Hoax adalah ancaman yang marak muncul di era teknologi informasi berkembang pesat. Fenomena ini terjadi secara masif. Penyesatan yang ditimbulkannya bisa menghasilkan berbagai dampak. Mulai dari sekadar jengkel sampai keributan. Misalnya ribut keluarga karena hoax dan beda pendapat atasnya.
Maraknya masalah ini kerap dialamatkan pada faktor psikologis. Faktor psikologis yang mendukung terciptanya era Post-Truth (Pasca-Kebenaran) menjelaskan peranan individu yang mudah mempercayai hoax dan turut menyebarkannya. Hoax menargetkan perhatian individu terhadap suatu berita dengan sensasinya. Membuat hoax semakin tersebar luas. Saking luasnya, terjadilah fenomena pasca-kebenaran, bahwa hoax sudah terlalu parah menjangkiti manusia.
Namun sayangnya, bagi saya penjelasan tersebut sama sekali tidak menjawab maraknya hoax di era sekarang. Jika memang sudah naluri manusia mempercayai hoax dan menyebarkannya, mengapa fenomena ini marak di era sekarang? Mengapa pasca-kebenaran dianggap sebagai fenomena yang baru-baru ini terjadi?
Ibarat saya melihat seseorang yang makan sangat banyak dan saya mempertanyakan “mengapa orang itu makan banyak?” Faktor psikologis hanya seperti menjawab pertanyaan itu dengan jawaban “Karena ia lapar”. Apakah orang lapar sudah pasti makan banyak? Bukan hanya kegiatan makan yang saya pertanyakan, melainkan porsi makannya. Jawaban tepat yang mungkin adalah “karena orang itu habis bekerja berat” atau “orang itu belum makan berhari-hari”. Dengan kata lain, pasca-kebenaran tidak tercipta hanya karena hoax, tetapi masifnya hoax di masyarakat. Sehingga di sini saya ingin menjelaskan maraknya hoax dan terciptanya pasca-kebenaran.
Hoax atau berita bohong pada dasarnya sudah ada sejak lama sekali. Tujuan manusia menciptakan kebohongan tentu bermacam-macam dan bukan intensi saya di sini untuk menjelaskan semuanya. Namun salah satu tujuan dari penciptaan hoax yang sangat terasa di era pasca-kebenaran adalah konstruksi sosial.
Konstruksi sosial dengan membuat hoax juga bukan fenomena baru. Sejak dulu hal ini sangat mudah ditemui. Di tingkat akar rumput, masyarakat menyebutnya gosip. Kebanyakan gosip setara dengan hoax karena isinya yang tampak meyakinkan namun tidak sesuai dengan kenyataan dan umumnya miskin data. Namun konstruksi sosial yang terbentuk karena gosip sangat terasa dalam komunitas masyarakat skala kecil. Gosip menyebar dari mulut ke mulut dan karena biasanya isinya hanya berkaitan dengan masalah internal suatu komunitas kecil masyarakat, isu ini tidak tersebar sampai keluar komunitas tersebut.
Dalam Weapons of the Weak (1985), James C. Scott melihat bagaimana gosip membentuk konstruksi sosial. Scott melihat bahwa gosip adalah senjata orang-orang lemah atau masyarakat kecil. Para petani di Sedaka yang merasa muak dengan ketimpangan sosial dan kelakuan tuan tanah di desa tersebut membuat gosip-gosip tentang tuan tanah. Bagi Scott ini adalah bentuk perlawanan dari petani tersebut terhadap hegemoni tuan tanah. Tidak seperti pendapat Gramsci, masyarakat tidak sepenuhnya terkekang hegemoni. Gosip adalah agency mereka di dalam struktur dimana hegemoni tuan tanah sangat kuat.
Tetapi apakah pasca-kebenaran sekarang ini merupakan perlawanan terhadap hegemoni? Sayangnya tidak. Mengapa? Karena senjata orang-orang lemah ini telah diambil alih oleh orang-orang kuat (kapitalis). Inilah sebab masifnya hoax di era pasca-kebenaran. Kelas kapitalis-lah yang mampu memproduksi hoax dengan jumlah masif.
Pasca-kebenaran pada dasarnya berkembang seiring dengan menguatnya pihak ekstrem kanan. Pihak ekstrem kanan ini memanfaatkan hoax untuk mengonstruksi realitas sesuai dengan kepentingan mereka. Tentu tujuan itu mensyaratkan produksi hoax yang masif. Disinilah kapitalisme media berperan penting.
Sekarang teknologi informasi dan komunikasi sudah maju. Arus informasi sangatlah deras. Dikala arus informasi begitu masif, sulit untuk mendominasi banyaknya arus informasi tersebut dengan satu tujuan tertentu. Kuncinya adalah penguasaan media mainstream, yang umumnya dianggap kredibel oleh masyarakat. Hal ini tidak mungkin dilakukan orang-orang lemah seperti buruh atau petani.
Kapitalisme menguasai perusahaan-perusahaan media yang bertugas menyediakan informasi bagi masyarakat. Penguasaan ini bertujuan untuk mengarahkan pengetahuan masyarakat ke arah hal-hal yang menguntungkan kapitalisme. Bukankah penguasaan media untuk tujuan tertentu dalam skala masif sudah sering terjadi sebelum era ini?
Pers Hindia Belanda banyak yang dibredel karena dianggap memprovokasi pemberontakan dan separatisme Indonesia–yang kelak kita sebut perjuangan kemerdekaan. Begitu juga pers di era Orde Baru dibredel karena menyebarkan kenyataan pahit Orde Baru. Pembredelan tersebut dianggap mengkhianati pemerintahan yang Pancasilais–pengkhianatan yang nantinya disebut reformasi.
Setiap penguasa yang otoriter berusaha membendung fakta dan bersamaan dengan itu memberi informasi sesuai kepentingannya. Bendungan terhadap informasi tersebut berupa pembredelan atau pengawasan yang ketat seperti UU ITE. Dimana individu dapat dipenjara karena mengemukakan pendapat. Maka yang terjadi justru kebalikannya, hoax dijadikan kambing hitam agar kebenaran bisa ditutupi. Padahal cara mengatasi hoax yang terbaik adalah membuka akses pada kebenaran seluas-luasnya.
Hal ini menyatakan bahwa pasca-kebenaran bukan hanya tentang penyebaran hoax, tetapi juga manipulasi informasi untuk kepentingan pihak tertentu. Manipulasi tersebut dapat juga berupa pembungkaman fakta. Pengawasan dan pembungkaman selayaknya novel 1984 dari George Orwell. Perlawanan yang memperjuangkan fakta dituduh pemberontakan yang mengganggu stabilitas.
Betapa kondisi ini menjadi sangat relevan, seandainya kita tidak hanya melihat akar psikologis individu dari pasca-kebenaran, melainkan melihat permasalahan utama saat ini, kapitalisme. Dikala masyarakat Papua disebut separatis dan tidak tahu diri kala memperjuangkan hak mereka. Dikala kekerasan aparat terhadap petani dicap hoax karena mengganggu kepentingan penguasa. Di sisi lain, di waktu yang sama, penguasa mencekoki masyarakat dengan informasi versi mereka. Bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi untuk kepentingan penguasa sendiri.
Hoax perlu diberantas bukan hanya karena penyesatannya, tetapi juga kehadirannya yang menjadi label untuk represi. Penting untuk menciptakan media-media alternatif, media tanding, yang membawa suatu informasi lain yang bisa diverifikasi dan bahkan, bila perlu, diadu dengan informasi lain.