Sa’i adalah rukun haji yang keempat dan terakhir (beberapa ulama menganggap tahallul alias mencukur rambut bukan rukun). Sa’i adalah kegiatan berlari-lari di antara bukit Shafa dan Marwah. Dua bukit ini adalah tempat di mana Hajar, istri Ibrahim mencari-cari air untuk bayi mungilnya, Ismail. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, haji adalah ibadah mengingat yang sangat erat kaitannya dengan Ibrahim. “Maka,” firman Allah dalam al-Qur’an, “ikutilah agama Ibrahim yang lurus.”
Sebelum menjadi rukun ritual haji, pada zaman Jahiliyah sa’i menjadi ibadah kebanggan kaum pagan Makkah. Pada masa pra Islam, orang-orang Arab biasa melakukan kegiatan berlari-lari kecil di Shafa dan Marwah. Pada masa itu, di bukit Shafa terdapat sebuah berhala yang bernama Isaf. Sementara di bukit Marwah terdapat berhala bernama Nailah. Ibnu Katsir mengisahkan dengan apik tentang asal-usul dua berhala ini:
Syahdan, ketika Ismail telah menikah dengan gadis dari Suku Jurhum, Suku Jurhum yang pagan itu pun berubah menjadi suku yang beriman dan senantiasa mengesakan Allah. Bersama Ismail mereka menjaga Ka’bah serta berkhidmah menjaga kemuliaan Masjidilharam. Bersama-sama mereka melayani orang-orang yang hendak melaksanakan ritual haji.
Namun, keadaan ini tidak bertahan lama. Jurhum kembali ke habitat aslinya: Padang pasir luas dan segala kehidupan bengisnya. Mereka berbuat kerusakan dan merobek kehormatan Masjidilharam. Hingga pada suatu hari yang cerah, seorang pemuda tampan yang bernama Isaf dan gadis cantik bernama Nailah berpacaran di hadapan Ka’bah. Mereka berdua kalap hingga bercumbu di hadapan Ka’bah!
Allah murka. Tidak main-main, Allah mengutuk mereka menjadi batu! Dalam beberapa kebudayaan lain, kutukan menjadi batu ini merupakan wujud dosa yang tiada bandingan buruknya. Di Nusantara kisah semacam ini kita temui dalam Malin Kundang yang durhaka pada ibunya. Isaf dan Nailah pun tak kalah buruk. Mereka menodai kehormatan Masjid al-Haram, yang secara bahasa berarti masjid yang mulia. Mereka melakukan perbuatan hina di tempat mulia!
Singkat cerita, mereka berdua diletakkan di atas dua bukit tersebut. Isaf di Shafa, dan Nailah di Marwah. Masyarakat pra Islam biasa melakukan ritual mengelilingi dua bukit itu hanya untuk memaki dua berhala tersebut. Sampai di sini tidak ada masalah. Namun masalah mulai muncul ketika masyarakat berganti generasi. Entah bagaimana ceritanya, tindakan mengutuk dua berhala tersebut lama-lama berganti menjadi tindakan menyembah. Isaf dan Nailah menjadi berhala yang cukup populer disembah masyarakat Makkah kala itu. Orang-orang berkeliling Shafa dan Marwah sembari mengecup kening dua berhala tersebut secara khidmat. Isaf, Nailah, dan Hubal menjadi tiga berhala besar di kalangan masyarakat Makkah pra Islam kala itu. Bisyr b. Abi Khazim dari klan Asad mengabadikan kesakralan Isaf dalam puisinya:
Mereka tidak berani mendekatinya,
Bak gadis haid berdiri di depan Isaf
Maka kontan saja dua bukit ini mendapatkan cap negatif dari para sahabat Nabi saw. Para sahabat enggan melakukan ritual keagamaan apa pun di tempat tersebut. Tempat tersebut sudah dianggap sebagai simbol Jahiliyah. Namun anggapan ini dibantah oleh Allah SWT. “Sesungguhnya,” Allah berfirman dalam al-Baqarah ayat 158. “Shafa dan Marwah adalah syiar Allah. Barangsiapa berhaji atau pun melakukan umrah maka tak ada dosa bagi mereka untuk berthawaf mengelilingi keduanya.” Allah mengizinkan agar kedua bukit ini tetap digunakan sebagai ritual haji.
Hal ini secara eksplisit menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengakomodir kebudayaan. Tradisi-tradisi jahiliyah tetap diadopsi sesuai porsi dan dimodifikasi agar tidak bercampur dengan bau-bau kesyirikan. Demikianlah sekilas tentang penjelasan sa’i. Wallahhu a’lam.