Sedang Membaca
Belajar Kearifan Lokal Smong, Mitigasi Bencana Orang Simeulue

Tinggal di Yogyakarta. Instagram @kenswarinanda. Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat

Belajar Kearifan Lokal Smong, Mitigasi Bencana Orang Simeulue

Smong Detik.com

Pengantar: Komunitas Generasi Literat yang didirikan oleh aktivis perempuan Milastri Muzakkar menginisiasi kegiatan #MerayakanMerdekaDariRumah. Proyek ini mengajak anak muda dari berbagai daerah untuk menggali kembali dan menuliskan nilai-nilai persatuan dalam kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia, yang sangat penting untuk dipraktekkan di masa pandemi.  Karena itu,  mereka disebut “Guide (virtual) Indonesia”, yang mengajak para pembaca untuk berwisata ke berbagai daerah. Generasi Literat memilih cara ini untuk merayakan merdeka dari rumah sebab kegiatan ini memiliki dua kekuatan: anak muda dan kearifan lokal. Keduanya adalah modal besar yang dimiliki Indonesia sebagai bangsa yang beradab dan maju. Untuk itu, mulai Minggu, 16 Agustus 2020 hingga sepuluh hari ke depan, alif.id akan memuat karya para Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat. Dirgahayu Republik Indonesia. Salam literasi.

Pada tanggal 26 Desember 2020, kita akan memperingati 16 tahun terjadinya tsunami di Aceh dan sejumlah negara lainnya. Bencana yang menewaskan kurang lebih 230.000 ribu jiwa ini mengingatkan kita bahwa kita hidup di negara yang rawan bencana. Maka, mitigasi bencana adalah sebuah keharusan sebagai upaya untuk berdamai dengan bencana.

Bicara tentang mitigasi bencana, ada kejadian menarik yang terjadi ketika tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam. Indonesia sebagai negara jumlah korban jiwa tertinggi pada saat itu dengan jumlah korban jiwa mencapai sekitar 130.000 korban jiwa. Namun ternyata, ada sebuah daerah yang jumlah korban jiwanya sangat sedikit bahkan bisa dihitung jari, daerah itu adalah pulau Simeulue.

Pulau Simeulue merupakan sebuah kabupaten sendiri dengan nama kabupaten Simeulue yang berada di  provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terletak sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Saat gempa dan tsunami 2004 silam, episentrum gempa cukup dekat, yaitu hanya 60 km dari barat pulau Simeulue (Wikipedia).

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (18): Kitab Jihad Syekh Abdus Shamad al-Palimbani Jadi Inspirasi Perang Aceh

Meski sarana dan prasarana pulau Simeulue mengalami kerusakan berat, namun jumlah korban jiwa hanya 6 hingga 8 orang, itupun karena tertimpa reruntuhan ketika terjadi gempa bukan terseret gelombang tsunami.

Mengapa jumlah korban tewas akibat gempa dan tsunami di pulau Simeulue sangat sedikit dibanding wilayah Aceh lainnya? Jawabannya adalah smong,  suatu kearifan lokal dari pulau Simeulue yang berisi peringatan akan terjadinya sebuah gelombang besar dan arahan apa saja yang harus dilakukan ketika gelombang besar terjadi.

Smong sendiri sebenarnya adalah istilah lokal untuk menyebut tsunami. Berasal dari bahasa Devayan yang merupakan bahasa asli masyarakat pulau Simeulue. Kearifan lokal smong merupakan cerita lisan yang disampaikan secara turun-temurun atau yang disebut nafi-nafi.

Cerita lisan tentang smong dapat berbentuk seperti cerita biasa pada umumnya sebagai cerita anak-anak sebelum tidur atau juga berbentuk syair yang dinyanyikan sebagai lagu untuk menidurkan anak. Selain itu, syair smong juga dapat didendangkan dengan menggunakan alat musik sebagai kesenian musik tradisional atau yang sering disebut dengan istilah nandong.

