Beberapa hari yang lalu saya didera bosannya menjalani rutinitas mengurung diri karena pandemi Covid-19. Lalu yang mikir-mikir, jika nekad keluar rumah, saya mau ke mana? Entah wangsit dari mana, saya menemukan tujuan: ziarah kubur.
Berangkatlah saya bersama tiga orang teman; seorang pemerhati kebudayaan Jawa, seorang perupa kontemporer garda depan dan seorang seniman teater nir-kata. Kami sepakat melakukan berkunjung ke situs-situs tua termasuk makam-makam yang terletak di daerah selatan Jogjakarta, tepatnya di daerah Pleret, Bantul.
Kami berniat akan menziarahi situs peninggalan dari masa kerajaan Matararam Islam. Berempat, dengan mengendarai sepeda motor, kami berkeliling menziarahi situs-situs tersebut.
***
Kerta. Ini adalah nama sebuah kampung yang terletak agak terpelosok, berjarak kurang lebih 20 km ke arah selatan pusat Kota Jogja. Sepintas, Kerta terlihat sama saja suasana dengan suasana dusun atau kampung-kampung di pedesaan pada umumnya. Namun siapa sangka, dahulu kala, kira-kira empat abad yang lampau, dusun ini pernah menjadi pusat kerajaan atau ibu kota dari kerajaan Mataram Islam. Di dusun inilah dahulu segala keputusan dan pengendalian tanah Jawa di titahkan oleh seorang raja yang terkenal paling kuat dan absolut kekuasaannya dalam sejarah kerajaan Mataram Islam, yakni Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga kerajaan Mataram Islam.
Sayang, ketika sesampai di Kerta, bayangan saya akan menemukan artefak-artefak besar sebagai bukti sisa kejayaan kerajaan itu jauh panggang dari api. Di sana tak ditemukan apa yang disebut bangunan kraton atau istana tempat sang raja bertahta. Tak ada tinggalan bangunan megah.
Di Kerta, kami hanya menemukan beberapa serpihan-serpihan kecil artefak saja. Tapi cukup sebagai bukti jejak sejarah bahwa Kerta dahulu kala ada sebuah kraton besar. Kami hanya berhadapan dengan dua potong umpak batu berukuran cukup besar, beberapa tumpukan batu bata kuno, dan beberapa galian arkeologi. Itu saja. Selebihnya, ketika kami mengitari dusun Kerta, yang terlihat hanyalah rumah-rumah yang berdempetan dan kebun-kebun pisang serta bambu.
Namun demikian, dua potong artepak itu sudah cukup memberi kesan mendalam dan bukti, bahwa memang di sana dahulu pernah berdiri sebuah kraton akbar dari seorang raja Agung, penguasa terbesar tanah Jawa.
Kami lalu berziarah ke beberapa makam kuno di seputaran situs kraton Kerta dan Pleret. Ada beberapa makam yang kami kunjungi, antara lain makam Kiai Wonokriyo, makam Kiai Kategan, makam Ki Ageng Suryomentaram, dan dipungkasi dengan berziarah ke kompleks pemakaman Antakapura (Istana kematian) di gunung Kelir. Ini adalah situs pemakaman dari Ratu Mas Malang. Beliau adalah satu istri tercinta Amangkurat I, Raja Mataram Islam keempat, putra Sultan Agung Hanyakrakusuma (kisah tragis cinta segita Amangkurat I, Ratu Mas Malang dan Ki Dalang Panjang Mas, suatu saat akan saya coba tulis).
Menjelang sore, setelah puas berziarah, satu persatu dari kami pamit untuk pulang. Sebelum bubaran, kami bersepakat lain waktu akan kembali berziarah ke situs-situs pemakaman kuno lainnya.
***
Secara terang-terangan atau formil saya tak pernah memproklamirkan atau megklaim diri sebagai anggota Persyarikatan Muhammadiyah. Bila tolak ukur untuk menjadi seorang Muhammadiyah adalah tanda bukti Kartu Anggota atau Nomor Baku Muhammadiyah (NBM), maka saya jelas bukan anggota Muhammadiyah, karena saya tak memilikinya KTA. Dulu sih pernah beberapa kawan dekatku yang duduk di struktural persyarikatan menyarankan dan berniat membantu saya untuk mendapatkan kartu keanggotaan persyarikatan. Namun, saya ogah-ogahan mengurusnya. Pikir saya, walaupun tak punya NBM, toh teman-teman di lingkungan pergaulan pun telah paham dan mengidentifikasikan saya sebagai seorang Muhammadiyah. Tidak tahu, tolak ukur identifikasi mereka itu apa? Apa karena mereka melihat saya cukup dekat dengan Buya Syafii Ma’arif atau karena dulu saya pernah mengaku begitu meng-idolakan Buya Amin Rais?
Entahlah. Saya terima saja “tuduhan” itu. Toh kalau diperhatikan benar, memang sehari-harinya, saya ini lebih banyak mempraktekkan amalan yang dianjurkan persyarikatan yang didirikan KHA Dahlan itu. Tidak semua amalan sih, fatwa haramnya merokok dari persyarikatan tidak saya ikuti.
