Awalnya warga Italia santai seperti kita. Atau mungkin kita lebih santai menyikapi Corona. Tapi di Italia sekarang, penderita sudah tembus 15 ribu penderita dengan korban meninggal lebih dari 1000.
Kita punya agama dan budaya yang seharusnya menguatkan iman, kekuatan spritual, kekuatan bekerjasama, kekuatan untuk melakukan langkah rasional untuk menanggulangi penularan penyakit ini. Bukan sebaliknya. Karena salah memahami agama membuat bangsa acuh mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Karena salah arah, masyarakat menjadi sangat egois, mementingkan keselamatan sendiri dan abai dengan keselamatan orang lain. Mementingkan perut sendiri yang kenyang, menimbun bahan makan sebanyak-banyaknya dan tidak peduli dengan nasib mereka yang kekurangan. Ajaran agama dan budaya bangsa tidak membenarkan sikap egoisme.
Rasulullah telah memberi teladan kepada umatnya tentang penyakit. Penyakit dan semua yang terjadi adalah atas kuasa Allah. Ini akidah yang membuat manusia akan selalu kembali kepada Allah. Memohon ampun kepada Allah. Memohon keselamatan kepada Allah.
Tapi di saat yang sama Rasulullah mengajarkan agar pengikutnya menggunakan ilmu. Dan ilmu itupun dari Allah. Ilmu menanggulangi penyebaran penyakit dan ilmu menyembuhkan penyakit. Menghindari penyakit harus dilakukan. Acuh dan cuek dengan aturan sehingga menyebabkan diri dan orang lain menjadi sakit adalah dosa. Ini adalah bentuk menjatuhkan diri dalam kerusakan. Allah melarang manusia abai dengan amanat tubuh dan jiwa. Jangan jatuhkan diri kalian dalam kerusakan dan kebinasaan (QS. Al-Baqarah: 195).
Rasulullah, saat seseorang datang ingin baiat. Lalu ketika hendak berjabat tangan, Rasulullah melihat tanda-tanda penyakit kusta di tangan orang itu. Lalu Rasulullah urung berjabat tangan. Padahal biasanya Rasulullah berjabat tangan saat menerima baiat. Rasulullah bersabda: Firra minal majdzum firooroka minal asad, hindarilah penderita kusta seperti Engkau lari dari harimau. Rasulullah melakukan langkah tersebut agar penyakit tidak menular. Penyakit diisolasi sehingga mudah ditangani. Tentu bukan berarti abai akan takdir Allah. Dan pula diartikan usaha lahiriyah tersebut menggerus untuk menggerus keimanan akan kuasa dan takdir Allah.
Sungguh tepat yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab. Saat perjalanan menuju Syam, beliau mendengar kabar ada wabah penyakit di Syam. Setelah bermusyawarah dengan sahabat senior, beliau memutuskan batalkan perjalanan. Beliau memilih kembali pulang ke Madinah. Saat ditanya seorang sahabat, apakah pulang ini berarti lari dari takdir Allah. Mungkin sahabat ini ingin tetap melanjutkan perjalanan sembari tawakkal kepada Allah. Khalifah Umar menjawab: Kita lari dari takdir Allah menuju takdir yang lain, yang juga ketetapan Allah. Lalu Khalifah Umar memberikan analogi: Jika kalian sedang berternak onta, lalu mendapati di sana ada hamparan tanah yang subur penuh rerumputan dan di tempat lain ada hamparan tanah kering kerontang. Bukankah kalian akan memilih membawa unta kalian ke tanah yang subur. Inilah usaha yang diperintahkan Allah.
Dalam riwayat disebutkan, setelah Khalifah memutuskan kembali, sahabat Abdurrahman bin Auf yang maju menghadap Khalifah. Ia menyampaikan hadis Nabi yang pernah ia dengar, Jika ada wabah di suatu daerah maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika kalian ada di dalamnya maka jangan keluar. Khalifah Umar pun bertahmid, pendapatnya telah sesuai petunjuk Nabi Agung Muhammad.
Tindakan isolasi dan menutup sebuah daerah jika memang diperlukan bukanlah hal yang aneh. Semua langkah memang perlu diambil baik yang lahiriyyah sesuai ilmu pengetahuan, maupun batiniah sesuai aqidah dan iman yang benar. Semoga bermanfaat. (RM)