Dalam dunia hadis, perawi perempuan cukup banyak dijumpai. Begitu juga dalam kancah keilmuan tadris atau pengajaran, nama perempuan cukup banyak ditemui. As-Suyuthi, si ulama ensiklopedik itu, bahkan memiliki beberapa guru perempuan yang cukup banyak. Begitu juga Imam asy-Syifi’i yang kita kenal punya guru perempuan, Nafisah.
Namun tidak demikian dalam dunia karang-mengarang kitab utamanya di bawah abad dua belas. Nama perempuan sangat sulit dijumpai dan ditemui. Jika tidak melakukan pembacaan serius, maka hampir tidak ditemui seorang pengarang kitab dari kalangan perempuan.
Padahal kita tahu, Aisyah istri Nabi saw adalah seorang wanita yang kritis dan tajam nalarnya. Begitu juga dalam dunia tasawuf, kita jumpai nama Rabiah Adawiyah. Seorang sufi masyhur dan wali yang terkenal.
Meski jarang, namun ada beberapa nama wanita yang tercatat sebagai pengarang kitab. Berikut di antaranya:
Dahma’ binti Yahya
Ulama wanita yang hidup di abad sembilan hijriah ini tercatat sebagai seorang ahli kimia, matematika, dan sains lainnya. Dia adalah putri Yahya bin Al-Murtadha, seorang ulama bermazhab Zaidiyah. Dalam ilmu agama, Dahma’ adalah orang yang disegani dalam alirannya (Zaidiyah).
Dahma’ adalah saudari dari Ahmad bin Yahya. Ahmad bin Yahya sendiri adalah pengarang Matan Al-Azhar sebuah kitab induk mazhab Zaidiyah. Matan Al-Azhar ini di kemudian hari disyarahi oleh Asy-Syaukani dalam kitab berjudul Sailul Jarrar. Nah, Sailul Jarrar ini—meskipun syarah atas kitab Zaidiyah—biasa digunakan dalam forum-forum ahlus sunnah termasuk Bahsul Masail NU. Dahma’ ini juga tak mau ketinggalan mensyarahi kitab Al-Azhar ini. Dahma’ mensyarahinya dalam buku empat jilid yang ia beri judul Syarhul Azhar.
Selain fikih, ia juga memiliki karangan lain dalam bidang tauhid dan faraid.
Nudhar binti Abu Hayyan
Bagi yang akrab dengan dunia keilmuan Islam, nama Abu Hayyan tentu sudah tak asing lagi. Ia adalah seorang poliglot dan penafsir Alquran ternama dalam tafsirnya yang terkenal: Bahrul Muhith. Di samping itu Abu Hayyan juga seorang ahli nahwu ternama dan bahkan digelari sebagai manusia paling alim nahwu di seluruh dunia pada zamannya.
Namun yang tak begitu banyak diketahui adalah ia punya anak gadis yang alimah, pintar sekali dalam agama. Saking bangganya Abu Hayyan dengan anak gadisnya ini, Abu Hayyan sampai pernah berkata: “Andai saudaranya, Hayyan, seperti dia..” (Layta akhaha Hayyan mitsluha)
Namun sayang.. putri kebanggaan bapaknya ini meninggal muda dalam usia sekitar 28 tahun. Setelah meninggalnya putrinya ini, Abu Hayyan sangat sedih sekali. Akhirnya Abu Hayyan membuat kitab yang ia dedikasikan untuk putrinya: An-Nudhor fil Mislah ‘an Nudhor. Tak diketahui jelas tentang apa kitab yang tak sampai kepada kita ini. Kita hanya memperoleh informasi dari Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa kitab ini banyak faidahnya (katsirul fawaid).
Suyuthi mencatat bahwa Nudhor sendiri meninggalkan satu kitab hadis yang tampaknya tak sampai kepada kita.
Ummul Huda
Ia adalah cucu seorang ulama fikih terkenal: Muhibuddin Ath-Thobari atau biasa kita jumpai dalam kitab fikih (Fathul Muin, misalnya) sebagai Muhib Thobari. Keilmuan Ummul Huda diakui oleh kakeknya dengan bukti kakenya memberi ijazah. Ijazah adalah wujud pengakuan, biasanya berupa izin mengajarkan kitab si mujiz atau pemberi ijazah.
Tak tanggung-tanggung, murid Ummul Huda di antaranya adalah Ibnu Zhohiroh, seorang penghapal hadis dan kadi Makkah di zamannya. Selain dunia mengajar, Ummul Huda juga memiliki buku sejarah—yang oleh Sakhawi disebut sebagai buku yang bermanfaat—berjudul Tarikh Bani Thabari atau Sejarah Klan Thabari.
Demikian di antara beberapa wanita dahulu yang produktif mengarang. Semoga bermanfaat.