Konon, Hurgronje mencatat sebuah fenomena menarik tentang santri di akhir abad 19. Fenomena itu dikenal dengan nama “ngetan”. Ngetan secara harfiah berarti pergi ke timur. Para santri yang berasal dari ‘barat’ biasanya akan menyiapkan bekal untuk mengembara ke arah timur.
Raden Hasan Mustapa, misalnya. Beliau mencatat bahwa setelah dirasa sudah cukup belajar di Jawa Barat, maka beliau melanjutkan pengembaraannya menuju Surabaya, tepatnya di daerah Sidosermo, kemudian melanjutkan ke Bangkalan, ke Syaikhona Kholil. Maka pantas saja jika di Bangkalan pada zaman itu menjadi semacam pusat pendidikan para santri. Bangkalan semacam menjadi gerbang sebelum para santri menjadikan Mekkah sebagai pelabuhan ilmiah terakhir mereka.
Dalam Al-‘Iqd Al-Farid, Syaikh Yasin mencatat bahwa mata rantai keilmuan (sanad) mayoritas ulama Indonesia di abad 19 bermuara kepada dua orang Nusantara: kalau tidak Syaikhona Kholil, ya Syaikh Mahfuzh Termas. Hal ini setidaknya memberikan satu gambaran tentang sentralnya posisi Bangkalan di masa itu.
Mengenai sentralitas kedudukan Syaikhona Kholil, Syaikh Yasin menulis dalam catatan beliau:
وتخرج على يديه أكثر من نصف مليون نفس من أنحاء إندونيسيا من بين هؤلاء ثلاثة آلاف أئمة أعلام يشار إليهم بالبنان في جزيرتي جاوا سومطرا وجزيرة مادورا، ويطلق عليهم اسم الكياهي بمعنى العالم الكبير، ومنهم أكثر من مائتي عربي يطلق على كل واحد منهم اسم العلامة أو العارف بالله أو الفقيه
“Lebih dari setengah juta santri dari seluruh penjuru Indonesia pernah belajar kepada beliau. Di antara mereka, ada tiga ribu orang yang menjadi imam alim yang menjadi panutan. Mereka berasal dari Jawa, Sumatera, atau pun Madura. Masing-masing dari mereka digelari dengan nama “Kiai” artinya seorang alim besar. Di antara para santri itu, ada dua ratus orang lebih yang bersuku Arab. Mereka dijuluki dengan “Allamah”, “Arif Billah”, atau pun “Faqih.”
Demikian keterangan dari Syaikh Yasin. Keterangan ini memberi satu gambaran utuh (meskipun soal jumlah santri yang sedemikian banyak itu mungkin harus diteliti lagi) tentang pengaruh dari Syaikhona Kholil di mata dunia pesantren Nusantara. Pengaruh beliau tentulah sangat luar biasa hingga sedemikian banyak orang tua mempercayakan agar anaknya beliau didik.
Bahkan tak hanya pribumi, masyarakat Arab pun banyak sekali yang mengais ilmu dari beliau. Kita tahu, di antara yang paling masyhur adalah Habib Salim bin Jindan. Selain beliau, Syaikh Yasin juga menyebut beberapa nama:
- Habib Abdullah b. ‘Ali Al-Haddad Bangil. Syaikh Yasin menggelari beliau dengan “Quthb al-Din” (pusat agama) dan Abu al-Asrar.
- Sayyid Muhammad b. Ahmad Al-Habsyi.
- Muzahim b. Salim Bawazir.
- Syaikh ‘Audh b. Sa’id Al-Umawi Al-Qurasyi.
- Sayyid Hasan b. Abdur Rahman b. Smith Al-‘Alawi. Menurut Syaikh Yaain, beliau datang ke Bangkalan untuk meminta ijazah hadis musalsal ‘Asyura.
- Sayyid ‘Umar b. Sholih Assegaf.
- Sayyid ‘Alwi b. Muhammad Bilfaqih.
Demikian di antara masyarakat Arab yang disebut oleh Syaikh Yasin pernah akhadza ‘anhu, alias mengaji (tabarukan) kepada Syaikhona Kholil. Bahkan beberapa cerita oral juga menyebutkan tak jarang masyarakat etnis Tionghoa datang meminta doa dan amalan kepada beliau. Fakta-fakta ini setidaknya mengungkap peranan sentral Syaikhona Kholil sebagai tokoh pesantren masyhur di tahun-tahun itu.