Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Sekarang tinggal di Kartasura.

Siapa Empat Lelaki di Kebun Kurma Itu

Empat Lelaki Di Kebun Kurma

Setiap Muslim mencintai Nabi Muhammad Saw dengan caranya sendiri-sendiri. Minimal dengan tujuh belas kali dalam sehari kita menyebut nama nabi yang amat kita kasihi itu, belum lagi di luar salat, seperti pepujian atau rengen-rengeng mengikuti alunan musik pop religi yang sedang marak kiwari ini.

Kita mengingat esai Emha Ainun Najib berjudul Christ kepada Muhammad dalam bukunya Secangkir Kopi Jon Pakir (2016). “Kalau bepergian, orangtua kita menyarankan agar kita baca selawat Nabi, kata sementara orang. Kita memohon keselamatan, tapi kok kita ucapkan doa untuk kesejahteraan Nabi Muhammad,” tulis Emha.

Kita semua pada dasarnya percaya pada doa. Pernyataan ini diamini oleh Fariz Alniezar lewat esai berjudul Pendo(s)a (2019). Fariz menyebut, “Doa menjadi sedemikian pentingnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Saban individu bisa dibilang sangat karib dengan doa.” “Sungguhpun, doa sesungguhnya bukan semata sebagaimana yang mudah kita kenali hari ini. sebagian orang menyadongkan tangan, sebagian yang lain menangkupkannya di depan dada, atau bahkan dengan cara lainnya. Semua itu, Anda tahu, sesungguhnya ritus selebratif semata.”

Lantas, apa hakikat doa sebenarnya? Sujiwo Tedjo mengutip Sastrajendra Hayuningrat, “Doa yang sesungguhnya dan sejatinya paling mujarab itu adalah doa kehendak sadar itu.” Takrif tersebut mengajarkan pada kita bahwa doa paling manjur adalah “gerakan bawah sadar,” atau meminjam istilah Fariz, adalah krentek pertama yang tepat saat bersamaan dengan terjadinya sesuatu.

Baca juga:  Sastra dan Lanskap Sejarah

Tapi kenapa selawat?

Emha menjawab itu dengan menulis, “Tidak, tidak aneh. Pergaulan segetiga Allah-Muhammad-kita senantiasa amat karib. Muhammad mendoakan kita, kita mendoakan Muhammad. Perjalanan doa-doa kita semua berfungsi dialektis.”

Kita lalu mengingat sebuah cerita Arafat Nur dalam kumcer Empat Lelaki di Kebun Kurma (2020). Tulisan Arafat mungkin terasa sepele, tidak terlalu penting, sama halnya cerita picisan lainnya. Ia memberinya tajuk Penyair Kamto Jatuh Cinta. Kelihatannya klise dan banyak cerita picisan semacamnya. Padahal, sebetulnya, ia sedang menarasikan hakikat doa di atas dalam separuh ceritanya.

Kita simak narasi berikut, “Dari ketinggian tanah itu, Kamto terus saja meleparkan pandangan pada jalan setapak menuju kali di seberang jalan, mencari-cari gadis incarannya yang sudah tidak terlihat lagi. Bahkan, dia tidak menyadari ketika sebuah truk dan bus penumpang dari dua arah jalan yang berlawanan itu saling melaju kencang, lantas bertabrakan tidak lama setelah pekikan klakson yang membuat Kamto terperanjat dari tempat persembunyiaanya. Pekikan klakson itu seketika senyap begitu terdengar dentuman hebat yang memekakan telinga.” (hal. 53) Terbayang di benak kita betapa ringseknya kedua kendaraan tersebut beserta isinya.

Bagi Anda yang punya tradisi Islam, Anda tentu kenal selawat Nabi ini; Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Duh, mesra sekali bukan percintaan kita dengan sang Nabi dan Allah? apalagi diselingi tabuhan hadrah atau melodi musik surgawi lainnya. Aduhai!

Baca juga:  Kemanusiaan dan Keadilan terhadap Eksistensi Perempuan

“Dia—Kamto—melihat belasan anggotan badan penumpang yang menyembul lewat jendela yang kacanya pecah berhamburan di sekitar. Tidak ada suara, tidak ada gerak. Dia ingin melihat lebih dekat…. Ketika dia melangkah mencari arah lain untuk bisa menjenguk ke dalam bus dari pintu depan yang terbuka, tiba-tiba terdengar senandung selawat dari mulut seseorang yang parau”

Shallallahu ‘ala Muhammad, Shallallahu alaihi wasallam.

“Tak lama kemudian,  dari balik pintu itu muncul seorang lelaki tua berpeci kusam, kemeja putih kumal, dan bersendal jepit. Lelaki seusia lima puluhan mirip pengemis itu terus menenandungkan selawat sambil melangkah keluar dari dalam bus yang badannya tersangkut di sebatang pinus.” (hal. 54)

“Tidak lama setelahnya, tiba-tiba bus itu bergerak, karena batang kayu yang menampungnya patah. Badan bus itu melayang di ketinggian udara bersama semua isinya, yang kurang semenit kemudian membentur batu di dasar jurang sana yang menyebabkan hancur lebur.” (hal. 54)

Cerita tersebut boleh jadi sebagai contoh seorang Muslim dalam mencintai Nabi Muhammad dengan caranya sendiri-sendiri. Begitu juga cerita-cerita lainnya yang terhimpun dalam Siapa Empat Lelaki di Kebun Kurma Itu? Kumpulan Cerpen Perihal Kanjeng Nabi Muhammad Saw. (2020) garapan Edi AH Iyubenu dan kawan-kawan ini, dan termasuk juga para penulis cerita-cerita di dalamnya. Mereka mencintai Nabi Muhammad Saw dengan cara menuliskannya dalam bentuk cerpen yang apik.

Baca juga:  Sabilul Muhtaj: Syarah Berbahasa Jawa al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah Karangan Kiai Anwar Mertapada Cirebon (1860)

Pernahkah Nabi Muhammad menentukan kepada kita cara untuk mencintai belau? Tidak, bahkan mendahulukan cinta beliau dibanding yang lain merupakan wujud sempurnanya iman seseorang. Boleh jadi, kita pun dapat mengikuti mereka mencintai Nabi Muhammad dengan cara lain, yaitu membaca apa saja perihal Kanjeng Nabi. Sungguh, kita akan dibuat jatuh cinta bertubi-tubi kepada beliau Saw.

 

Judul Buku: Siapa Empat Lelaki di Kebun Kurma Itu?

Penulis: Edi AH Iyubenu dkk.

Penerbit: DIVA Press

Halaman: 196 halaman.

ISBN: 978-623-293-142-8

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top