“Manusia adalah binatang yang bisa tertawa,” pelajaran manthiq ketika di pesantren dulu masih terngiang di kepala saya. Ulama manthiq sadar bahwa tertawa adalah karakter yang membedakan antara manusia dengan, misal, kodok. Keduanya sama-sama ‘binatang’, tapi yang membedakan mereka adalah potensi untuk tertawa.
Ketika fitrah ‘tertawa’ ini dianggap penghinaan lalu akhirnya dilarang, maka yang tinggal dari seorang manusia hanyalah ‘kebinatangan’, manusia tak lagi berbeda dengan kodok jika saja tidak ada akal.
Fitrah tertawa dalam diri manusia ini adalah hal yang diakui Alquran. Bahkan Alquran menyandarkannya pada Allah subhanahu wa ta’ala: “dan Dia yang membuat orang tertawa dan menangis.” Demikian tertera dalam An-Najm ayat 43. Secara serampangan bisa disimpulkan: ketika seseorang melarang orang lain tertawa dan saling melempar humor, maka dia sama saja mencegah fitrah yang telah Allah SWT gariskan.
Argumen seperti ini barangkali akan disanggah: tapi Islam tidak mengajarkan humor secara berlebihan.
Benar. Bukan hanya humor, segala sesuatu yang berlebihan akan dilarang oleh Islam—salat atau puasa sekalipun jika berlebihan akan dilarang oleh Islam, bukan hanya humor.
Namun melarang humor karena dianggap berlebihan dan akhirnya membuat orang takut untuk melemparkan humor jauh lebih dilarang dalam Islam. Kalau saya boleh sedikit ngawur maka akan saya katakan bahwa tindakan melarang humor ini tidak jauh berbeda dengan tindakan irhab: menakut-nakuti; teror. Lawan kata dari humor (mizah) adalah serius yang dalam konteks ini saya wakilkan pada kata irhab yang biasa diartikan dengan terorisme.
Tindakan melarang orang tertawa adalah wujud tindakan terorisme. Bahkan kalau mau lebih ngawur lagi, pelaku pelarangan humor bisa dijerat hukuman hirabah dalam Islam sebagaimana teroris. Hukumannya sama seperti bughat atau pemberontak. Tapi saya tidak ngawur. Melarang humor bukan terorisme dan bukan pula hirabah.
Lebih jauh, mereka mungkin akan menyanggah begini: tapi yang dijadikan humor ini doktrin Islam? Islam tidak bisa mentolerir hal ini.
Argumen seperti ini adalah argumen yang sangat keliru. Argumen ini muncul dari pemahaman yang dangkal terhadap literatur-literatur keislaman. Bagi orang yang terbiasa dengan literatur sastra Arab (balaghah), dia akan menemukan istilah-istilah semacam tamlih atau tahakkum yang keduanya bermakna humor.
Dalam satu kesempatan Allah berfirman, “Maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih.” Para ulama tafsir—Tafsir al-Wasith misalnya—mengatakan bahwa antara ‘gembira dan azab’ adalah dua hal berlawanan yang ketika digabungkan dalam satu kalimat maka akan berfaedah tahakkum atau lelucon. Nah, masak Alquran mau dilarang?
Bahkan lebih ekstrem lagi ada bentuk humor yang menjadikan Alquran sebagai bahan lelucon. Dalam sastra Arab—atau saya sebut sastra Alquran biar lebih islami—bentuk ini dikenal dengan nama iqtibas.
Dalam Bab Sariqat di Uqudul Juman, As-Suyuthi mendefinisikan iqtibas sebagai tindakan mencuplik Alquran atau hadis hingga mengeluarkan maknanya dari konteks (‘ala wajhin ma ‘ana). Dalam Raf’ul Bas—risalah As-Suyuthi yang terhimpun dalam Al-Hawi lil Fatawi—dia mengatakan bahwa jika bukan di dalam syair, tindakan iqtibas ini diperbolehkan secara mutlak dalam mazhab Syafi’i. Apabila di dalam syair, maka sebagian ada yang membolehkan dan sebagian tidak membolehkan.
Masih dalam kitab yang sama, As-Suyuthi menceritakan kisah tentang iqtibas yang dilakukan ulama berikut: Dahulu di Kota Damaskus, Ibnu Sholah pernah berfatwa bahwa Salat Raghaib diperbolehkan. Ketika Izzudin bin Abdus Salam datang ke Damaskus dan mendengar fatwa Ibnu Sholah, Imam Izzudin berfatwa bahwa Salat Raghaib adalah bidah yang dilarang dalam Islam. Tak lama Ibnu Sholah merespon dengan membuat risalah dan mengomentari Imam Izzuddin menggunakan ayat berikut:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَىٰ (9) عَبْدًا إِذَا صَلَّىٰ (10)
“Apa pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia salat?”
Ayat di atas turun untuk Abu Jahal. Dan ayat itu digunakan Ibn Sholah untuk menyindir Imam Izzuddin. Tindakan ‘bercanda’ dengan Alquran ini sah-sah saja dan diperbolehkan bahkan dilakukan oleh para ulama.
Dalam hadis, atsar, serta kisah tabi’in juga sering sekali saya jumpai kisah lucu. Bahkan khazanah sastra Arab merekam banyak anekdot-anekdot (tharaif) yang oleh para ulama juga tidak pernah diingkari. Bahkan tokoh Abu Nawas yang digambarkan sebagai wali yang jenaka menurut saya adalah perwujudan bahwa humor tidak bertentangan dengan tingkat spiritualitas tertinggi.
Maka ketika humor, canda, atau tawa dilarang saya menjadi takut ayat tahakkum, hadis lucu, anekdot (tharaif), atau iqtibas para ulama juga akan dilarang dan akan dilaporkan. Entahlah. Saya semakin menemukan relevansi tagline film Warkop: Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang.