Sejak 2006, kampung Ketandan Yogyakarta menjadi saksi meriahnya perayaan Imlek yang digelar setiap tahun. Dekorasi lampion-lampion merah menyala digantung memayungi sepanjang jalan Malioboro. Di balik gapura megah berlilit naga di timur jalan Malioboro itulah festival bertajuk Pekan Budaya Tionghoa dihelat semarak selama sepekan usai Imlek. Sayangnya, tahun ini euforia itu tak lagi bisa didapati lantaran pandemi.
Dua tahun silam, saya berkesempatan mengunjungi gelaran Pekan Budaya Tionghoa ketiga belas dalam rangka observasi akademik. Sebelum bertandang, saya memancang ekspektasi untuk menggali banyak hal terkait simbol kebudayaan Tionghoa seperti barongsai, wayang potehi, fengshui, kue keranjang, lampion, dan lain sebagainya. Namun yang saya temukan, Pekan Budaya Tionghoa punya arti lain ketimbang etalase produk-produk budaya China. Lebih dari itu, festival ini menjadi ruang perjumpaan beragam etnis, budaya, dan agama.
Dalam kunjungan itu, saya menyepakati bahwa festival ini layak disebut sebagai hajatan semua orang karena memang pengunjung yang datang berasal dari berbagai latar belakang. Tidak hanya etnis Tionghoa, arena itu juga disesaki orang-orang Jawa yang beberapa di antaranya bisa dikenali sebagai Muslim dari jilbab yang mereka kenakan. Mereka tidak saja berkunjung, sebagian turut menggelar lapak.
Kesan inklusif semakin kuat terasa saat saya sampai di panggung utama dan berbincang dengan salah satu panitia, pemuda Tionghoa yang sedang mempersiapkan venue untuk Grand Final Koko-Cici Yogyakarta -semacam pencarian duta budaya Tionghoa untuk Yogyakarta. Ia mengatakan, acara tersebut tidak hanya ditujukan untuk etnis Tionghoa, tapi untuk semua kalangan. Gelar Koko-Cici bisa diberikan kepada orang Jawa misalnya, asalkan berkomitmen mendalami dan mempromosikan kebudayaan Tionghoa setelah terpilih nanti.
Di sudut yang lain, saya melihat panggung kecil tempat Line Dance Competition akan digelar. Itu adalah jenis tarian kontemporer dengan iringan lagu-lagu pop. Sebelum kompetisi dimulai, seluruh kontestan melakukan pemanasan bersama. Dari situ terlihat jelas bagaimana peserta didominasi oleh perempuan muslim.
Tak jauh dari arena saya berbincang dengan seorang panitia, pemuda muslim Jawa. Dijelaskannya, acara ini diselenggarakan oleh Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Ia mengatakan, struktur panitia acara ini tidak hanya tertutup untuk etnis Tionghoa saja tetapi juga etnis Jawa seperti dirinya, bahkan pengurus JCACC berasal dari berbagai etnis. Sebelum bergabung dengan panitia Pekan Budaya, ia mengaku pernah menjadi pemain barongsai.
Memasuki stand wayang potehi, saya kembali bertemu dengan panitia, seorang pria Jawa. Ia menjelaskan sedikit yang ia ketahui tentang wayang unik ini, tentang cara memainkannya, cerita yang dibawakan, dan beberapa tokohnya. Dari situ saya juga mengetahui fakta bahwa dalang wayang potehi yang bermain di festival budaya tersebut juga seorang pria Jawa dari Jombang, Jawa Timur. Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang wayang hokkien tersebut kecuali dari keterangan yang tertempel di dinding. Para penjaga stand juga tidak memiliki informasi tambahan apapun padahal banyak sekali gambar wayang yang dipajang di dinding yang menarik untuk diteliti lebih dalam. Siapakah mereka, apa arti dari pakaian yang mereka kenakan, apa arti warna dan motif pada mukanya?
Pertanyaan saya juga tidak terjawab ketika saya mengunjungi salah satu stand oleh-oleh dan menanyakan tentang ragam oleh-oleh yang ada di sana. Penjual mengaku tidak tahu apa nama barang yang dijualnya dan apa artinya. Bahkan ketika saya menemukan kios lontong Cap Go Meh yang sangat mirip dengan lontong opor pada umumnya, penjualnya kesulitan menjelaskan perbedaan keduanya. Selain itu saya juga menemukan warung angkringan khas Jogja yang penuh dengan dekorasi huruf mandarin namun menawarkan beberapa menu mie instan. Sama dengan sejumlah kedai makanan lain, meski juga penuh dengan nuansa Tionghoa, sajiannya bisa kita temukan di festival kuliner pada umumnya.
Setelah membaca Chang-Yau Hoon (2009), saya baru mafhum bahwa banyak hal yang dapat tercermin dari pekan budaya Tionghoa di Yogyakarta ini. Hobswarn (1983), seperti dikutip Hoon, menyebut peristiwa ini sebagai “tradisi yang diciptakan”. Sebagai tradisi baru yang ditempatkan dalam konteks kebangsaan, sangat dapat dimaklumi mengapa asimilasi budaya dalam tradisi Tionghoa ini sangat padat. Di Indonesia, perayaan Imlek sendiri baru digelar meriah di era Presiden Megawati yang pada tahun 2003 menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Hoon mengatakan, “banyak etnis Tionghoa yang merespon (perayaan Imlek) dengan memanfaatkan suasana pluralisme dan multikulturalisme untuk mengartikulasikan jati diri mereka dan membebaskan warisan budaya mereka yang telah lama tertindas (2009). Inklusivitas yang terjadi kemudian menjadi suatu kebutuhan, atau bahkan bisa dikatakan sebagai “strategi politik” oleh kelompok Tionghoa itu sendiri untuk berbagi ruang dengan komunitas lain.
Di sisi lain, unsur komodifikasi juga disebutkan secara gamblang oleh Hoon. Ia mengatakan, Imlek di Indonesia dapat dibaca secara setara dalam konteks yang lebih luas, sebagai contoh lokal dari festival global yang dirayakan oleh konsumsi dan komodifikasi oleh kapitalisme (2009). Ketika budaya telah dikomodifikasi, tidak heran jika keasliannya tampak kabur seperti yang ditemukan dalam pekan budaya ini. Alih-alih menghadirkan keaslian sejarah, festival semacam itu tampaknya lebih menonjolkan produk etnik yang bisa dipasarkan. Pada akhirnya, saya menyimpulkan, alih-alih menganggap festival ini sebagai semata ajang promosi budaya an-sich, perayaan ini lebih bermakna sebagai rekognisi tradisi Tionghoa sekaligus pembuka ruang bagi berbagai kelompok, budaya, bahkan kepentingan ekonomi untuk saling bertemu, berbaur, dan menopang.