Sedang Membaca
Haul Nurcholish Madjid (7): Kenangan Pribadi Bersama Cak Nur
Kholisuddin
Penulis Kolom

Penulis lepas. Menyelesaikan studi S2 pada Program Kajian Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia

Haul Nurcholish Madjid (7): Kenangan Pribadi Bersama Cak Nur

Cak Nur 7

Di penghujung abad ke-20 banyak cendekiawan muslim Indonesia yang tampil dan ikut mengambil peran dalam membangun bangsa.  Nurcholish Madjid atau yang akrab dipanggil Cak Nur adalah salah satu nama menonjol yang pantas ditulis di jajaran depan.

Ia terlibat aktif menyumbangkan pikiran-pikirannya untuk kemajuan peradaban Islam dan Indonesia. Jejak-jejak kontribusinya dapat dengan mudah ditelusuri lewat buku-buku hasil tulisannya, lembaga dan yayasan yang didirikannya serta tempat-tempat lain tempat ia aktif mengabdikan diri. 

Sebagai salah seorang tokoh Cak Nur tentu banyak memiliki follower (mungkin demikian pula penentangnya). Tulisan dan buku-bukunya banyak disantap orang. Ceramah dan diskusi yang menghadirkannya diminati banyak kalangan. Aku termasuk di antara orang yang mengagumi sosok Cak Nur. Maka aku sangat bersemangat ketika ada kesempatan dapat berdekatan dengan Cak Nur.

Salah satu kenangan bersama Cak Nur aku alami saat perhelatan KUUI (Konferensi Umat Islam Indonesia) ke-3 tahun 1998. Pertemuan yang digagas oleh Majelis Ulama Indonesia ini digelar di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. Saat itu aku terlibat dalam kepanitiaan. 

Posisiku di kepanitiaan sangatlah tidak strategis, tidak penting, sangat pinggiran (marginal), bahkan very pheriperal. Perannya pun sangat sepele. Tapi di KUII ke-3 aku mendapat amanah untuk menemani Cak Nur. Tugasku adalah menjemput Cak Nur di rumahnya dan menghantarkannya kembali pulang. Cak Nur diundang sebagai salah satu nara sumber di acara ini.

Baca juga:  Kisah Kiai Wahab Chasbullah Muda Kencing di Pengimaman

Sebenarnya dua kali aku mendapat tugas menemani Cak Nur. Pertama, saat KUII ke-3 tahun 1998 di Asrama Haji, Jakarta. Kedua, saat Orasi Ilmiah yang diselenggarkan oleh PP DMI (Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia) tahun 1999, beberapa hari menjelang kejatuhan Soeharto (Orde Baru). Tapi, tulisan ini hanya ingin mengenang Cak Nur saat aku bertugas di kepanitiaan KUII ke-3.

Ada perasaan deg-degan tapi gembira ketika aku diberi tugas menjemput Cak Nur. Bagaimana tidak, aku akan mempunyai kesempatan berdekatan dengan Cak Nur selama durasi kurang lebih dua jam perjalanan pulang pergi tanpa ada yang mengganggu. Aku akan duduk semobil dengan seorang pemikir besar, guru bangsa, tokoh pergerakan Islam dan garda depan cendekiawan muslim Indonesia. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

Perasaan campur baur itu aku coba kesampingkan. Aku segera memburu buku-buku Cak Nur. Aku lahap buku-bukunya untuk lebih memahami pemikirannya, mulai dari Khazanah Intelektual Islam, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Cita-cita Politik Islam, Islam Agama Kemanusiaan dan karya magnum opusnya Islam Doktrin dan Peradaban.

Tibalah hari penjemputan itu. Panitia menyodorkan kepadaku seorang supir,  sedan Mercy Bens seri E300 dan amplop untuk Cak Nur. Aku segera meluncur ke kediamannya. Sesampai di rumah Cak Nur di kawasan Tanah Kusir, aku  mengetuk pintu dan mengucap salam. Rupanya beliau sudah siap dan menunggu jemputan. Cak Nur menyambutku dengan sangat ramah dan aku langsung membimbingya menuju mobil. Aku duduk di depan dengan supir sedang Cak Nur aku persilahkan duduk di belakang.

Baca juga:  Batang Kurma yang Menangisi Nabi Hamba Sahaya

Aku tak sungkan memanggilnya dengan Cak Nur. Aku mulai pembicaraan ringan dengan menanyakan keadaan keluarga, hingga putra-putrinya Nadia dan Mikael. Lalu sedikit demi sedikit aku mulai merambah menanyakan beberapa pemikiran Cak Nur. Aku ingin memperoleh penjelasan yang lebih elaboratif langsung dari pemikirnya, mulai dari pemikiran tradisionalisme hingga modernisme Islam. Persiapan bacaanku cukup membantu membuatku enjoy berdialog dengan Cak Nur. 

Adalah termasuk su’ul adab jika aku mendebat Cak Nur. Aku bukan siapa-siapa. Yang aku hadapi adalah seorang pemikir besar, tempat orang bertanya mengenai berbagai problem umat dan bangsa. Pemikirannya selalu menjadi penggerak islamic intellectual discourse di tanah air sejak tahun 1970-an.  Cak Nur lulus summa cumlaude Phd dari Chicago University di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Cak Nur juga seorang speaker pemikiran Ibnu Taimiyyah. 

Cak Nur lebih tepat aku sebut sebagai seorang cendekiawan, intelektual dan tokoh pergerakan Islam Indonesia. Jika seorang ulama atau ustadz berperan mengayomi akidah umat dan membimbing mereka untuk selalu taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, seorang cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya berperan memberikan pencerahan kepada umat. Cendekiawan adalah orang yang berani menyampaikan kebenaran dan terbebas dari kepentingan apapun, selain untuk kebenaran itu sendiri.   

Aku sempat bertanya kenapa pemikiran-pemikiran Cak Nur sering menjadi kontroversial di tengah masyarakat.  Dengan penuh telaten Cak Nur meladeni pertanyaanku. “Muslim Indonesia itu butuh shock teraphy”, demikian katanya kalem. Mereka harus selalu dikagetkan dengan pikiran-pikiran baru, yang sebenarnya pemikiran lama yang dikemas dengan idom-idom baru, agar mereka tidak terjatuh pada kejumudan berpikir.

Baca juga:  80 Tahun Goenawan Mohamad: Tentang Tuhan Yang Tak Perlu Selesai

Terlepas dari pro dan kontra pemikirannya, Cak Nur banyak mewarnai perkembangan keilmuan dan pemikiran Islam Indonesia. Salah satu warisannya, menurutku, adalah kemampuannya mengkristalisasi doktrin-dontrin Islam untuk disemaikan di Indonesia agar umat Islam di negeri ini dapat menyongsong masa depan (modernitas) dengan penuh kepercayaan diri. Islam datang untuk memberi solusi bukan menjadi problem, demikian ujarnya. Memang konsern besar pemikiran Cak Nur adalah keislaman, keindonesiaan dan kemodernan.

Itulah beberapa kenanganku dengan Cak Nur. Cak Nur yang tabahhur fil ‘ilmi (luas ilmunya) tapi tetap bersahaja, sederhana, tawadhu’ (rendah hati) dan bersahabat. Maka saat Allah memanggilnya pada 29 Agustus 2005, aku ikut mengiringi detik-detik jasadnya ditimbuni tanah di TMP Kalibata, Jakarta. Aku yakin seorang jiwa yang tenang akan kembali menuju Rab-nya dengan penuh ketenangan.  Lahu al-fatihah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top