Sedang Membaca
Teknologi untuk Masyarakat Berkebutuhan Khusus
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Teknologi untuk Masyarakat Berkebutuhan Khusus

Di Indonesia, harus diakui keberadaan dari mereka berkebutuhan khusus acapkali diposisikan oleh banyak orang sebagai kelompok marjinal maupun terpinggirkan. Mereka kemudian dipaksa menerima keterbatasan dalam hak yang sebenarnya perlu didapatkannya. Masalah mulai berkepanjangan saat bahasa politik dan berbagai kepentingan tumpah-ruah di dalamnya. Di media, politisi kelewat akan miskonsepsinya sering keliru dalam memberikan perhatian. Kekeliruan menghasilkan sebuah framing dalam lini pemberitaan di media massa.

Sikap politisi memberikan beragama tafsir atas aktivitas, perlakuan, hingga sebuah klise termunculkan. Dalam naskah drama, kita pernah menemukan sebuah karya Arifin C. Noer, Orkes Madun (Penerbit Firdaus, 1999). Dalam beberapa babak, ia mengangkat permasalahan terkait kalangan berkebutuhan khusus dalam cerita demi cerita. Dua sosok dngan ternamakan: “Si Buntung” dan “Si Bisu” mendapati perlakuan tak adil dalam membahas sebuah hal.

Kasus pertama terkait “Si Buntung”, ia tentu tak mampu ketika untuk menunjukkan pengesahan akan menunjukkan siapa paling menderita dengan mengacungkan tangan setinggi-tingginya. Ia hanya berteriak: “Saya lara! Saya lara!”. Tokoh bernama “Badut Pertama” menimpali: “Acungkan tangan saja, gampang dan tertib”. “Saya tidak bisa,” jawab si Buntung. Kemudian disusul sikap ketus Badut Pertama, “Ya bodohnya”. Lantas, si Buntung berucap, “Saya buntung.” Badut Pertama dengan ketusnya, sebenarnya ingin menunjukkan cara untuk memberikan pelajaran kepada tokoh lain agar merenungi makna.

Baca juga:  Dibohongi oleh Mesin

Tatkala mendapati penjelasan dari tokoh Si Buntung kenapa demikian dan sejarahnya, ia malah menyuruh untuk mengacungkan setinggi-tingginya untuk mengetahui seiapa paling menderita. Sampai akhirnya, dia berucap: “Jangan berlebihan, Tuhan tidak akan senang”. Kemudian disusul sebuah instruksi: “Nah, sekarang kau bisa Buntung, ternyata kau yang terterterlara.” Si Buntung kemudian melonjak kegirangan bak anak kecil, kendati orang lain pada mencibir.

Sematan pada orang dengan didasarkan pada beberapa hal telah menjadi sebuah kebudayaan tersendiri di masyarakat. Teringat salah satu esai dari Liek Wilardjo, Paraban dalam bukunya, Menerawang di Kala Senggang (2009). Ia menyebutkan, bahwa paraban bisa menjadi sapaan yang menunjukkan keakraban dan kasih sayang. Namun, ada hal perlu diperhatikan: bahwa sebutan maupun julukan tak sedikit bermuara pada penghinaan. Ini merujuk pada ras, suku, hingga fisik—dengan situasi orang lain tak merasa nyaman akan hal itu.

Pelajaran tersampaikan bahwa untuk menunjukkan keadilan tak bisa dipandang dalam satu perspektif saja. Namun, sebagai manusia perlu dan harus menggunakan  banyak cara pandang. Tak lain adalah sebagai kewaspadaan terhadap diri: bisa jadi apa yang kita lakukan pada orang lain itu menurut kebanyakan dikatakan baik, tapi belum tentu pada orang di luar itu. Menjalin cipta dalam interaksi, komunikasi, dan percakapan memerlukan kebijaksanaan dan kehati-hatian. Itulah hakikat manusia yang memiliki tugas memanusiakan manusia.

Baca juga:  Jerman Bersatu

Hingga kemudian, hal itu erat dengan urusan teknologi. Bahwa teknologi semestinya menunjukkan sikap adil bagi semua kalangan tanpa terkecuali. Kita teringat sebuah tulisan dari Josh Fischman dengan judul Manusia Bionik dalam Majalah National Geographic Vol. 6, No. 01, Januari 2010. Kita terpahamkan pengertian akan bionik, secara etimologi berasal dari bio (dari “biologi”) + nik (dari “elektronik”); ilmu yang mempelajari sistem mekanika yang berfungsi seperti makhluk hidup atau organ tubuh makhluk hidup.

Fischman mengisahkan sederet nama memiliki pengalaman hidup dengan keterbatasan fisik dan terhadirkan keberadaan perkembangan teknologi yang menjadikan orang-orang tersebut dapat menjalankan aktivitas yang mulanya terbatasi, berkat hadirnya teknologi buatan. Kisah tersebut meliputi tuna netra akhirnya bisa melihat, tuna rungu kemudian bisa mendengar, hingga tadinya difabel akan tangannya kemudian bisa melipat baju. Pengalaman dan kisah menjadi pelajaran penting bagi kita.

Di Majalah Mekatronika No. 3, Tahun 1981, kita menemukan warta berjudul Komputer untuk Mengatasai Kehilangan Pendengaran. Penjelasan tersampaikan bagaimana kerja dari sebuah sistem teknologi menopang pada mereka yang membutuhkan. Kita mengutip salah satu penjelasannya: “Akibat ketekunan dan ketelitian Eddington akhirnya setelah dilakukan percobaan terhadap David maka akhirnya telinga telinga David dapat menangkap irama lagu Twinkle, Twinkle little star dan Marry Had a little lamb. Telinga David menangkap irama lagu itu persis layaknya orang-orang normal biasa.”

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (1): Teknologi, Kemanusiaan, dan Kebudayaan

Kita mendambakan urusan kepedulian mewujudkan teknologi untuk semua kalangan tanpa terkecuali itu terperhatikan juga secara serius oleh kalangan politik. Agar pangung politik tak terus-terusan terhiasi dengan aktivitas dan kegiatan penuh klise dan meninggalkan masalah penuh kontroversi. Hanya saja, karena kadung terlambat, terkadang memang tak pernah muncul kesadaran tersebut. Publik hanya tersuguhi dengan tindakan yang tak sedikit banyak menganggapnya sebagai kebodohan dan tak masuk akal.

Kita masih menghadapi banyak masalah. Kesulitan menemukan sosok memiliki keteladanan, keberpihakan pada kelompok minoritas, dan kesadaran pada pemenuhan hak publik agaknya terus kita temukan. Lebih mudah menemukan mereka yang mengedepankan citra diri individu, mengumbar janji, dan kerap mengedepankan tipu muslihat. Realitas kerap dipandang sebagai lelucon bagi sekelompok individu, sedangkan banyak orang terus bertanya-tanya akan kapan terpenuhi haknya sebagai warga negara.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top