Amalan ziarah kubur pun, sesungguhnya saya sangat Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak pernah melarang apalagi mengharamkan ziarah kubur. Heran juga, kalau timbul pertanyaan seperti yang diajukan salah satu kawan kepada saya:
“Loh? Uda kan Muhammadiyah, kok sukanya ziarah kubur?”
“Lha emang ziarah kubur cuma boleh untuk NU doang?”
“Eh, tapi uda juga saya lihat suka ikut tahlilan..?”
“Emang kalo Muhammadiyah ndak boleh ikut tahlilan?”
“Ya bukan begitu. Kalau lihat cara Uda itu, berarti uda aliran Kamandanu.”
“Apa pula itu…?”
“Kadang Muhammadiyah, kadang NU…”
Saya nyengir. Bisa aja “mujaer darat” ini kasih istilah.
Setahu saya, tidak ada larangan yang dikeluarkan Muhammadiyah soal berziarah kubur, apalagi pembid’ahan atas amalan itu. Banyak orang salah paham dan berpikiran orang Muhammadiyah itu anti ziarah kubur.
Sependek pengetahuan saya (maafkan bila saya keliru), tak pernah dengar ada fatwa haram atau larangan ziarah kubur yang dikeluarkan majelis tarjih dan tajdid. Kalau tak salah, malah dianjurkan untuk rajin ziarah kubur. Yang saya tahu dan kerap dengar dari para dai Muhammadiyah adalah: dalam aktifitas ziarah kubur dilarang meminta-minta pengharapan dari yang terkubur, entah yang dimakamkan itu orang biasa atau orang yang dianggap keramat oleh segolongan orang. Tapi kalau bertawasul pada amal saleh itu boleh.
Namun sebaiknya bila hendak meminta, ya langsung saja berdoa kepada Allah Swt, tidak perlu pakai wakil atau perantara. Kalaupun ada sosok yang bisa memberi pengharapan untuk kelapangan jalan, hanya kepada Rasullulahlah kita berharap rekomendasi alias syafa’at.
“Untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah, syaratnya mudah kok, yakni dengan mengikuti ajaran dan sunahnya dengan lurus….” Begitu kata guru ngaji saya yang Muhammadiyah, di Minang dulu.
“Eh, Uda.., tapi saya amati kok sampenyan suka berlama-lama juga kalau ziarah kubur itu? Apa tawassulan juga?
“Jadi begini. Di beberapa makam, terutama makam para alim ulama dan syaikh, memang saya berlama-lama di sana.
Pertama, bila kamu melihat saya sibuk komat-kamit, itu bukan tawasulan atau sedang meminta-minta sesuatu. Tapi saya komat-kamit itu baca doa lo, bukan baca mantra-mantra, apalagi minta-minta. Saya membacakan al-fatehah untuk yang yang telah berpulang ini. Betul, cuma al-fatehah doang, karena memang cuma itu yang saya mampu. Bisa sekali atau dua kali saya bacakan al-fatehahnya, tapi kadang bisa sampai tujuh kali al-fatehah. Dalilnya mana? Ini.. ada dalilnya kok.”
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
Yang harus ditinggalkan itu sesuatu yang dilarang Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasullullah. Dalam masalah al-fatihah ini, sepengetahuanku tidak ada satu pun hadis yang melarang membaca al-fatihah sebagai hadiah bagi orang yang telah meninggal.
Kedua saya berlama-lama itu karena merenung. Membayangkan perjalanan, usaha dan kerja keras para alim-ulama yang dimakamkan ini. Usaha keras tanpa lelah mereka dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Saya mengucapkan terima kasih kepada para aulia ini, kepada para pendakwah. Tentu ucapan terima kasihnya di batin saja, ndak saya ucapkan keras-keras. Ucapan terima kasih ini adalah sebagai tanda penghormatan saya atas jasa-jasa para ulama ini, yang mana karena beliau-beliau inilah Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin menyebar dengan damai dan menjadi tuntunan hidup masyarakat di Nusantara.
Ketiga, saya berlama-lama di kuburan itu sekalian untuk mengingatkan diri. Kelak suatu saat saya pun akan mati. Bekal atau amal apa yang telah saya perbuat dan siapkan sebagai sangu bila kelak waktu kepulangan saya itu tiba..?
“Lah terus? itu kadang Uda suka bawa-bawa dan mbakar dupa segala? apa maksudnya? kan bidengah itu..?”
“Bid’ah apa? Kamu itu.., dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bidengah! Saya itu bakar dupa karena memang suka baunya. Itu saja. Tahu ndak? bebauan bakaran dupa itu sebenarnya bagus loh buat relaksasi, jadi ndak ada hubungannya dengan apa yang kamu pikirkan soal bidengah itu. Kamu ndak usah tanya dalilnya mana? Pegangannya, ya surat al-Hasyr ayat tujuh itu. Dan lagi, sejujurnya saya menyukai bau dupa ini daripada bau minyak angin yang kamu pakai itu loh. Lah, masak dikuburan, baunya kok bau minyak angin? emang kita lagi naik bis AKAP?”