Tinggal di lingkungan yang asri, sejuk, nyaman, dan merdeka dari bencana, tentu menjadi dambaan setiap orang. Itu adalah anugerah tuhan yang tak terkira, yang seharusnya bisa membuat orang bersyukur atas pemberian sang kuasa. Akan tetapi, keinginan setiap orang kadangkala bertentangan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya.
Saya merasa beruntung tinggal dan dibesarkan di desa yang, menurut saya, nuansa religiusnya sangat kental, masyarakatnya adem ayem, rukun, mencintai gotong royong, dan lingkungan keluarga yang selalu bikin tenteram. Tapi, sebagaimana halnya manusia yang tidak ada sempurna, daerah yang saya tinggali pun jauh dari kata sempurna. Ada faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksempurnaan itu. Dan penyebab utama adalah masalah lingkungan.
Letak geografis desa saya yang tidak berada di pegunungan, membuat suasana desa jauh dari kata sejuk. Tidak banyak pepohonan. Bahkan kuantitas pohon bisa dihitung dengan jari. Tidak tersedia pula gemericik suara air dari sungai yang airnya bening nan mengalir. Tidak banyak pula lahan hijau yang mampu memikat mata memandang.
Jangan pernah membayangkan desa saya mirip seperti Desa Edensor di Inggris. Jauh. Tidak bisa disebandingkan. Dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, disebutkan desa di lereng bukit Derbyshire, Inggris, ini memang cantik dan menawan. Nah, desa saya yang terletak di utara Jawa Tengah ini tidak ekuivalen dengan kata ‘cantik’ dan ‘menawan’.
Dalam dua dekade terakhir, desa lokasi saya menetap kini lebih identik dengan perkara lingkungan. Banjir, sampah, dan limbah, adalah beberapa problem utama yang, setidaknya saya rasakan selama saya hidup dan besar di desa. Di kala musim hujan, ruas jalan dan gang-gang desa akan dengan mudah tergenang air, bahkan banjir dengan ketinggian yang bervariasi itu akan menginap selama beberapa hari. Kondisi semakin diperparah dengan limbah batik yang ‘menyembul’ dari gorong-gorong, yang mengakibatkan air banjir berubah warna dari coklat menjadi merah. Tak ketinggalan pula asap-asap dari cerobong pabrik industri tekstil yang mencemari udara.
Kondisi semacam itu nyatanya tidak hanya terjadi di desa saya saja. Secara umum terjadi pula di desa-desa lain di Kota Pekalongan, dan beberapa desa di utara Kabupaten Pekalongan. Krisis lingkungan yang terjadi pada lazimnya adalah ihwal banjir, rob, dan limbah batik, baik limbah batik dari home industri maupun industri pabrik berskala besar. Limbah-limbah batik yang dibuang secara ugal-ugalan ini seringkali mencemari lingkungan di Pekalongan.
Secara faktual saya melihat air di selokan selalu mengalami perubahan warna setiap hari, kadang-kadang berwarna merah, kuning, coklat, hitam, dan lain-lain. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada selokan di sekitar pemukiman penduduk, melainkan juga sungai-sungai besar di beberapa wilayah Pekalongan yang menjadi sentra industri batik.
Kaline Buthek, Wetenge Wareg
Bagi sebagian masyarakat Pekalongan, limbah batik yang berceceran di kali-kali, selokan, dan dimanapun itu, seringkali tidak dianggap sebagai sebuah masalah serius yang perlu penanganan khusus. Justru dengan adanya limbah batik dinilai sebagai berkah tersendiri, khususnya bagi pengusaha batik itu sendiri, dan karyawannya. Bahkan ada slogan yang cukup terkenal “Kaline buthek, wetenge wareg”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “Sungainya kotor, perutnya kenyang”. Satu kalimat yang terdiri dari empat kata itu sarat akan makna. Maknanya, jika sungai di Pekalongan terkontaminasi limbah batik, yang menjadikan airnya keruh dan kotor, maka kondisi ekonomi masyarakatnya sedang baik-baik saja.
Mata pencaharian masyarakat Pekalongan, baik di daerah Kotamadya dan Kabupaten, salah satunya memang berasal dari usaha batik. Usaha batik di Pekalongan bentuknya bisa batik rumahan (home industri) hingga industri pabrik berskala besar. Di desa saya bahkan terdapat banyak home industri batik, di setiap RW pasti ada 2-3 home industri batik.
