“Mereka makan dan minum. Mereka mengisahkan petuah orang saleh, tapi tidak meneladaninya. Pakaian mereka pakaian orang saleh, tapi hati mereka bukan hati orang saleh.”
Itulah kritik yang dilemparkan oleh Ibnul Wardi dalam maqamat-nya terhadap para sufi di zamannya. Telah lama memang maqamat menjadi sebuah sebuah media kritik oleh para sastrawan.
Maqamat adalah sebuah bentuk ekspresi seni yang mengedepankan hikayat-hikayat penuh hikmah, anekdot penuh makna, dan tak lupa disertai bahasa yang indah. Kadang terselip peribahasa satir, nasihat dari Alquran atau hadis-hadis tuntunan. Maqamat adalah hikayat berprosa (bukan syair; Arabic prosody) yang disusun sedemikian rupa dengan tingkat sastra tertingginya. Bahkan seorang orientalis pernah mengklaim bahwa keindahan bahasa maqamat yang dikarang Al-Hariri lebih indah ketimbang Alquran. Tentu saja hal ini terbukti salah oleh fakta. Namun tak bisa kita tolak bahwa maqamat memang indah.
Secara bahasa maqamat adalah majelis. “Hikayat berprosa dinamakan dengan maqamat karena ia bisa membuat orang berkumpul dalam sebuah majelis,” tutur Al-Qalqasyandi dalam jilid 14 dari buku Shubhul A’sya. Tiap maqamat selalu disertai dengan rima. Maqamat selalu menggunakan kosa kata yang jarang dipakai.
Namun—bagi yang mengerti bahasa Arab—kosa kata maqamat selalu bisa diraba meski tak tahu persis artinya apa. Untuk lebih jelas akan saya kutip paragraf berikut dari Maqamat Al-Hariri:
أَلْجَأَنِيْ حُكْمُ دَهْرٍ قَاسِط ، إِلَى أَنْ أَنْتَجِعَ أَرْضَ وَاسِط ، فَقَصَدْتُهَا وَأَنَا لَا أَعْرِفُ فِيْهَا مَسْكَنًا ، وَلَا أَمْلِكُ فيها مَسْكَنًا ، وَلَمَّا حَلَلْتُها الخ..
“Zaman yang kejam membawaku ke kota Qasith. Aku memasuki kota itu dan tak tahu harus ke mana, dan aku pun tak memiliki rumah di sana. Ketika aku sudah memasukinya .. dan seterusnya.”
Penggalan itu adalah gambaran tentang apa itu maqamat. Jika akhir “qafiyah” berupa huruf tha’, maka “qafiyah” selanjutnya pun harus berakhiran huruf yang sama. Itu sebabnya kosa kata yang jauh lebih sulit dari syair jahiliyah sering kita lihat dalam maqamat.
Tak hanya itu, maqamat sejak diciptakan sebagai istilah pertama kali oleh Badi’uzzaman Al-Hamadzani sudah menjadi kritik sosial—bukan sekedar unjuk kecakapan bahasa. Di dalamnya banyak terdapat kisah-kisah tentang hakim adil, raja zalim, atau orang cerdik. Tidak berlebihan jika Badiuzzaman dikatakan terinspirasi oleh esais terkemuka dari aliran Mu’tazilah bernama Al-Jahizh.
Dalam setiap kisahnya, maqamat selalu memiliki hikmah mendalam yang bahkan kata-kata sulit untuk menyingkapnya. Hikmah itu tak jarang berupa kalimat satir atau kisah ironi. Badiuzzaman suatu ketika pernah mendeskripsikan daerah asalnya, Hamadzan.
Hamadzan bagiku adalah kota yang istimewa
Namun ia juga kota yang buruk
Dalam kejelekan, bocah Hamadzan seperti orang dewasa
Dalam kepintaran, orang dewasa Hamadzan seperti bocah
Jejak Badiuzzaman ini dilanjutkan Az-Zamakhsyari tak lama setelahnya. Di akhir hayatnya dia bermimpi diperintah oleh hatif (suara tanpa rupa) agar hidup di jalan tasawuf, zuhud, dan menjauhi istana. Saat bangun dari tidurnya, dia mengambil pena dan menulis lima puluh maqamat-nya. Latar belakang ini menjelaskan bagaimana maqamat menjadi kritik atas tatanan sosial sebuah masa. Maka maqamat juga menjadi informasi sejarah tentang kondisi suatu masa.
Selain kisah hikmah dan bahasa yang indah, maqamat juga disertai dengan tokoh fiksi yang menjadi lakon dan rawi (periwayat). Dalam Maqamat Hariri, misalnya, al-Hariri menggunakan nama fiksi sebagai periwayat kisahnya, “Harits bin Hammam”.
Para kritikus sastra seperti al-Syarisyi menafsiri bahwa nama ini dipilih al-Hariri karena terinspirasi hadis Nabi saw, “Seorang manusia tidak lain adalah harits (orang yang menanam) dan hammam (orang yang bercita-cita.” Bahkan dalam memilih nama karakter pun maqamat tidak boleh sembarangan.
Maqamat yang dikarang al-Hariri ini pula yang mendapat apresiasi paling besar dari para kritikus. Bahkan maqamat yang dikarang para sastrawan sesudahnya tidak mampu menandingi maqamat ini. Memang setelah al-Hariri banyak sekali nama-nama beken yang mengarang maqamat misal “si Ensiklopedia Berjalan ash-Shafadi, Pelahap Segala Ilmu As-Suyuthi, bahkan ulama yang agak puritan semacam Ibnul Jauzi pun tidak ketinggalan membuat maqamat.
Tidak hanya dalam bahasa Arab, beberapa penulis Persia pun tidak ketinggalan membuat beberapa maqamat yang tak kalah indahnya. Di antaranya adalah Maqamat Humaidi dan Maqamat Gulestan karya Sa’di Syirazi. Dan di masa modern, salah satu penulis maqamat yang cukup menonjol adalah Muhammad al-Muwailahi. Hal ini memberitahu pada kita bahwa dalam bahasa apa pun dan dalam waktu kapan pun, maqamat akan selalu mengambil tema kritik sosial atas sebuah masa. Ia menjadi narasi tanpa suara dan lukisan tanpa warna tentang suara parau umat manusia.
Di masa modern ini—dengan pengetahuan penulis yang sempit akan sastra Arab modern—barangkali tidak banyak atau mungkin tidak ada lagi penulis maqamat. Padahal di masa ini kritik sosial barangkali lebih diperlukan ketimbang di zaman Hariri, Badiuzzaman, atau as-Suyuthi. Karya Najib Mahfuzh, Shawqi Dhaif, atau Abbas Aqqad tampaknya lebih mendominasi.
Maka “Hari Bahasa Arab” tampaknya menjadi momen yang tepat untuk membuka kembali lembaran sastra yang hilang: maqamat. Atau jika hendak berinovasi, bagaimana jika kita mencoba menulis maqamat dalam bahasa Jawa menggunakan aksara pegon, seperti halnya Sa’di Syirazi menulis maqamat dalam Bahasa Persia?
Selamat Hari Bahasa Arab Sedunia.