Sedang Membaca
Warkop, Warkopi, dan Sekitar Humor
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Warkop, Warkopi, dan Sekitar Humor

Whatsapp Image 2021 09 28 At 08.26.32

Humor bukanlah sebatas humor. Ia ibarat obat mujarab untuk melawan beberapa jenis penyakit. Khasiatnya banyak. Kita menginsyafi humor menjadi bagian penting dalam kehidupan umat manusia. Ia menjadi pengisi pada urat nadi dan sendi manusia. Pada berbagai realitas di ruang publik, humor menjadi pertunjukan tanpa disengaja dan disengaja. Tanpa disengaja melalui percakapan dan interaksi dalam keseharian. Disengaja karena spektrum wahana seperti hiburan baik lewat tulisan, audio, maupun audiovisual. Dari sana kemudian muncullah lanskap humor dalam ranah industri dan bertujuan kepentingan bisnis.

Satu sosok ternama terkenal akan sisi humorisnya adalah Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur. Kita ingat, di dalam terjemahan buku karya Z Dolgopolova berjudul Mati Ketawa Cara Rusia (Grafiti Press, 1986), Gus Dur memberikan sebuah pengantar. Ia memaparkan bagaimana nilai estetika akan keberadaan humor. Misalnya ia menuliskan seperti ini, “Humor merupakan senjata ampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat, dengan itu warga masyarakat dapat menjaga jarak dari keadaan yang dinilainya tidak benar.”

Humor dengan karakter yang muncul, tidak lain menjadi sebuah seni untuk menertawakan diri sendiri. Sebab, ini terkadang sulit. Orang-orang mudah menetertawakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Seni itu juga erat kaitannya dengan lanskap ilmu pengetahuan yang terbawa dari macam humor, baik itu di politik, agama, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya. Lewat humor, seorang sangatlah berpeluang membuka diri akan diskursus beragam pengetahuan. Tindakannya menjadi percikan gelombang kekuatan intelektual dalam interaksi percakapan maupun dialog yang terjadi.

Baca juga:  Menerawang NU di Abad Kedua dan Pergeseran Paradigma

Kita menemukan sebuah rubrik wawancara di dalam Majalah Panji Masyarakat edisi No. 439 Agustus 1984. Wawancara tersebut terdiri dari anggota Warkop, grup lawak yang eksis sejak tahun 1975, terdiri dari Kasino, Dono, dan Indro—sebelumnya lima, namun Nanu Mulyono dan Rudy Bagil mengundurkan diri. Bertajuk Melawak Secara Intelektual, kita mengerti bagaimana gerakan lwak di panggung yang mereka lakukan. Dituliskan dalam rubrik tersebut begini: “Dari situlah, pelawak yang dikenal sebagai penyaji humor intelek yang belum ada tara ini terus menuju kedewasaan yang ditunjukkannya, juga dengan nada-nada kritik tajam tapi terasa lembut terdampar di semua telinga.”

Episode humor dalam perkembangan Indonesia, khususnya saat ini mungkin akan selalu merindukan gaya lawak dengan tetap memikul narasi intelektual bagi para pendengar dan penyimak di manapun berada. Dalam hiruk-pikuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, agaknya perkembangan humor di Indonesia sangatlah bias. Beragam aliran gaya humor secara audiovisual nyatanya simpang-siur akan esensi utama hakikat seni tersebut. Apalagi, zaman ini orang banyak terjerat pada ketersinggungan. Banyak orang mudah baperan.

Kerinduan akan grup lawak seperti Warkop misalnya diinsyafi oleh Sujiwo Tejo lewat tulisannya berjudul DKI, termaktub di bukunya, Republik #Jancukers (Kompas, 2012). Kita iseng menyimak tulisan budayawan dan dalang  ternama itu berupa percakapan di dalamnya, tepatnya pada halaman 113:

Baca juga:  Jejak Dipanegara dalam “Ilmu Pujian Roso Sampurno”

“Ini demokrasi, Mas. Itu DKI bagi Sampeyan, DKI bagi saya tetap lucu walaupun sekarang sudah  berkurang…”

“Berkurang apa? Mal-mal semakin bertambah. Partai-partai tambah rebutan menaruh gubernurnya, jauh lebih rebutan dibanding pemilihan gubernur di provinsi lain. DKI berkurang apanya?”

“Ya berkuranglah, Mas. Dulu DKI itu kan masih komplit. Ada Dono. Ada Kasino.Sekarang tinggal Indro Warkop…”

Di  beberapa hari terakhir, publik mulai ramai menyoroti tiga anak muda mencoba keberuntungan dalam ranah dunia lawak. Mereka mengidentikkan diri dengan gaya dan tampilan bak grup Warkop. Nama grupnya pun hampir menyerupai, hanya ditambai satu huruf saja di belakangnya, berupa “i”. Warkopi. Grup tersebut mulai mendapatkan perhatian saat beberapa stasiun televisi mengundang, mewawancarai, dan meminta mereka untuk unjug gigi. Tentu, bagi mereka bak artis mendadak. Karena wajah mirip, cara berkomunikasi, dan gerak-geriknya diatur sedemikian untuk menyerupai sosok Dono, Kasino, dan Indro.

Pro dan kontra tentu menjadi warna tersendiri dalam kiprah ketiganya. Banyak orang berpendapat dengan hadir ketiganya lewat satu nama grup itu akan mengobati kerinduan demi kerinduan lawak Warkop. Namun, nyatanya tidak begitu, Ada masalah yang menjera dalam dinamika beberapa hari terakhir ini. Kita membaca di salah satu rubrik Harian Jawa Pos Edisi Rabu, 22 September 2021. Kita menemukan berita dengan judul Minta Warkopi Hentikan Kegiatan Sementara. Tidak lain adalah reaksi dari personil tersisa Warkop, Indro dan para keluarga personil lainnya terhadap keberadaan Warkopi.

Baca juga:  Pemetik Puisi (19): Sungguh dan Justru

Diberitakan dalam koran tersebut, salah satu hal ditengahkan adalah argumen dari ketua Lembaga Warkop DKI, juga salah satu putri Almarhum Kasino, Hanna Kasino, menuturkan bahwa kehadiran Warkopi di layar kaca belum mendapatkan izin daripihak terkait. “Menurut dia, secara tidak langsung Warkopi menyatut nama ataupun gaya Warkop DKI untuk keuntungan pribadi. Padahal, Warkop DKI dilindungi oleh Hak Kekayaan Intelektual (Haki) yang secara sah dipegang Lembaga Warkop DKI”, begitu bagian tulisan berita tersebut.

Perkara ini buntutnya tentu panjang. Sebagai pemirsa yang merindukan akan hadir dan berkembangnya humor sebagaimana mestinya, kita masih dibayangi harap-harap cemas. Ternyata tingkatan kreativitas menjadi masalah bangsa Indonesia hari ini. Oh, di tengah-tengah tanyangan audiovisual banyak yang tidak masuk akal, kita semakin bingung mencari referensi terkait dunia humor sebagai salah satu pilihan dalam mengisi hari-hari yang sesak dan dipenuhi kekhawatiran akan pekerjaan, jeratan teknologi digital, keterasingan diri, dan peliknya dunia perpolitikan Indonesia. Begitu.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top