Sedang Membaca
Nietzsche, Islam, dan Bias Orientalisme: Tanggapan terhadap Ahsan Rasyid
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Antropologi UI. Tulisan-tulisannya juga bisa diakses di berdikaribook.red, bukuprogresif.com, islami.co, kurungbuka.com, dan detik.com.

Nietzsche, Islam, dan Bias Orientalisme: Tanggapan terhadap Ahsan Rasyid

Friedrich Nietzsche

Dalam tulisannya di alif.id yang berjudul Sisi Lain Friedrich Nietzsche: Pengagum Rahasia Nabi Muhammad SAW, Muhammad Ahsan Rasyid menyatakan bahwa Nietzsche, filsuf yang terkenal dengan jargon Tuhan Telah Mati itu merupakan pengagum Nabi Muhammad SAW. Lebih dari itu, Islam yang terkenal keras dalam kritik-kritiknya terhadap modernitas ini nyatanya memiliki persamaan pandangan dengan Islam, atau Ahsan Rasyid menyebut bahwa pandangan buruk Nietzsche tentang agama tidak benar-benar berlaku pada Islam.

Pembahasan ini amat menarik. Dalam tulisannya, Ahsan Rasyid terutama mengandalkan buku Nietzsche Berdamai dengan Islam (Boekoe Theotraphi, 2017), terjemahan dari buku The New Orientalists (IB Tauris, 2007) yang ditulis Ian Almond. Dalam versi asli buku tersebut, Almond menganalisis bagaimana Islam ditempatkan dalam pemikiran filsuf dan sastrawan Barat. Tidak hanya terbatas pada Nietzsche, tetapi juga Foucault, Derrida, Zizek, Baudrillard, Jose Luis Borges, ataupun Orhan Pamuk. Sedangkan dalam versi terjemahan, pembahasannya hanya Nietzsche, Foucault, dan Derrida.

Almond berusaha membongkar konstruksi Islam dalam pemikiran para filsuf dan sastrawan itu. Sayangnya justru perhatian Almond ini tidak ditangkap dengan baik oleh Ahsan Rasyid. Hal ini hanya dibahas selintas oleh Ahsan Rasyid, bahwa Nietzsche menganggap Islam masih termasuk dalam deretan agama yang memanipulasi umatnya. Tapi berbicara soal kekaguman Nietzche terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW, Ahsan Rasyid tidak mengkritisi Islam seperti apa yang dipuja oleh Nietzsche itu.

Baca juga:  Tafsir Surah an-Nashr dan Kisah-Kisah yang Mengelilinginya

Pertanyaan itu menjadi penting karena citra Islam di Barat, terutama Eropa, kerap mengundang kontroversi. Ini yang mendasari tulisan Edward Said yang menjadi kanon dalam studi pascakolonial, Orientalisme. Bahwa dalam gambarannya mengenai Islam, para Orientalis, pakar peradaban Timur, yang berasal dari Barat kerap terpengaruh prasangka-prasangka. Gambaran Islam yang diberikan tidaklah utuh. Hal ini sangat terasa terutama di zaman Nietzsche hidup yang masih kental dengan perasaan superioritas Barat.

Bagi Nietzsche, Islam merupakan agama yang masih “murni”. Kemurnian ini dikarenakan Islam belum tersentuh modernitas yang menjadi sasaran kritik utama Nietzsche. Dalam klasifikasi yang dilakukan Nietzsche, Islam termasuk dalam agama yang tidak mengenal belas kasihan terhadap nasib yang lain dan orang banyak (das Gesindel) (Almond, 2017: 7). Struktur masyarakat Islam masih sangat hierarkis, tidak egaliter, Islam yang menarik bagi Nietzsche adalah Islam dalam bentuknya yang paling konservatif.

Begitu juga dalam kekaguman Nietzsche terhadap Nabi Muhammad SAW yang didasarkan pada pandangan bahwa Nabi Muhammad adalah manipulator massa. Bahwa Nabi Muhammad SAW mengeksploitasi gagasan mengenai kehidupan setelah mati untuk menggerakkan umatnya yang lebih lemah. Ini juga menjadi dasar bagi Nietzsche untuk menyamakan Nabi Muhammad SAW dengan Platon. Keduanya menggunakan “kebenaran” sebagai politik kekuatan (machtpolitik).

Baca juga:  Intoleransi, Tantangan Demokrasi di Indonesia

Agama sebagai alat manipulasi memang merupakan kritik utama Nietzsche. Dalam The Gay Science, Nietzsche mengkritik Islam yang merapal “Allah dengan 99 nama”, hanya untuk membuat umatnya sibuk. Seperti para Sufi yang berdoa tanpa mempertanyakan raison d’etre mengapa mereka melakukan itu semua. Sama halnya dengan umat agama-agama lain yang mengandalkan doa.

Dari segala uraian tersebut, Islam dalam pandangan Nietzsche adalah Islam dalam citranya yang gelap. Islam hadir dalam pemikiran Nietzsche justru cenderung hanya sebagai alat, suatu contoh dan metafora, untuk mengkritik peradaban Eropa, modernitas, dan kekristenan. Itu sebabnya Almond menemukan kerancuan sikap Nietzsche terhadap Islam. Terkadang Nietzsche mendukung Islam, seperti dalam The Antichrist, terkadang juga mengkritik Islam, seperti dalam The Gay Science. Bobby S. Sayyid menyebutnya sebagai “orang-orang yang menggunakan metafor Islam untuk proyek politik mereka” (Almond, 2007: 3).

Pertanyaan bagi pembaca semua, termasuk Ahsan Rasyid, apakah Islam yang dalam pemikiran Nietzsche – yang para penganutnya fanatik dan terobsesi pada perang, misoginis, dan hierarkis – adalah Islam sebenar-benarnya Islam? Apakah potret Islam ini yang akan terus dihidupi umatnya? Islam yang bertentangan dengan Barat dan modernitas dalam tingkah lakunya yang konservatif itu?

Bagi saya sendiri, kekaguman Nietzsche ini bukanlah sanjungan yang perlu diucapkan terima kasih karenanya. Bagi saya, pemikiran Nietzsche ini justru menjadi suatu titik untuk merenung. Pertama, kemana Islam mau dibawa? Bukankah Islam, terutama di Indonesia, berusaha menunjukkan diri sebagai agama damai? Jika memang begitu, sesungguhnya Islam dalam pemikiran Nietzsche bukanlah Islam yang sesungguhnya. Kedua, ini juga menjadi titik untuk mengkritisi berbagai pemikiran filsuf, yang besar sekalipun seperti Nietzsche. Pemikiran filsuf ini masih tidak lepas dari kritik dan bahkan bias. Hendaknya kita jangan sampai terjebak dalam bias-bias itu.

Baca juga:  Binatang dalam Alquran

Ahsan Rasyid dalam tulisannya tersebut justru melakukan hal yang sama dengan Nietzsche, yakni menggunakan suatu pemikiran untuk proyeknya sendiri. Dengan memberi gambaran yang sepotong-potong hanya untuk membentuk Nietzsche yang “kagum pada Islam”. Ketimbang untuk disyukuri dan dibanggakan, kekaguman Nietzsche, bagi saya lebih sebagai peringatan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top