Kearifan lokal smong berisi kisah tentang tsunami yang terjadi di pulau Simeulue pada tahun 1907 silam. Tsunami tersebut merenggut banyak korban jiwa dan merusak pulau Simeulue pada saat itu. Sebagai pengingat untuk generasi selanjutnya agar tidak menimbulkan banyak korban jiwa lagi, maka dibuatlah cerita tentang smong yang disampaikan pada anak cucu yang selamat pada saat itu.

Baca juga:  Halalbihalal dan Perang Melawan Hawa Nafsu

Ketika anak cucu tersebut sudah dewasa maka mereka menyampaikan cerita smong ke anak cucu mereka juga hingga seterusnya sampai ke generasi saat ini.

Kearifan lokal smong disampaikan dalam bentuk syair yang berbahasa Devayan. Berikut isi syair tentang smong: seperti dikutip mongabay.co.id.

“Enggel mon sao curito

  Inang maso semonan

  Manoknop sao fano

  Uwi lah da sesewan

  Unen be alek linon

  Fesang bakat ne mali

  Manoknop sao hampong

  Tibo-tibo mawi

  Angka linon me mali

   Uwek suruik sahuli

   Maheya mihawali

   Fano me singa tenggi

   Ede smong kahane

   Turiang da nenekta

   Miredem teher ere

   Pesan dan navi da”

“Dengarlah sebuah cerita

 Pada zaman dahulu

Tenggelam satu desa

Begitulah mereka ceritakan

Diawali oleh gempa

Disusul ombak yang besar sekali

Tenggelam seluruh negeri

Tiba-tiba saja

Jika gempanya kuat

Disusul air yang surut

Segeralah cari

Tempat kalian yang lebih tinggi

Itulah Smong namanya

Sejarah nenek moyang kita

Ingatlah ini betul-betul

Pesan dan nasehatnya”

Pada 26 Desember 2004 lalu, ketika terjadi gempa besar, masyarakat pulau Simeulue langsung berbondong-bondong keluar dari rumah sambil membawa anak-anak, orang tua, dan sanak saudara. Pada saat itu juga, para pemuda di pulau tersebut pergi ke pantai untuk mengecek apakah air laut surut atau tidak.

Ketika melihat air laut surut, para pemuda tersebut langsung berteriak “Smong… Smong… Smong…” sambil berlari ke arah tempat yang lebih tinggi. Teriakan para pemuda tersebut disahuti oleh masyarakat sekitar dengan meneriakkan “smong” juga agar masyarakat pulau Simeulue segera mencari tempat yang lebih tinggi karena akan ada smong atau tsunami. Masyarakat pulau Simeulue pun akhirnya selamat dari tsunami meskipun bangunan rumah dan fasilitas umum rusak berat.

Baca juga:  Kontroversi Tarekat, Mursyid dan Peran Sosial-Politiknya

Keberhasilan kearifan lokal smong dalam menyelamatkan masyarakat pulau Simeulue dari gempa dan tsunami 26 Desember 2004 lalu, membuat kabupaten Simeulue mendapatkan penghargaan SASAKAWA Award dari ISDR (Internasional Strategy for Disaster Reduction), sebuah lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang bergerak di bidang mitigasi bencana pada tanggal 12 Oktober 2005.

Kearifan lokal smong ini juga mendapatkan pujian dari masyarakat seluruh dunia. Sebab, pada saat itu program mitigasi bencana di Indonesia masih lemah bahkan belum ada lembaga khusus yang bergerak di bidang mitigasi bencana.

Dalam waktu kurang dari 10 menit dan garis pantai pulau Simeulue yang mencapai 400 km, bisa melakukan evakuasi besar-besaran merupakan hal yang luar biasa. Terlebih pada saat itu, infrastruktur telekomunikasi di pulau Simeulue masih minim.

Atas keberhasilannya dalam menekan jumlah korban tsunami di pulau Simeulue, pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam pun memasukkan materi tentang smong ke dalam kurikulum belajar di sekolah-sekolah yang ada di provinsi tersebut. Kearifan lokal smong pun juga mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk tetap dilestarikan sebagai upaya mitigasi bencana di samping sebagai kearifan lokal khas pulau Simeulue.

Smong pun juga mendapatkan “kehormatan”, karena sudah masuk dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi V.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top