Peredaran narasi agama di masyarakat terkait politik buruk sekali dan memecah-belah keyakinan umat. Bukan saja hoaks dan fitnah kepada calon-calon pemimpin kita, tapi juga membawa-bawa Siti Aminah, ibunda Nabi saw, untuk mendukung pilihan politiknya. Katanya, ibunda Nabi kafir, masuk neraka. Bagaimana menjawab ini?
Sebagai orang Islam kita tentu mencintai Nabi saw dan mengharapkan syafaat beliau kelak di akhirat dan hari kiamat. Namun ada beberapa orang yang hendak merusak kecintaan kita kepada Nabi saw dengan mengatakan beliau dikandung oleh seorang wanita kafir. Naudzubillah!
Parahnya lagi mereka, orang-orang ini, mengatakan bahwa ibunda Nabi SAW, yakni Siti Aminah, adalah penghuni neraka yang tak patut untuk dihormati. Tidak berhenti sampai di situ, dengan argumen yang penuh fallacy ini mereka berusaha, sekali lagi, menjustifikasi pilihan politis mereka.
Karena permasalahan ini adalah persoalan agama, maka mari kita lihat pendapat para ulama yang telah mewariskan agama turun temurun hingga sampai kepada kita. Jangan seperti mereka yang baru baca satu-dua hadis langsung main vonis. Kita harus kembali kepada ulama lebih dulu.
Salah satu ulama yang memiliki perhatian besar terhadap masalah ini adalah al-Hafizh as-Suyuthi. Sekedar info, as-Suyuthi adalah salah satu ulama yang hafal ratusan ribu hadis. Jadi kalau kalian—orang-orang yang menuduh ibu Nabi saw sebagai wanita kafir—hendak tidak setuju, pikir-pikir dulu, ya. As-Suyuthi mengarang enam buah risalah tentang masalah ini.
Kebanyakan orang yang menganggap orangtua Nabi saw sebagai ahli neraka berpegangan kepada dua hadis berikut:
“Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka” serta “Aku memohon izin kepada Allah agar aku boleh memohon ampun kepada ibuku. Namun Allah tidak mengizinkan. Dia hanya mengizinkanku menziarahi makamnya.”
Bermodalkan dua hadis dan sepotong pemahaman cupet, mereka menganggap bahwa orangtua Nabi saw adalah kafir. Mengenai hadis pertama, as-Suyuthi dalam at-Ta’zhim wal Minnah menyebutkan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh Anas kemudian dikisahkan kepada Tsabit.
Nah, Tsabit meriwayatkan hadis ini kepada dua orang: Ma’mar dan Hammad. Hadis dengan redaksi “ayahku dan ayahmu di neraka” ini adalah riwayat Hammad. Riwayat Ma’mar tidak ada penyebutan redaksi ini. Menurut As-Suyuthi hafalan yang dimiliki Ma’mar lebih kuat. Maka hadis Ma’mar lebih dipakai.
Sedangkan mengenai hadis kedua, yakni Allah melarang Nabi beristighfar untuk ibunya, sama sekali tidak menunjukkan bahwa ibu Nabi adalah wanita kafir. Belum lagi, kata as-Suyuthi, secara sanad atau mata rantai hadis ini tidak terlepas dari beberapa kemusykilan yang tidak akan saya bahas panjang lebar di sini.
Lalu bagaimana? Di mana orangtua Nabi saw berada?
Jawabannya: orangtua Nabi saw di surga. Mengenai dalilnya as-Suyuthi memberikan beberapa penalaran.
Yang pertama adalah melalui proses “reinkarnasi”. Reinkarnasi di sini berbeda arti dengan reinkarnasi dalam doktrin Platonisme ataupun Budhisme. Reinkarnasi di sini bermakna orangtua Nabi saw dihidupkan kembali oleh Allah agar beriman.
Setelah beriman, mereka dicabut kembali nyawanya. As-Suyuthi memberikan penguat berupa hadis Nabi saw ketika selesai haji wada’. Meskipun hadis ini dhaif (as-Suyuthi menolak keras anggapan hadis ini mawdhu’ atau palsu), namun tidak masalah, ujar as-Suyuthi. Karena ini tidak berkaitan dengan hal yang urgen.
Oke, kalau Anda menolak hadis ini karena dhaif, para ulama memberi alternatif. Yakni teori ahlul fatrah. Apa itu ahlul fatrah?
Yakni orang-orang yang tidak terkena dakwah seorang Rasul. Ada banyak contoh tentang ahlul fatrah. Salah satunya berikut ini: Misal Anda memegang agama Nabi Musa namun Anda hidup di masa Nabi Isa (yang notabene Nabi Isa adalah pengganti Nabi Musa), namun Anda tidak pernah tahu dan tidak pernah mendengar Nabi Isa, maka Anda telah memenuhi syarat sebagai ahlul fatrah. Dalam arti Anda tidak termasuk orang yang ingkar kepada Nabi Isa. Konsekuensinya Anda masuk surga.
Nah, orangtua Nabi ini adalah ahlul fatrah yang mengikuti Nabi Ibrahim alaihissalam. Mereka tidak pernah menyembah berhala, juga tidak pernah mendengar tentang Nabi Musa atau Nabi Isa.
As-Suyuthi berkata bahwa orang Arab—khususnya suku Quraisy—dikenal sebagai bangsa ummi atau bangsa yang tidak pernah mengenal kitab terdahulu. Begitu juga dengan orangtua Nabi—juga seluruh kakek beliau. Mereka semua masih setia dengan Nabi terakhir mereka, yakni Isma’il putra Ibrahim.
Dari keterangan ini, as-Suyuthi menyimpulkan bahwa orangtua Nabi adalah ahlul fatrah yang oleh Alquran dijelaskan statusnya begini: “Tidaklah aku menyiksa (suatu kaum) sebelum aku mengutus Rasul.” Jadi ahlul fatrah tidaklah diazab di neraka.
As-Suyuthi memberi bukti dengan sebuah kisah yang ditulis oleh Abu Nu’aim:
“Ummu Asma’ bercerita: aku berada di dekat Aminah binti Wahb (ibu Nabi saw) ketika ia hendak meninggal. Ketika itu Muhammad (saw) masih berusia lima tahun. Tak lama kemudian Aminah mengucapkan sebuah syair:
دين أبيك البر إبراهم #فالله ينهاك عن الأصنام
“Agama ayahmu yang baik, Ibrahim. Allah mencegahmu menyembah berhala.”
Dari sini bisa disimpulkan bahwa ibu Nabi saw adalah pengikut Nabi Ibrahim, yang oleh Alquran disebut sebagai “muslim”. Maka sangat keliru, sesat, dan tidak punya adab jika ibunda Nabi dibilang sebagai wanita kafir.
Terakhir, marilah kita hitung-hitung saja keimanan dan keislaman kita, tidak perlu jauh-jauh menilai orang, lebih-lebih ibunda Nabi. Mari, gunakan cermin di rumah kita untuk melihat yang paling dalam dari diri kita: akhlak pada orang mulia.
Wallahu a’lam.
Reinkarnasi itu kpercayaan agama budha qo bisa dijadikan dalil???