Adanya usaha batik tersebut, di satu sisi, bisa membantu ekonomi masyarakat sekitar, tapi di lain sisi, dapat membuat lingkungan menjadi tercemar karena limbah yang dibuang tidak diproses (disaring) terlebih dulu. Sisi negatifnya, sumur-sumur warga menjadi ternoda, sehingga airnya tak bisa dikonsumsi. Karena air sumur tak bisa dipakai untuk minum, mau tak mau warga harus merogoh kocek yang tak sedikit untuk membeli galon, misalnya, atau berlangganan air pamsimas.
Begitulah. Krisis lingkungan karena limbah batik telah menjadi makanan sehari-hari masyarakat Pekalongan. Slogan ‘kaline buthek, wetenge wareg’ memang benar adanya. Sungai yang kotor menggambarkan warga Pekalongan masih dapat melahap makanan tiga kali sehari, memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gampang, membayar biaya sekolah anaknya, dan lain-lain. Sebaliknya, jika sungainya terlihat sangat bersih, itu menandakan sektor industri perbatikan sedang tidak baik-baik saja, yang berimbas pendapatan masyarakat yang mayoritas adalah buruh batik menurun, sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Mengaburkan Masalah Ekologis
Slogan ‘kaline buthek, wetenge wareg’ yang terkenal itu bisa saja dianggap sebagai pembenaran atas perilaku ekologis manusia yang membuang limbah batik tanpa proses Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Tak mengapa sungai tercemar, tak apa-apa sumur ternodai limbah batik, yang penting tungku-tungku dapur tetap menyala, uang bensin di tangan, dan bayar utang gampang. Jika saya buruh batik, misalnya, dan diberi pilihan, tentu saya memilih pendapatan bulanan masuk kantong terus, dan kondisi lingkungan menjadi lebih baik. Dua hal itu harus seimbang.
Sebagai khalifah di muka bumi, kita jangan sampai terbuai dengan narasi-narasi yang dibangun untuk mengaburkan persoalan lingkungan. Slogan ‘Kaline buthek, wetenge wareg’ jangan-jangan memang dibuat untuk mengaburkan masalah ekologis. Barangkali kita sebenarnya digiring untuk menilai bahwa membuang limbah batik ke sungai adalah hal yang benar? Agaknya kita memang diarahkan untuk melegalkan perilaku-perilaku bisnis bos-bos yang tak ramah lingkungan? Sehingga tidak perlu penanganan pemerintah.
Pengaburan masalah ekologis juga agaknya terjadi ketika banjir besar menghantam kawasan Demak, Kudus dan sekitarnya pada Februari-Maret 2024. Mencuatnya narasi mengenai bakal kembalinya selat muria akibat banjir di Demak. Sebab, daerah Demak, Kudus, Grobogan, Pati dan Rembang dulunya, sekitar 350 tahun lalu, adalah selat muria.
Dilansir dari NU Online, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh, menilai narasi tersebut dapat mengaburkan. Seolah menganggap bahwa banjir besar yang terjadi adalah kewajaran bukan karena perusakan alam, eksploitasi yang berlimpah-limpah, dan penanggulangan yang setengah hati sehingga tidak perlu pengendalian sungguh-sungguh pemerintah.
Kembali ke Pekalongan. Mau bagaimana pun, krisis lingkungan yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan. Banjir nyaris setiap tahun. Sampah ada dimana-mana. Sungai tercemar. Dan lain sebagainya. Untuk membasmi masalah itu, saya kira butuh keseriusan dan kekuatan dari berbagai pihak. Upaya-upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebencanaan perlu digalakkan.
Pemerintah dalam hal ini jelas harus menjadi garda terdepan. Kebijakan-kebijakan ‘para penguasa’ yang pro lingkungan perlu ditingkatkan dan diimplementasikan. Di samping itu, pengusaha-pengusaha, bos-bos batik pada khususnya, juga harus berbenah. Dimulai, misalnya, dengan melakukan aktivitas bisnis yang ramah lingkungan, sehingga dampak yang dihasilkan dari proses bisnis tersebut tidak terlalu menimbulkan kerusakan alam. Kerjasama stakeholder dalam meminimalisir terjadinya ‘keruntuhan’ alam adalah ikhtiar untuk memelihara kondisi bumi tetap stabil, sehingga kita bisa mewariskan planet ini kepada anak cucu kita kelak dengan sebaik-baiknya. Wallahu’alam bissawab.