Periode menjelang kemerdekaan RI sampai munculnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, merupakan masa kelam perkembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Ada pertautan yang erat antara politik, sastra, seni, dan budaya. Seni dan budaya telah dimanfaatkan secara ekstensif sebagai alat politik domestik. Dampaknya adalah perlawanan dari para seniman dan budayawan seperti Lekra dan Manifes Kebudayaan.
Pada tahun 1960-an, sebagai bentuk reaksi terhadap pergerakan Lekra yang diinisasi PKI, seniman dan budayawan muslim di bawah naungan Nahdatul Ulama (NU) membentuk organisasi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI). Pada tanggal 25-28 Juli 1962 diadakan Musyawarah Besar I Lesbumi untuk mematangkan konsep menyatukan beragam artis, pelukis, seniman, budayawan, sastrawan, serta ulama yang menekuni bidang seni dan budaya.
Djamaluddin Malik yang terpilih sebagai ketua Lesbumi. Kemudian Usmar Ismail sebagai Wakil Ketua I dan Asrul Sani sebagai Wakil Ketua II. Posisi sekretaris diisi oleh Hasbullah Chalid dan bendaharanya H. Mohd. Madehan. Tokoh-tokoh lain seperti H. Mahbub Djunaidi, H. Husny, dan H. Tubagus Mansur Maknun, menjadi anggota Lesbumi.
Keaktifan dan keseriusannya Djamaluddin menekuni bidang sosial, agama, dan politik di NU membuat Lesbumi berkembang pesat. Ia memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan NU, khususnya di bidang kesenian dan kebudaayaan yang membuatnya terlihat akrab dengan para ulama.
Profil Djamaluddin Malik dikenal sebagai pengusaha, politisi, dan produser film Indonesia dan dijuluki sebagai Bapak Industri Film Indonesia karena menggagas Festival Film Indonesia. Ia lahir tanggal 13 Februari 1917 dan meninggal tanggal 8 Juni 1970. Pria kelahiran Padang ini mulai terlibat dalam industri perfilman ketika mendirikan kelompok sandiwara Bintang Timur dan perusahaan film Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sedap Malam merupakan produksi film pertamanya pada tahun 1950.
Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail, ia mendirikan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Pada tahu 1973, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Dalam sejarah, Djamaludin selalu disandingkan dengan Usmar Ismail sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.
Djamaludin sudah memproduksi sebanyak 59 judul film. Terakhir berjudul Menyusuri Jejak Berdarah dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Pada tahun 1969, Djamaludin ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional hingga ia meninggal dunia.
Banyak pertunjukan kesenian yang dibiayai Djamaluddin secara pribadi untuk memacu perkembangan seni budaya nasional yang waktu itu sedang pada tahap rintisan. Kesibukannya di dunia seni membuatnya sadar tengah jauh dari isian rohani (spiritual). Selanjutnya memutuskan untuk pergi haji yang turut mengilhami lahirnya film Tauhid yang diproduksinya.
Tahun 1952 setelah kembali dari Mekkah, ia memilih Nahdlatul Ulama (NU) untuk melanjutkan gairah berkesenian. Sebelumnya, ia sudah aktif di Gerakan Pemuda Ansor PAC Kebon Sirih Jakarta Pusat. Ia merasa hanya melalui NU kebutuhan spiritualnya terpenuhi, sebab dalam NU ada kajian tasawuf yang dicarinya selama ini.
Djamaludin juga aktif mengurus yayasan Amanat yang dirintis oleh KH Wahid Hasyim dan mendirikan PT Timbul untuk menerbitkan Harian Duta Masyarakat yang menjadi organ partai NU. Padangan Djamal mengenai kesenian sangat disegani tokoh-tokoh NU ketika itu sebagai sarana perjuangan melawan kezaliman dan kemungkaran yang banyak di lakukan oleh PKI dengan lembaga kebudayaannya (Lekra).
Sebagai ketua pertama Lesbumi NU, Djamaludin berperan menginisasi gagasan dasar terhadap kebutuhan akan pedampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan NU dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya. Persinggungannya dengan NU terlihat saat dekat dengan Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Wahid Hasyim, Idham Chalid, dan Saifudin Zuhri. “Djamaludin adalah seorang yang ada pengaruhnya dalam penggerak dan anggota teras NU.” KH. Wahid Hasyim.
Karir apiknya di Lesbumi membawanya menduduki ketua III di PBNU pada muktamar ke-21 di Medan 1956 dan Muktamar ke 24 di Bandung pada tahun 1967. Sebagai seniman film, ia hidup bersama para artis dengan segala macam watak dan kebiasaannya. Sedangkan sebagai aktivis NU, ia harus bergaul dengan para santri dan kiai.
Saat penyelenggaraan Festival Film Indonesia, namanya selalu dicantumkan sebagai salah satu kehormatan untuk Piala Citra. Begitu pula dalam The Best Actor & Actrees kerap mendapat gelar kehormatan (berupa piala). Meskipun sudah lama meninggal jasa dan perannya terhadap kesenian dan kebudayaan nasional akan selalu dikenang.
Untuk H. Djamaluddin Malik, Al-fatihah….