan dan ketidakpercayaan). Jangankan yang non-muslim, yang muslim saja ketakutan membaca berita teror-teror horor ISIS.

Sekitar seabad lalu, dunia Islam sedang mengalami krisis identitas. Umat muslim saat itu sedang berusaha menyesuaikan diri dengan invasi Barat. Puncaknya, muncullah satu gerakan yang dinamai modernisme Islam. “Masalah mendasar yang dialami oleh muslim modern adalah,” tulis Smith dalam Islam in Modern History, “mereka ingin membuat Islam penuh gairah sehingga masyarakat Islam bisa menjadi masyarakat yang direstui oleh Tuhan.”

Namun sayang, semangat modernisme Islam ini berjalan amat berlebihan. Di semenanjung Arabia terjadi satu pemberontakan besar dengan tujuan hendak menguasai Hijaz, provinsi di mana Makkah dan Madinah berada. Gerakan radikal itu bernama Wahabisme. Makam para sahabat dihancurkan, pandangan keilmuan diseragamkan, banyak ritus dianggap heretik.

Baca juga:  Mbah Kiai Ahmad Shodiq: Kiai Sederhana dan Tidak Tergiur Politik

Sebagaimana kita gelisah akan ISIS—atau baru-baru ini Taliban—para ulama Nusantara di masa itu pun juga gelisah dengan gerakan ini. Kiai Wahab Hasbullah, seorang aktivis dan santri yang sangat bersemangat, mendirikan banyak organisasi untuk membendung gerakan serupa agar tidak tumbuh di Indonesia. Puncaknya, ia bersama Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Ridwan, dan kiai-kiai lain yang berjumlah 66 orang pergi sowan ke guru spiritual dan pembimbing dunia akhirat mereka. Guru tersebut adalah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Mereka datang ke sana untuk meminta petunjuk akan kegelisahan mereka.

Menurut penuturan Kiai As’ad, puluhan kiai ini segan untuk datang ke Kademangan, kediaman Syaikhona Kholil di akhir hayatnya. Sehingga puluhan kiai itu pergi ke Jengkebuan, kediaman Syaikhona Kholil sebelum Kademangan. Jengkebuan kala itu diasuh oleh menantu beliau, Kiai Muntaha. Di langgar Jengkebuan, para kiai tersebut menumpahkan kegelisahan mereka kepada Kiai Muntaha. Mereka meminta Kiai Muntaha agar menghadap sang mertua, Syaikhona Kholil, dan menyampaikan kegelisahan tersebut. Diharapkan sang guru bisa memberikan pencerahan kepada mereka.

Selepas pertemuan itu, Kiai Muntaha tidak berani menyampaikan keluhan para kiai kepada Syaikhona Kholil. Namun konon, Syaikhona Kholil telah mengetahui pertemuan di Jengkebuan tersebut. Sehingga beliau menyuruh seorang kebule’en (khadim) untuk pergi ke Kiai Muntaha dan menyampaikan surat Al-Shaff ayat 9-10  yang artinya:

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka. Padahal Allah justru menyempurnakan cahaya-Nya walau orang kafir benci. Dialah yang mengutus utusan-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas segala agama meskipun orang musyrik membenci.”

Ayat di atas secara eksplisit menunjukkan bahwa agama Islam akan selalu menang dan tak akan bisa dikalahkan oleh apapun. Pandangan Syaikhona Kholil ini merupakan pandangan yang khas ahlus sunnah sekali. Beliau percaya bahwa agama ini telah dijaga oleh Allah Swt sehingga upaya apapun untuk menghancurkan agama ini akan sia-sia. Sehingga tak perlu gelisah berlebihan dengan adanya gerakan modernisme Islam. Keyakinan semacam ini merupakan keyakinan Asy’ariyah, yang menengah-nengahi antara paham Muktazilah dan Jabbariyah.

Baca juga:  Perjalanan Mengenal Gus Dur: dari Cerita Anak Protestan sampai Pandangan Santri

Muktazilah beranggapan bahwa seluruh perbuatan makhluk itu ditentukan oleh makhluk itu sendiri. Sementara Jabbariyah menganggap bahwa makhluk tak punya kehendak apa-apa, semuanya telah digariskan oleh Allah. Abu Hasan Al-‘Asy’ari menengah-nengahi bahwa seseorang memiliki kasb, ikhtiyar. Dengannyalah seorang hamba memiliki kehendak. Meskipun kehendak ini masih ada di dalam lingkup takdir.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa beliau menolak gerakan modernisme Islam (modernisme Islam dalam tulisan ini berarti purifikasi Islam). Belakangan santri beliau ada yang menjadi tokoh modernisme Islam (dalam konotasi positif), yakni Kiai Mas Mansur.

Sebuah manuskrip kuno yang ditemukan di Jengkebuan juga menyebutkan penolakan beliau terhadap ha’ula’ al-muhammadiyyah (Secara harfiah berarti: kelompok “Muhammadiyah tersebut”. Apakah maksudnya organisasi Muhammadiyah? Wallahu a’lam). Dalam fragmen manuskrip tulisan tangan itu beliau menulis:

ومن كان منكم يريد قراءة القرآن فيلقرأه بالحروف العربية لا بالحروف اللاتينية أو الحروف الجاوية لأن قراءته بغير الحروف العربية تؤدي إلى اللحن المحرم وبعد ذلك كله فلا حاجة لكم إلى الانتظام إلى هؤلاء المحمدية

Jika kalian hendak membaca Alquran, maka bacalah dengan huruf Arab, jangan huruf latin atau huruf Jawi. Karena membaca dengan selain huruf Arab bisa menyebabkan lahn yang diharamkan. Oleh karena itu tak perlu kalian berorganisasi dengan kelompok Muhammadiyah itu.

Baca juga:  Mbah Shodiq Kiai Sat-set (4): Pintu untuk Umat

Hingga akhirnya setahun sebelum NU berdiri, beliau mengutus Kiai As’ad menuju Kiai Hasyim dan memberi restu NU berdiri. Demikianlah sikap Syaikhona Kholil terhadap gerakan modernisme Islam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top