Marx dan Marxisme tidaklah sama. Kalimat tersebut sebenarnya sudah cukup untuk menggambarkan kesalahan dalam tulisan Ali Makhrus yang berjudul Muhammad SAW menurut Karl Marx yang dipublikasikan di alif.id. Seandainya itu masih kurang jelas, maka dalam pembaca bisa melihat bahwa tidak ada satupun kutipan dari Marx dalam artikel yang ditulis Ali Makhrus tersebut. Jangankan yang spesifik soal Nabi Muhammad, bahkan kutipan tentang Islam secara umum atau bahkan kutipan pemikiran besar Marx tidak ditemukan di dalamnya.
Kesalahan besar tersebut, menyamakan Marx dengan Marxisme, sudah membuat artikel tersebut menyeleweng dari judulnya. Saya pikir judul itu adalah tujuan–hipotesis–Ali Makhrus yang berusaha digambarkan dalam artikel tersebut. Tetapi hipotesis tersebut tidak terbukti.
Dalam What is the real Marxist Tradition? (1983), John Molyneux mengutip pernyataan Marx yang mengaku dirinya bukan seorang Marxis. Lebih dari itu, bagi Molyneux pernyataan itu di era kontemporer menjadi masalah pelik karena perkembangan pemikiran Marxis yang menjadi amat beragam. Bersamaan dengan itu, pandangan Marxis tidak bisa disimpulkan sebagai pemikiran Marx juga. Keragaman itu direduksi dengan luar biasa oleh Ali Makhrus untuk menyatakan pemikiran Marxis sebagai pemikiran Marx sendiri.
Contoh yang digunakan pun adalah karya yang bukan karya Marx ataupun Marxis. Ali Makhrus menggunakan Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, sebagai simpul dari pendapat Marx tentang Nabi Muhammad. Dari sini sudah terlihat jelas bahwa maksud sebenarnya Ali Makhrus adalah mencari persamaan antara Islam dengan Marxisme. Tentu ini amat berbeda dengan judul yang disematkannya.
Kesamaan itu menurutnya terlihat dari konflik antara mustakbirin dengan mustadh’afin. Begitu juga dengan perlawanan Nabi Muhammad terhadap politeisme di Arab dengan membawa Islam yang monoteis. Baginya semuanya ini terbentuk melalui dialektika historis – doktrin penting dalam pemikiran Marx – dalam kehidupan Nabi Muhammad.
Pemikiran yang berupaya meletakkan Marx, Marxisme, dan Islam dalam sisi yang sama bukanlah hal yang baru. Landasan utama pemikiran ini adalah semangat perlawanan yang ada dalam Islam yang dianggap sejalan dengan Marxisme. Bahkan di era pergerakan Indonesia sekalipun, pemikiran ini sudah ada. Dalam Berebut Kiri, (Munasichin, 2005), pemikiran tersebut di antaranya adalah pemikiran Haji Misbach dan Haroenrasjid. Itu pun tidak bisa disebut berhasil karena adanya kelemahan karena adanya reduksi baik terhadap Islam maupun Marxisme untuk bisa menyatukannya.
Di bagian selanjutnya, kali ini Ali Makhrus mengutip salah satu pemikir besar Marxis, Antonio Gramsci. Pemikiran Gramsci yang digunakannya adalah penggunaan aspek kultural dalam penyebaran ide. Jika konsisten dengan judul maka Gramsci di sini, bagi Ali Makhrus, dapat dianggap sebagai representasi Marx.
Sayangnya, ada dua kesalahan yang bisa saya sorot di sini. Pertama, pemikiran Marx tidak sepenuhnya sama dengan pemikiran Gramsci. Kedua, meskipun pemikiran Gramsci bisa dinyatakan sama dengan pemikiran Marx, pemikiran Gramsci yang diangkat oleh Ali Makhrus sama sekali bukan pemikiran tentang Islam ataupun Nabi Muhammad. Ali Makhrus justru menggunakan pemikiran Gramsci untuk menganalisis penyebaran ide-ide keislaman oleh Nabi Muhammad. Ini adalah dua hal yang berbeda.
Pemikiran Gramsci yang digunakan oleh Ali Makhrus untuk menganalisis Islam adalah pemikiran mengenai Ideological State Apparatus (aparatus ideologi negara). Konteks lahirnya pemikiran ini adalah penggunaan berbagai aparatus untuk melanggengkan kapitalisme. Aparatus ini dikuasai oleh negara – penguasa – bukan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan kepentingan kapitalis. Hegemoni kapitalis dibangun melalui penggunaan aparatus-aparatus ini.
Tentu dengan latar tersebut, aparatus ideologi adalah alat bagi penguasa untuk menciptakan hegemoni di masyarakat untuk kepentingan mereka. Tetapi Ali Makhrus menggunakan konsep ini untuk penyebaran nilai-nilai keislaman yang dilakukan Nabi Muhammad. Di sini Islam diletakkan sebagai penguasa. Jika konsisten dengan argumen sebelumnya soal konflik mustakbirin dengan mustadh’afin, maka Islam diletakkan sama dengan mustakbirin yang menggunakan aparatus kepercayaan politeisme untuk tujuan mereka.
Selanjutnya Ali Makhrus tetap bersikeras bahwa “bagi Marx, Nabi Muhammad adalah sosok representasi kelas tertindas yang mampu membalikkan keadaan.” Padahal sama sekali tidak ada pemikiran Marx dalam artikelnya. Selain itu menjadikan Nabi Muhammad sebagai representasi kelas tertindas tidak bisa dilakukan sembarangan. Dalam pemikiran Marx, kelas tertindas adalah proletar. Apakah Nabi Muhammad bisa disebut proletar?
Dari uraian di atas, maka saya simpulkan bahwa Ali Makhrus gagal dalam menunjukkan pendapat atau pemikiran Marx tentang Nabi Muhammad. Sepengetahuan saya, tidak ditemukan catatan pemikiran Marx tentang Nabi Muhammad dan Ali Makhrus juga tidak bisa menunjukkannya. Ketimbang itu, artikel Ali Makhrus adalah upaya “mencari persamaan” antara Islam dan Marxisme. Itu pun masih bercampur dengan analisis terhadap Islam menggunakan pemikiran Marxis. Saya sendiri sempat berpikir, hal-hal seperti ini bisa disalahpahami sebagai mencari validasi Nabi Muhammad. Ini jelas tidak perlu. Tanpa adanya komentar Marx terhadap Nabi Muhammad, sosoknya tetap memiliki pengaruh yang amat besar.
Akhir kata, saya hanya ingin menyarankan alternatif bagi pembaca. Jika memang ingin melihat analisis Marxis tentang Islam, sudah ada beberapa pemikir yang melakukannya. Pertama, Maxime Rodinson yang membahas tentang peradaban Islam dan bahkan Nabi Muhammad secara spesifik. Karyanya diantaranya adalah Muhammad: Prophet of Islam; Marxism and the Muslim World; dan Islam and Capitalism. Karya dari Chris Harman tentang Islamisme, The Prophet and the Proletariat, juga menarik untuk disimak dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh IndoProgress menjadi Nabi dan Proletariat (2018). Analisis antropologi Marxis juga bisa dilihat dalam Eric Wolf, The Social Organization of Mecca and the Origins of Islam.