Definisi sehat menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu keadaan sehat jasmani, rohani, dan sosial yang merupakan aspek positif dan tidak hanya terbebas dari penyakit serta kecacatan yang merupakan aspek negatif. Secara eksplisit, tidak ada aspek dimensi spiritual dalam menjelaskan definisi kesehatan tersebut.
Jika memahami konsep sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, kecerdasan spiritual dibutuhkan manusia untuk menyokong rapuhnya kesehatan fisik dan mental. Spiritual adalah sarana manusia untuk mengoneksikan diri dengan Tuhan. Tujuannya adalah untuk mengisi kekosongan hati agar tidak terjebak pada keputusasaan. Menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat.
Menurut Kartino Kartono, kesehatan jiwa adalah ilmu tentang jiwa yang mempermasalahkan kehidupan kerohanian yang sehat, yang memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisis yang kompleks. Orang yang mempunyai penyakit mental ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, apatis, cemburu, iri hati, dengki, eksplosif, ketegangan batin dan sebagainya.
Namun konsep spiritualitas juga harus diimbangi dengan perilaku yang tidak menyimpang dari nilai dan norma di masyarakat. Bukan dijadikan alat kampanye politik untuk mencari basis massa (jamaah) yang menurunkan kualitas spiritual seseorang karena nafsu populartitas.
Pandemi Covid-19 sedikit-banyak telah mereduksi spiritualitas manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi ruang informasi berlimpah untuk memalingkan manusia dari dimensi spiritual. Memaksa penyajian data, sedangkan ranah spiritualitas adalah keyakinan yang bersifat abstrak. Akhirnya dimensi spiritual dikorbankan untuk lebih mengimani eksistensi sains.
Hakekat manusia dalam pandangan agama Islam bukan hanya terletak pada pemenuhan kebutuhan jasmani, melainkan kebutuhan rohani (spiritualnya). Manusia mempunyai fitrah mengenai perjanjian primordial antara Tuhan dan ruh manusia yang dijiwai oleh kesadaran tentang Yang Mutlak dan Maha Suci (Transenden, munazzah).
Di dalam dimensi spiritual, manusia dituntut menciptakan harmonisasi sosial untuk mencapai kebahagiaan. Kenyataannya, sikap egois dan individualistik menjadi budaya saat ini karena alasan peningkatan kebutuhan hidup yang menyebabkan menurunnya solidaritas antar sesama. Lebih mengutumakan kebutuhan dan kebahagiaan diri sendiri daripada nasib orang lain.
Misal ancaman pandemi Covid-19 dengan diterapkannya PSBB atau PPKM, seseorang sibuk memborong kebutuhan pokok untuk bertahan hidup selama di rumah. Kemudian penyitas Covid-19 yang diisolasi mandiri dikucilkan dengan larangan tidak boleh keluar rumah. Bukan hanya kesehatan fisik yang terganggu, melainkan juga kesehatan mental.
Iman, Imun, Aman
Maraknya isu konspirasi di media sosial turut menghambat kinerja pemerintah mengatasi pandemi. Selain narasi elit global, faktor spiritual juga dijadikan dalih untuk mengabaikan bahaya tsunami Covid-19. Pernyataan faktor keimanan adalah kunci mengatasi ketakutan pada pandemi, berdampak pada krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Perlawanan pun sering dilakukan dengan tidak menerapkan protokol kesehatan, enggan divaksin, hingga ajakan terhadap masyarakat luas untuk menyetujui adanya konspirasi. Sikap egois sebagian masyarakat yang lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kemaslahatan umat tentu bertolak belakang dengan esensi kesehatan spiritualitas.
Ukuran sehatnya spiritualitas tidak dinilai dari kuantitas ibadah seseorang, melainkan dari segi kualitas. Aplikasi dari kesehatan spiritual adalah sikap welas asih dan mengurangi ego untuk kepentingan yang lebih luas. Banyak yang lantang berteriak tentang keimanan, sedangkan sebenarnya (tanpa disadari) spiritualnya sedang terganggu atau bermasalah.
Manusia adalah al-nafs yang mempunyai daya berpikir yang disebut rasio akal yang berpusat di kepala dan daya rasa yang berpusat di dada (hati). Agama mampu menuntun manusia, memberikan rasa damai (ketentraman), mengendalikan moral, dan mencapai kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan ilmu eksakta.
Pemerintah gencar mengampanyekan 5 M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi) dan juga 3 T (testing, tracing, dan treatment) untuk menekan kasus persebaran Covid-19. Namun karena mobilitas dan budaya masyarakat Indonesia yang susah patuh pada aturan, kampanye dari pemerintah terkesan kurang efektif menanggulangi lonjakan kasus Covid, baik yang terkonfirmasi positif maupun yang meninggal dunia.
Selain itu, pemerintah menggandeng beberapa influencer juga mengampanyekan jaga imunitas tubuh dengan olahraga, konsumsi vitamin, dan juga berjemur. Kalau 5 M dan 3 T adalah upaya pemerintah dan masyarakat secara menyeluruh untuk memberikan rasa aman, new normal juga menghendaki adanya pola hidup sehat untuk meningkatan imun (individu).
Namun ada yang terlupa dari banyaknya kampanye yang dilakukan pemerintah, yakni iman. Dimensi spiritual untuk mengurangi rasa kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan. Ketika pandemi berdampak terhadap banyak sektor kehidupan, setiap orang mengalami tingkat stres masing-masing. Spiritualitas adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hilang karena pandemi. Menemukan esensi ilahiah tanpa terikat keduniawian.
Kampanye spiritual perlu dipertimbangkan untuk mengangkat moral manusia yang sudah meninggalkan sisi-sisi kemanusiaan karena perkembangan teknologi dan informasi. Bahkan, banyak kasus meninggal bukan karena Covid-19, melainkan kehilangan kebahagiaan karena status pekerjaan, omset bisnis, kebersamaan, liburan, dan lain sebagianya. Mereka tidak mendapat pegangan spiritual sehingga menjadi kosong dan mati ketika pandemi tak kunjung berlalu.