Jalaluddin Rumi berkata: “Cintailah setiap manusia sehingga selamanya kamu berada di taman-taman mawar. Karena ketika kamu memusuhi setiap manusia, maka bayangan permusuhan akan terlihat di depanmu. Seakan-akan kamu mengelilingi bumi yang penuh duri dan ular-ular, siang dan malam. Dari sini, sesungguhnya para wali mencintai semua manusia dan selalu meyakini kebaikan mereka.
Karena saat mereka melakukan hal itu, pada hakikatnya bukan untuk orang lain melainkan untuk mereka sendiri. Karena mereka tidak ingin gambar yang ia benci dan membuatnya sakit tampak dalam pandangan mereka”. (Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Yogyakarta: Forum, 2016, h. 448)
Sebenarnya, orientasi pendidikan spiritual tarekat adalah menjaga dan membentuk moral ideal-Ilahiyyah. Orientasi ini berlangsung sejak elit muslim tergoda oleh kemewahan materi lantaran limpahan harta hasil kemenangan atas wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, dan melupakan prinsip-prinsip moral Ilahiyyah sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad ﷺ. Dalam situasi seperti itu, akhirnya para elit sufi menciptakan doktrin sufistik menjadi kurikulum pembentukan moral Ilahiyah mereka sehingga lebih dekat kepada Allah Jalla Jalaluh.
Pada prinsipnya, dakwah Islam tarekat berpola akulturatif-evolutif, sehingga medium dakwahnya adalah budaya itu sendiri. Para guru tarekat dituntut secara kreatif-produktif-adaptif untuk membuat simbol-simbol budaya dalam rangka memenangkan pertandingan dengan kelompok tradisi.
Dalam kaitan ini, sebagai contoh dari bentuk high culture, adalah ikon “pesantren” yang sebenarnya adalah modifikasi dari sistem pendidikan ashrama model Hindu-Budha menurut sebagian analisis yang jika ditarik benang merahnya terdapat hubungan dengan sistem zawiyyah sufistik. (Agus Riyadi, Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran Tarekat dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah, h. 377-379)
Pemahaman gaya pendekatan spiritual yang dijelaskan di atas dipakai salah satu tarekat yang baru berkembang di akhir abad ke-20, yakni Tarekat Naqsyabandi Haqqani merupakan salah satu dari sekian banyak tarekat yang menyebarkan kebaikan Islam di masyarakat. Tarekat Naqsyabandi Haqqani ini didirikan oleh Syekh Nazim al-Haqqani. Salah satu ajaran yang diberikan oleh Syekh Nazim al-Haqqani kepada para pengikut tarekatnya yakni muraqabah. Muraqabah adalaha upaya menyatukan hati dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) serta para guru Naqsyabandi.
Syekh Nazim sangat menekankan muraqabah ini sebagai hubungan spiritual agar pengikut Naqsyabandi Haqqani tetap selalu berhubung dengan Allah SWT dan guru-guru Naqsyabandi dalam Silsilah Rantai Emas Naqsyabandi Haqqani. Syekh Nazim menambahkan ritual muraqabah ini pada penekanan elemen cinta atau mahabbah. Menurut Syekh Nazim, cinta (mahabbah) adalah tiang utama iman, karena tanpa cinta tidak akan ada iman. (Mohd. Asyran Safwan Kamaruzaman dkk., Dakwah Syeikh Nazim Al-Qubrusi: Antara Penerimaan Dan Penolakan, h. 50)
Sederhananya, Mahabbah adalah kecendrungan kepada Allah ta’ala secara paripurna; mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, sepakat kepada-Nya lahir-batin, dengan menyadari kekurangan diri sendiri. Rabiah menyatakan: “Orang yang mahabbah kepada Allah ta’ala itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil di sisi-Nya”. Mahabbah (cinta) mengandung arti keteguhan dan kemantapan seseorang yang sedang dilanda cinta.
Ia senantiasa teguh dan mantap, serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicintai. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan mendalam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana penyebab ketertarikan jamaah Tarekat Naqsyabandi Haqqani Yogyakarta hingga akhirnya mereka masuk dalam dunia ketarekatan. Mereka beralasan untuk mencari musrsyid sebagai seorang guru yang mengajarkan cinta, belajar sufisme sebagai sebuah jalan untuk mendekatkan diri dalam Islam, mencari inspirasi untuk mendapatkan pengetahuan tentang Tuhan dan mendapatan kenyamanan dalam agama.
Posisi mursyid di era milenial sekarang masih menjadi alasan dan pertimbangan kebutuhan mereka. Karena mursyid diyakini bukan hanya mengajarkan ilmu akan tetapi juga menyebarkan cinta kepada para muridnya. Cinta adalah sebuah ketentuan terhadap makrifat atau kebenaran cinta, yang mana untuk merasakan sedekat mungkin kepada Tuhan, bahkan seolah-olah murid yang bergabung dengan-Nya. (Zakiya Fatihatur Rohma, Sufistic Spirituality: Joint Motive Study In The Tarekat Zawiyah Naqsabandiyah Haqqani Yogyakarta, h. 66)
Buktinya nyata realisasi cinta dan kasih sayang ke sesama manusia (humanisme) dari tarekat ini bisa dilihat dari pendirian sebuah “pesantren anak jalanan” yang dicetuskan oleh Rabbani Sufi Center di Limo Cinere-Depok, Jawa Barat. Pimpinan organisasi bernama Syaikh Doni, beliau menjelaskan alasan berdiri lembaga tersebut; menurutnya anak-anak jalanan itu terabaikan oleh keluarga mereka dan masyarakat, mereka sering dipandang negatif sebagai anak-anak liar, sulit diatur, serta biang masalah.
Rabani Sufi Center memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar bertumbuh ke arah positif dan hidup mandiri sekaligus membenahi karakter serta memberikan keterampilan tambahan demi membangun masa depan mereka. Oleh karena itu, Rabani Sufi Center menyediakan studio musik beserta pelatih profesional agar mereka dapat meningkatkan kualitas menyanyi mereka.
Selain itu, pihak Rabbani Sufi Center mengadakan latihan taekwondo bersama seorang pelatih profesional. Berkaitan pembinaan karakter menggunakan pendekatan Tarekat Naqsyabandi Haqqani, walaupun tidak ada pernah paksaan agar para anak jalanan itu untuk dibai’at ke dalam Tarekat Naqsyabandi Haqqani karena bai’at adalah keputusan pribadi.
Selain itu, mereka diajarkan agar selalu tersenyum (latihan rutinan), belajar al-Qur’an setiap malam dan ritual zikir-zikir dari Tarekat Naqsyabandi Haqqani. Setelah lama di tempat ini, mereka mengaku menjadi lebih tenang setelah menetap di Rabbani Sufi Center, mereka menjadi lebih mengenal ajaran Islam yang sesungguhnya dan semakin mengerti bagaimana mencintai Allah, Nabi Muhammad, dan sesama manusia. (Wahyu Nugraha, Keterlibatan sosial sebagai sebuah devosi Sebuah kesalehan sosial Tarekat Naqshbandiyah Nazimmiyah, h. 47)
Dengan demikian, secara tidak langsung keberadaan Tarekat Naqsyabandi Haqqani di Indonesia telah memberikan dampak positif bagi keberlangsungan kehidupan damai bagi masyarakat. Pembuktian ajaran cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia tanpa memandang latar belakang sosial, agama, politik dan lainnya menjadi i’tikad baik dari tarekat ini agar dalam masyarakat selalu terjadi kedamaian dan ketentraman sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi stabil dan harmonis terhadap siapapun dan dimanapun mereka berada.