Simbol-simbol kejawaan dalam beberapa logo peringatan hari besar dan konsep kenegaraan memicu adanya isu jawanisasi terhadap Indonesia. Dominasi suku dan budaya Jawa yang direpresentasikan dalam berbagai bidang industri memantik konflik nasional tentang nilai kebinekaan atau kesatuan negara. Sementara realita multikulturalisme merupakan kekuatan Indonesia dalam menghadapi tatangan peradaban.
Pengaruh kejawaan juga masuk dalam ranah politik ketika pemimpin partai dan presiden didominasi orang berasal dari suku Jawa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia merupakan orang Jawa. Kemudian diimplementasikan dalam kebijakan yang difokuskan di Pulau Jawa dan menyebabkan kesenjangan pembangunan sumber daya.
Motif politis yang berkaitan dengan hak suara dalam pilihan pemimpin membuat daerah di luar Jawa kurang mendapat atensi dari pemerintah. Meskipun Jokowi mencoba mengubah persepsi jawanisasi dengan program kebijakan pembangunan yang mulai banyak di luar Pulau Jawa, nyatanya masih banyak ketertinggalan infrastruktur dari segi teknologi dan informasi.
Iklan dan promosi Jawa bukan berarti mendukung sistem jawanisasi di Indonesia, melainkan untuk mengenalkan Jawa sebagai pandangan hidup yang menarik untuk diajarkan sebagai kebudayaan. Tidak menutup kemungkinan juga bagi suku lain di Indonesia untuk melakukan promosi serupa untuk menambah khasanah kebudayaan nusantara.
Tujuannya untuk mengimplementasikan kebudayaan domestik agar tidak gampang diintervensi kebudayaan asing. Kemajuan teknologi digital dan keterbukaan informasi berpotensi menghilangkan kebudayaan Indonesia yang mulai masuk dalam ruang industri hiburan, sistem politik, dan nilai-nilai keagamaan. Semangat mencintai kebudayaan asal akan memberikan motivasi melindungi negara dari ancaman penjajahan kebudayaan asing.
Kosmologi Jawa
Kosmologi Jawa merupakan konsep mengenai kehidupan mistis masyarakat Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural di luar dirinya, kekuatan alam maupun Tuhan (Pitana, 2007). Alam semesta disebut jagad gedhe (makrokosmos), sedangkan jagad cilik (mikrokosmos) merupakan representasi dari manusia.
Orang Jawa melihat tidak adanya perbedaan antara sikap religius, sikap terhadap alam, dan interaksi sosial di masyarakat yang tujuannya untuk menciptakan keadaan sejahtera, tentram, selaras dengan alam dan masyarakat. Harmonisasi terhadap keberadaan manusia, alam, dan Tuhan membuat orang Jawa mudah diterima dalam konsep ideologi sosial di suku-suku lain di Indonesia.
Harapan terhadap kedamaian dan keadilan membuat orang Jawa mudah menerima perbedaan. Tidak suka konflik dan perpecahan dengan tetap mengutamakan sikap paseduluran. Di sisi lainnya, orang Jawa bisa memposisikan diri untuk selalu menerima keadaan dengan kesederhanaan dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Ketertataan sosial dan lingkungan menjadi cita-cita masyarakat Jawa.
Sementara dalam pandangan personal, orang Jawa berpijak pada cipta, rasa, karsa, dan karya. Cipta yang berorientasi pada pikiran dan pengetahuan. Rasa berpijak pada hari dan moral. Karsa berpijak pada niat dan kehendak. Sedangkan karya hasil dari pikiran dan perilaku yang dilandaskan pada kemanfaatan personal dan sosial. Pikiran, hati, dan tekad merupakan falsafah hidup leluhur masayarakat Jawa.
Tata Tentrem Karta Raharja
Suasana tata titi tentrem kerta raharja merupakan salah satu dari banyak falsafah Jawa dalam melihat fenomena sosial dan kemasyarakatan. Tata mempunyai makna keteraturan, tentrem mempunyai arti ketenangan, kerta mempunyai arti kesejahteraan, dan raharja mempunyai arti keselamatan. Secara umum, orang Jawa mengharapkan agar manusia bisa menjalani hidup dengan tenang, tentram, dan bahagia.
Falsafah ini relevan dengan kondisi sosial Indonesia ketika ketergantungan terhadap dunia digital memicu banyak konflik. Permainan narasi informasi membawa kehidupan sosial yang jauh dari ketenangan. Politik yang konsisten menciptakan ketegangan dan ketidakaturan bermasyarakat. Belum lagi perilaku terhadap lingkungan alam yang menjadi ancaman generasi mendatang dengan berbagai polusi dan bencana alam.
Tata tentrem karta raharja merupakan falsafah luhur tentang kesediaan manusia menghormati alam yang kemudian berimplikasi pada nilai-nilai spiritualitas. Ancaman global dari sisi budaya dan politik-ekonomi perlu diantisipasi dengan menguatkan pola kebudayaan yang masih relevan dengan perkembangan zaman.
Lunturnya moralitas merupakan keprihatinan pada kesatuan kosmos dalam ajaran kemanunggalan masyarakat Jawa. Mulai menghilangnya norma sopan santun dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang membuat perilaku hukum terkesan dominan. Manusia modern dalam bayang-bayang ketidaktahuan jati diri yang kemudian hobi mereplika gaya hidup dan perilaku orang atau kebudayaan lain.
Sementara pemerintah merupakan variabel utama dalam mewujudkan cita-cita tata tentrem karta raharja. Punya otorisasi mengatur dan membatasi pola perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran kebudayaan bangsa. Mengutamakan keadilan dalam bidang pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Sementara saat ini, ekonomi masih menjadi parameter kesuksesan negara dengan risiko penghancuran alam, konflik antar-golongan, dan hegemoni politik praktis.
Pendidikan yang seharusnya mengajarkan banyak ajaran falsafah bangsa terkikis oleh sistem modernisasi yang berfokus pada peniruan, hafalan, dan kepatuhan. Pelajar dimatikan daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Sementara agama yang mengatur moralitas umat malah menjadi sarana legalisasi kekerasan, perdebatan, dan peperangan.***