Jumat malam di awal Januari tahun 808 Masehi di Bagdad adalah hari yang dingin bagi Masrur, seorang algojo raja masyhur Harun Rasyid. Ia mendapat mandat membawa kepala kawan karib Harun, Jakfar dari klan Barmak—sebuah klan keluarga dari Balkh (Afghanistan sekarang) yang berasal dari Bahasa Sanskrit Pramukha.
Barmak adalah klan keluarga yang sangat berpengaruh di masa Abbasiyah. Kakek Jakfar adalah penasehat As-Saffah, pendiri Dinasti Abbasiyah. Yahya, ayah Jakfar, adalah penasehat Harun. Sementara Jakfar sendiri adalah kawan karib Harun. Bahkan Jakfar adalah saudara sepersusuan Harun.
Tentu saja di malam yang dingin itu Masrur bingung bukan kepalang. Bagaimana tidak, Ibnu Katsir mencatat di bukunya bahwa sehari sebelumnya Harun dan Jakfar berburu binatang bersama. Dan di akhir perburuan itu Harun berpesan kepada Jakfar:
“Aku hendak pulang .. hendak mabuk dan bersantai. Begitu juga engkau, pulanglah. Bersantailah. Minumlah sesukamu. Aku tidak rela kecuali engkau nyaman di rumahnu seperti halnya aku nyaman di rumahku.”
Jakfar pun pulang ke rumahnya yang, catat Ibnu Katsir, dia bangun senilai 20 juta dirham. Maka Masrur sangat terkejut ketika Jumat malam itu ia diperintah Harun membawa kepala Jakfar di hadapannya. “Kalau tidak,” ujar Harun. “Kepalamu taruhannya.”
Tatkala Masrur sampai di rumah Jakfar—saya tidak bisa memastikan rumah ini di Bagdad atau Anbar—, Abu Rakanah si penyanyi sedang berdendang:
Janganlah menjauh! Karena setiap orang
pasti akan didatangi kematian; entah pagi (mughadah) atau malam (tharq)
Jakfar kaget melihat Masrur—Jakfar kenal betul bahwa Masrur adalah algojo. “Wahai Jakfar. Ternyata kematianmu datang saat malam.” Jakfar pun segera sadar hal yang buruk akan menimpa dirinya. Melihat gelagat Jakfar yang akan kabur, Masrur berkata: “Kalau kau ingin masuk ke dalam rumahmu, maka, maaf, tidak bisa. Tapi kalau kau ingin berwasiat, silakan!”
Jakfar pun berwasiat kepada keluarganya untuk memerdekakan seluruh budaknya dan infak-infak lain. Jakfar adalah orang dermawan yang pernah dicatat sejarah Islam. Buku-buku tarikh merekam bagaimana Jakfar membagi-bagikan uangnya secara royal kepada penyair, pengemis, atau pun pengusaha bangkrut.
“Hei Masrur,” ajudan-ajudan yang menyertai Masrur si algojo membentak setengah berbisik. “Cepatlah atau Harun akan membunuhmu.”
Hingga akhirnya dibawalah Jakfar ke depan istana Harun. “Tunggu sebentar,” Jakfar memohon. “Bagaimana jika Raja mabuk? Lalu kau membunuhku dan saat Raja Harun sadar, kau akan dihabisi Raja Harun. Kau tahu sendiri kedekatanku dengan raja, ‘kan?”
Benar juga, pikir Masrur. Masrur pun mengikat Jakfar dengan rantai di depan istana. Ia ingin memastikan kepada Raja Harun. “Jakfar sudah di depan wahai Pemimpin Kaum Muslim.” “Cepat bawa kepalanya ke sini, dasar Pria Pencumbu Ibu Kandung! (Mashsh bizhri ummih)” Harun marah besar. Setelah Harun diyakinkan tiga kali, dipenggallah kepala Jakfar!
Malam itu pula, diproklamirkan agar semua klan Barmakid menyerahkan diri. Tubuh Jakfar sendiri dipotong dan kepala serta badannya diletakkan di jembatan. Di kemudian hari, Harun minta agar tubuh ini dibakar.
Mengenai penyebab pembantaian ini, para mu’arrikh (sejarawan) berbeda pendapat. Semua riwayat ini dikisahkan oleh Thabari dan lain-lain dalam buku tarikh. Ibnu al-Jawzi sendiri meriwayatkan bahwa Harun pernah berkata, “Andai jubahku ini tahu kenapa aku membunuh Jakfar, niscaya akan kubakar jubah ini.”
Di antara banyak riwayat itu, penghamilan yang dilakukan Jakfar pada Abasah binti Mahdi, saudara Harun adalah penyebab yang paling diunggulkan. Ada juga yang menyebut bahwa Harun murka akibat kesewenang-wenangan klan Barmaki, baik dari segi duniawi maupun otoritas.
Terlepas dari itu, Bagdad mencekam selama beberapa hari. Semua orang Barmak dibunuh—termasuk Fadhal, kecuali Muhammad bin Yahya bin Khalid, saudara Jakfar. Itulah sisi kelam seorang khalifah yang hebat, khalifah terbaik di era Bani Abasiyah itu. Sekian. (aa)
guru saya, ahli tahkik sekaligus pakar tarikh kenamaan asal Damaskus, Dr. Shawqi Abu Khalil sudah menjelaskan dalam bukunya bahwa khalifah Harun Rasyid tidak mabuk, beliau hanya minum jus, istilah mudahnya dalam usulfikih “ikhtilaf lafdzi laisa jauhari”..
memang diriwayatkan ada lima kisah mengenai tragedi berdarah-darah tersebut, namun, secara singkat beliau mencalang bahwa ‘ja’far baramkeh’ hanya menjadikan islam sebagai kedok (hal. 243)..
ada baiknya anda jelaskan bahwa Harun Rasyid dikelilingi oleh dwisyekh/syeikhan dari mazhab Hanafi; kadi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani, al-Fudhail bin Iyadh, Imam Malik bin Anas dan Imam Syafi’i..
Allahumma alhimna as-shawab (doa mustajabnya Syekh Abdurrazaq al-Halabi)
Saya Makhfud, Pasuruan Mas. Bisa minta IG atau FB mas nya?