Sedang Membaca
Personalitas, Identitas, dan Komunitas
Joko Yuliyanto
Penulis Kolom

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring dan Luring.

Personalitas, Identitas, dan Komunitas

Carson Arias 7z03r1wodmi Unsplash

Kita sering terjebak pada pemahaman makna yang salah kaprah. Personalitas dianggap identitas, sedangkan komunitas dilekatkan pada personalitas. Muhammad Ainun Najib alias Cak Nun, sering mengkritisi kesalahpahaman makna antara personalitas dan identitas. Identitas merupakan sesuatu yang diadopsi dari lingkungan yang sifatnya nurture (memelihara), sedangkan personalitas merupakan sesuatu yang didapatkan seseorang tanpa bisa memilih yang sifatnya nature (alamiah).

Sehingga kepantasan syarat administrasi harusnya membutuhkan kartu personalitas, bukan kartu identitas karena sifatnya yang fleksibel terhadap adaptasi lingkungan. Dalam kondisi sosial masyarakat, sisi identitas kerap dijadikan alasan seseorang untuk menyerang personalitas orang lain. Tanpa melihat konteks keleluasaan wawasan, klaim pembenaran persepsi seseorang untuk menilai rendah yang lain mulai membudaya di zaman modern.

Belum selesai membedakan esensi personalitas dan identitas, manusia kembali terjebak pada narasi komunitas. Kebencian atau kecintaan terhadap komunitas tertentu sering dijadikan dalih untuk menyerang dan membela seseorang. Seseorang yang mempunyai identitas yang baik, bisa berubah menjadi buruk ketika tidak sepaham dengan komunitas yang sama.

Lebih brutal lagi, ketika seseorang sudah mulai melakukan aksi perundungan berdasarkan personalitas seseorang. Hilangnya moral untuk menghargai fisik alamiah seseorang yang merupakan sebuah keniscayaan. Seolah personalitas adalah ciptaan manusia atau dibentuk oleh lingkungan. Dampaknya adalah keterbatasan fisik (personalitas) bertambah beban psikologi seseorang yang dianggap tidak sempurna di mata yang lain.

Baca juga:  Mbah Moen dan Majalah Arab-Pegon

Politik

Kegagapan bersikap membedakan hakikat makna personalitas dan identitas kerap diaktualisasikan dalam hak berpolitik setiap warga negara. Perundungan terhadap tokoh politik atau pejabat negara mulai dianggap lumrah di media sosial. Fanatisme berpolitik menciptakan ruang perundungan yang lebih anarkis. Tanpa memahami konteks dan pengetahuan tentang identitas tokoh politik atau pejabat negara, seseorang bisa gampang meyakini bahwa sikap menghina seseorang dianggap perbuatan yang benar dan sah.

Hampir setiap periode kampanye, calon pejabat negara atau daerah sering dijadikan objek perundungan. Semula seputar perbedaan pilihan politik komunitas tokoh (politik identitas), beralih pada perilaku tokoh dalam berpolitik (identitas). Ketika serangan terhadap identitas seseorang dianggap kurang efektif, mereka melancarkan perundungan personalitas tokoh. Mulai dari isu sara keturunan suku atau ras, bentuk fisik, hingga warna kulit.

Sedangkan dalam kewarasan berpolitik, aspek identitas adalah pondasi utama pantas dan tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Dalam negara demokrasi, pilihan pemimpin harus berdasarkan sikap dan nilai yang dianut seseorang dalam konsep bernegara. Tentang manajemen organisasi (kepemerintahan), komunikasi politik dan publik, serta sikap menghadapi tantangan perpecahan bangsa.

Komunitas juga sering dijadikan variabel penentu senang-tidaknya seseorang terhadap tokoh tertentu. Tanpa melihat kinerja dan prosesi kerja tokoh dalam memimpin, seseorang langsung mengecap buruk tokoh tersebut. Meskipun dimaklumi bahwa komunitas memegang peran penting mengubah sikap dan perilaku tokoh tertentu.

Baca juga:  Mengingat Lagi Visi Persatuan Islam dalam Risalah Amman

Ada batasan aturan komunitas yang menghalangi kebebasan tokoh mengekspresikan identitasnya. Sehingga popularitas tokoh bukan hanya dipengaruhi kinerja seseorang, melainkan ada peran komunitas mencetak dan membangun ketenaran tokoh untuk siasat politik tertentu. Keberhasilan komunitas (partai) mengangkat tokoh dijadikan simbol mengenalkan citra “baik” sebuah komunitas. Ketika simbol komunitas dipersepsikan prorakyat, maka harapannya seluruh anggota komunitas tersebut juga dianggap prorakyat.

Gagal Bersikap

Rumitnya siasat politik nasional membuat masyarakat bingung bersikap. Setelah kejutan kontestasi politik sandiwara tahun 2019, politik nasional dianggap permainan elit semata untuk kepentingan kelompok tertentu. Rakyat dijadikan permainan politik sebagai prasyarat konstitusi yang menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Sedangkan kenyataannya, banyak masyarakat yang mulai apatis terhadap partisipasi politik.

Kekecewaan terhadap politik nasional lumrah ketika melihat banyaknya ketidakadilan di masyarakat, ketimpangan ekonomi, hingga pengaruh media yang bebas mengekspresikan berita dan opini. Sila kelima yang merupakan ajaran fundamental komunisme diberitakan buruk agar masyarakat memaklumi ketidakadilan sosial. Aspek liberalisme di sila kedua dianggap menggangu kediktatoran penguasa dan penghambat tujuan negara karena menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pertimbangan utama menentukan kebijakan.

Sikap chauvinisme dalam sila ketiga juga dianggap bertentangan dengan pancasila. Terkesan berlebihan tanpa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sedangkan konsisten membangkitkan sila pertama dianggap mengubah dasar negara dan pemerintahan. Masyarakat dibentuk untuk saling menyalahkan satu dengan yang lain.

Baca juga:  Haaland, Imaji Kepemilikan dan Dominasi Mayoritas

Sehingga pola runtutan sikap masyarakat adalah bersikap fanatisme. Menyerang komunitas yang tidak sepaham dengan komunitasnya. Mencari kelemahan untuk dikalahkan argumen dan perilakunya. Setelah itu menyerang individu-individu yang bernaung di komunitas tersebut. Tanpa mempedulikan identitas seseorang, selama ia masih bernaung dalam komunitas yang berlawan, ia akan tetap dibenci dan dihina.

Faktor penentu baik-tidaknya seseorang bukan berdasarkan indikator perilaku dan kebijakan tokoh. Sikap Prabowo dan Sandiaga Uno bergabung dalam pemerintahan Jokowi adalah potret tentang gagalnya bersikap politik. Penghinaan terhadap fisik Jokowi juga dampak dari kegagalpahaman menilai perilaku tokoh. Sebelum menilai personalitas, identitas, dan komunitas, setidaknya kita sudah merenung bagaimana jika personalitas, identitas, dan komintas yang kita dukung menempati posisi serupa? Tanpa embel-embel fanatisme, apakah ia bisa berpolitik sesuai dengan harapan kita? Atau sama saja?

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top