Salah seorang ulama besar bernama Ibnu Aqil al-Hanbali (w. 1119) suatu ketika pergi melaksanakan ibadah haji. Di perjalanan beliau menemukan kantung berwarna merah yang berisi kalung mutiara yang sangat indah. Kalung tersebut diambil dan disimpan oleh Ibnu Aqil.
Namun tidak lama kemudian, seorang tua renta berkata di tengah keramaian, “Barangsiapa melihat kalung mutiara dalam kantung berwarna merah, maka ia akan kuberi uang seratus Dinar.”
Ibnu Aqil lantas mengembalikan kalung itu kepada pria tua itu. Pria tua memberi imbalan seratus Dinar yang dia janjikan. Namun Ibnu Aqil menolaknya. “Lalu aku pergi melanjutkan perjalanan berhaji,” kata Ibnu Aqil.
Setelah selesai berhaji, beliau pergi ke Syam dan berziarah ke Yerusalem. Setelah itu beliau berniat pulang ke Baghdad. Namun ketika sampai di Aleppo beliau kehabisan bekal. Beliau kelaparan dan kedinginan.
Akhirnya beliau berteduh di sebuah masjid. Para jamaah masjid itu memberi beliau makan dan minum.
Barangkali karena ada yang mengenal beliau, beliau dipersilahkan untuk menjadi imam dan diberi mandat mengajar di sana selama satu bulan. “Kebetulan imam masjid ini meninggal beberapa hari lalu,” ujar mereka.
Baca juga:
Sebulan berlalu, Ibnu Aqil diberi tawaran baru: menikahi putri imam masjid yang baru meninggal itu. Ibn Aqil pun menerima.
“Aku tinggal di sana lebih dari setahun dan memiliki seorang anak laki-laki.”
Namun setelah melahirkan, kondisi sang istri memburuk. Istri beliau sakit cukup parah. Ibnu Aqil dengan telaten merawatnya. Namun saat sedang merawat istrinya, Ibnu Aqil dikejutkan dengan kalung yang dipakai istrinya. Kalung itu ternyata kalung yang beliau temukan dulu!
Ibnu Aqil pun menceritakan kisah kalung itu. Namun yang terjadi justru istri beliau menangis terharu. “Aku diberi kalung ini oleh ayahku,” ujar sang istri.
“Ketika memberi ayahku berkata: ‘Nak, semoga kau mendapat suami seperti pemuda yang menemukan kalung ini.’”
Selang beberapa hari setelah itu, istri Ibnu Aqil meninggal. Ibnu Aqil pun pulang ke Bagdad dan menyimpan kalung itu hingga akhir hayat. Kisah itu diceritakan Sibth Ibn Jauzi dalam buku tebalnya al-Muntazham. Kisah itu adalah campuran kisah asmara dan kebetulan (serendipity) yang terjadi pada seorang ulama besar, Abul Wafa’ Ibn ‘Aqil Al-Hanbali, pengarang kitab khawathir terkenal berjudul al-Funun yang berjumlah 900 jilid dan oleh adz-Dzahabi digelari sebagai karangan terbesar di dunia. Namun sayang kitab itu hancur dan hanya tersisa dua jilid karena invasi.
Bagi saya kisah di atas menarik karena menyingkap kehidupan ulama yang jarang dibahas, seperti pernikahan dan rihlah. Selama ini diri ulama direduksi sebagai pribadi teguh agama dan tak tersentuh oleh kehidupan sehari-hari. Padahal selayaknya pria mana pun, di masa puberitas seorang ulama akan mengalami yang namanya kasmaran. Hal ini bisa kita jumpai misalnya dalam Thawqul Hamamah (Kalung Merpati) karya Ibn Hazm (w. 1064).
Di halaman 115 Ibnu Hazm bercerita bahwa saat usianya belasan tahun beliau pernah punya pacar bernama Nu’m (نُعم) yang, kata beliau, cantik luar biasa (beliau hidup di Spanyol, jadi ada kemungkinan gadis ini campuran antara ‘mata elang Arab’ dan eksotisme hispanik). Beliau sangat mencintai dan menyayanginya.
Namun takdir berkata lain. “Gadis itu harus menyandingi debu dan batu liang lahad.” Ya, pacar Ibn Hazm itu meninggal. Sejak saat itu beliau kesulitan move on. Selama tujuh bulan beliau stres, tidak pernah ganti baju, dan menangis tak henti-henti.
Beliau berkata begini: “Andai aku harus menebusnya dengan anggota tubuhku, maka pasti akan kulakukan.”
Ya, perkataan ini keluar dari seorang pengarang al-Muhalla bil Atsar yang di dalamnya berisi dua puluh satu ribu hadis muttashil langsung kepada beliau (beliau tidak menukil dari kitab Imam Bukhari dll). Perkataan ini muncul dari pengarang kitab usul fikih al-Ihkam dan pengarang kitab tentang sekte agama kuno al-Fashl, tiada lain pengaranya adalah Ibnu Hazm!
Kita juga bisa menengok seorang sufi besar Ibnu Arabi (w. 1240) yang jatuh cinta kepada putri gurunya bernama Nizham hingga beliau menyusun kasidah Tarjumanul Asywaq. Atau kisah Sufyan Ats-Tsauri (w. 778) yang hendak melamar Rabi’ah Adawiyah. Semua kisah-kisah itu adalah kisah asmara. Ternyata ulama pun akan bertekuk lutut di hadapan gadis.
Sebagai penutup, Nabi SAW pernah bersabda: seseorang besok-besok akan bersama kekasihnya (al-mar’u ma’a man ahabb). Wallahu a’lam.