Semasa kanak-kanak, saya dibesarkan di Minangkabau. Tepatnya di Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar.
Di sana, tradisi keagamaan yang merujuk ke Muhammadiyah kuat sekali. Saya menjadi bagian dari mereka, dengan sadar, dengan senang hati.
Saat tumbuh, remaja dan dewasa, saya ke Jogja.
Di kota kelahiran Kiai Haji Ahmad Dahlan dan sekaligus tempat Muhammadiyah dilahirkan, saya memilih ngekos di kantong atau daerah yang nuansa Muhammadiyahnya 24 karat, seperti di Tegal Senggotan atau di Kalipakis. Keduanya di daerah Bantul.
Singkat kalimat, kemuhammadiyahan saya tak perlu diragukan lagi, dari anak-anak sampai dewasa, dari keluarga hingga lingkungan.
Misalnya, bila Ramadan datang, saya salat taraweh pilih yang 8 rakaat plus witir 3 rakat. Saya tidak pilih 20 rakaat taraweh plus 3 rakaat witir. Di samping capek 23 rakaat, ajaran kemuhammadiyahan saya meyakini 8 plus 3 rakaat. Ya, total hanya 11 rakaat saja.
Dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal, saya juga ikut yang metode hisab bukan yang rukyat. Saya memilih itu, lagi-lagi karena alasan kemuhammadiyah.
Namun setelah berkeluarga dan pindah ke daerah Bayeman, kemuhammadiyahan saya agak tercemar. Saya mulai digendam tetangga saya satu kompleks perumahan.
Beliau, tetangga saya itu, jemaah NU tulen, yang kebetulan kakak kelas dan pelukis idola saya. Tidak lain beliau adalah Mas Nasirun.
Jika saya main ke rumahnya, yang jaraknya hanya sehisapan rokok, kerap saya berjumpa dengan para tokoh tokoh NU, baik yang tua maupun yang muda (tidak usah saya sebut nama-nama mereka, ndak pada GR nantinya).
Mereka asyik meriung di sana. Perjumpaan dengan mereka banyak membuka wawasan dan cakrawala baru.
Tapi bagi saya, yang menarik hati dari kumpul-kumpul bareng cah-cah NU di rumah Pak Nasirun itu adalah rata-rata dari mereka itu sangatlah lucu-lucu, gojeknya gojek kere tenan. Ada saja lawakan mereka. Tidak jarang, mereka semena-mena saja kiai sepuh mereka dijadikan bahan lawakan.
Sooo… Seperti kata pepatah lama, bila berkawan dengan seorang ustad, maka minimal bisa belajar baca Basmalah. Bila berkawan dengan seorang pencuri, maka setidak-tidaknya bisa belajar berlari.
Hikmah yang agak serius berkawan dengan para Nahdliyin, ternyata bila pulang ke tanah Minang, sekarang ziarah kubur saya jadi lebih khusyuk. Bahkan hanya lewat saja di kuburan, saya merasa harus takzim, lebih-lebih kuburan leluhur.
Tapi cah-cah NU, termasuk Pak Nasirun, yang mencemari kemuhammadiyahku dengan NU, ndak perlu GR. Saya tetap Muhammadiyah. Idolaku nomor wahid tetap Buya Syafii Maarif. Setelah beliau, baru Gus Dur.
Alfatihah buat kesehatan Buya dan buat jembarnya alam kubur almarhum Gus Dur..
kalo menurut aku bukan “tercemar” tapi menjadi “Mad-Nu”☺