Umat manusia sudah tidak betah dengan keadaan dunia yang kian bejat. Beberapa kurun berikutnya, masa itu dinamakan jahiliyyah. Maknanya bukan kebodohan, tapi amarah yang berlebihan.
Seorang juara gulat akan sangat malu jika dia harus merawat seorang anak perempuan. Maka tak heran jika di masa itu banyak sekali suami mengubur anak gadisnya hidup-hidup.
Jahiliyyah atau amarah berlebihan ini menembus seluruh sendi kehidupan. Bahkan, hanya karena menerobos tanah, Bani Syaiban keturunan Bakr bin Wail harus berurusan dengan suku yang masih sepupunya, Taghlib bin Wail. Perang ini dinamakan dengan Perang Basus dan berlangsung selama 40 tahun.
Amarah ini pun terbawa hingga ke seluruh sendi kehidupan; timbangan di pasar dikurangi, budak diperlakukan bak binatang, kehormatan wanita dirampas, dan kaum miskin ditindas.
Dalam kondisi inilah pria tampan dan berbudi luhur itu lahir. Dia berasal dari kabilah yang terpandang dan dari keluarga terhormat. Dia lahir pada tanggal delapan Rabiul Awal (sejarawan berbeda pendapat tentang tanggal lahirnya) atau beberapa bulan setelah tentara gajah dari Ethiopia menyerbu Kakbah.
Tidak seperti orang Arab umumnya yang mengambil nama dari kakek atau buyutnya, dia justru dinamakan dengan nama Muhammad, nama yang sedikit asing di masa itu.
Ketika kakeknya ditanya tentang hal ini, dia menjawab, “Aku ingin dia dipuji langit dan bumi.” Benarlah, bayi mungil yang terlahir caesar dan terkhitan itu kelak dipuji seluruh langit dan bumi.
Bocah yatim ini menghabiskan masa balitanya di kampung pedalaman milik Bani Sa’d. Bersama pamannya yang sebaya bernama Hamzah, dia diasuh oleh seorang wanita bernama Halimah. Di gurun yang panas itu dia belajar bahasa Arab dalam tingkatan sastra tertingginya.
Saat dewasa dia mengenang masa ini, “Aku orang yang paling pandai berbahasa Arab di antara kalian,” dia berujar pada sahabatnya, “Karena saat kecil dulu aku menyusu di perkampungan Bani Sa’d bin Bakr”.
Di masa ini pula bocah itu disebut-sebut pernah dibelah dadanya oleh dua malaikat. Lima tahun berselang, Halimah—perempuan yang menyusuinya itu—membawa Muhammad kembali ke pangkuan ibunya. Namun ketika hampir sampai di Makkah, bocah itu mendadak hilang dan tersesat. Halimah bingung tak karuan.
Dia memberanikan diri menghadap kakek bocah itu dan mengabarkan apa yang terjadi. Untung saja Waraqah bin Naufal, seorang Kristen yang masih memegang teguh tauhid, menemukannya. Puluhan tahun berikutnya momen ini diabadikan oleh Alquran dalam Surat Ad-Dhuha.
Kakek dan ibunya telah meninggal saat ia diasuh pamannya yang bernama Abu Thalib. Pada usia dua belas tahun Muhammad diajak Abu Thalib untuk berdagang ke Tanah Levant. Itu adalah kali pertama ia keluar dari Jazirah Arab.
Mata kecilnya yang mulia beradu dengan langit-langit malam gurun yang penuh bintang. Di Syam dia melihat istana Bozra, sebuah istana yang menurut sebuah cerita pernah dipancari sinar putih dari arah Hijaz saat kelahiran Muhammad.
Pada usia remaja, dia sudah dipaksa untuk mengikuti perang yang melibatkan sukunya. Perang itu bernama Perang Fijar karena terjadi di bulan-bulan yang diharamkan berperang. Dia bertugas mengumpulkan panah-panah yang berserakan. Dia sedikit terpaksa mengikuti perang ini.
Di usia itu pula dia bekerja sebagai penggembala kambing. Pekerjaan mulia yang ia emban yang nantinya akan sangat berguna dalam tugas mengatur kehidupan umat manusia.
Pada usia ini pula Muhammad bekerja membawa dagangan Khadijah, seorang perempuan karier, ke tanah Syam untuk kedua kalinya. Sepulang dari Syam, dia membawa laba yang sangat banyak. Karena kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang, Muhammad diberi imbalan empat buah unta.
Tidak cukup di situ, Khadijah bahkan menyerahkan dirinya untuk dipersunting Muhammad. Di zaman penuh kebohongan dalam berdagang, Khadijah yang berpengalaman berdagang itu tak pernah menemukan pria yang lebih jujur ketimbang Muhammad. Muhammad setuju menikahi Khadijah dan memberinya mahar dua puluh ekor unta.
Kehidupan rumah tangga mereka sangat harmonis. Muhammad yang pendiam dan sering menyendiri itu membuat Khadijah aman dan terhormat.
Maka ketika pernikahan mereka sudah berlangsung belasan tahun dan Muhammad tidak pulang ke rumah beberapa hari, Khadijah sama sekali tidak risau. Ia risau justru saat suaminya pulang dan meminta untuk segera diselimuti.
Ya, Jibril—malaikat yang juga mendampingi nabi-nabi sebelumnya—datang mendatanginya. Khadijah sadar bahwa suaminya ini bukan orang biasa. Maka ia mengabari Waraqah, seorang yang ahli Injil dan agama Nabi terdahulu.
Waraqah berkata pada pria itu, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, “Sungguh kau adalah Nabi umat ini! Namus agung yang dibawa Musa telah datang!” ujar Waraqah. Nabi baru telah diutus.