Tiap orang memiliki ingatan akan pengalamannya terhadap sains kealaman. Persinggungan itu menjadi sebuah kesaksian atas pertumbuhan dan perkembangan di dalam sains. Ada yang menganggap menakjubkan dan mencengangkan. Ada pula yang hanya memiliki ingatan bahwa keberadaan sains tidak lain sesuatu yang jauh dari mudah. Rumit dan membuat orang-orang seperti itu merasa lebih baik tidak bersinggungan. Kita terpahamkan ada sesuatu di dalam proses yang kemudian membuat orang tak bisa berpersepsi sama dalam pemahaman akan sains.
Pengalaman menjadi sebuah catatan sejarah. Teringat tulisan F. Boklemann berjudul Djalan Buntu bagi Guru Ilmu Alam di Majalah Basis Edisi Mei 1972. Ia berceritaa pembacaannya sebagai seorang dosen ilmu fisika pada waktu itu. Satu masalah berarti adalah pilihan melibatkan praktikum bagi peserta didik, memunculkan masalah dalam tuntutan kurikulum. Itu kemudian menjadi sebuah dilema, sebagaimana pengakuannya: “…mengadakan pertjobaan-pertjobaan memang bagus, tetapi djatah waktu tidak mengizinkannja. Bahan untuk udjian harus selesai diterangkan, nanti ada inspeksi, dan bagaimana kalau nanti hasil udjian mengecewakan?”
Terpahamkan bagi kita, keberadaan sains masih meninggalkan pekerjaan terkait perkara metode penyampaian kepada kalangan publik. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi mengingat arus perkembangan zaman salah satunya terus bersandar pada sains dengan perangai ilmiahnya. Di Harian Kompas edisi 18 Oktober 2021 kita menemukan warta berjudul Membumikan Sains lewat Film dan Praktik. Terdokumentasikan sekelompok anak antusias dalam keikutsertaan kegiatan Science Festival secara dalam jaringan. Mereka memperagakan teori dan memahai dari proses penglihatan tanyangan visual.
Ada fakta tersirat akan kepentingan membumikan sains harus menyandarkan pada keperluan sains dapat terpahamkan dan menghibur. Di sanalah kemudian termunculkan sebuah seni memahami sains. Pelibatan anak secara langsung, kita teringat tulisan dari R. Rohandi, Memberdayakan Anak Melalui Pendidikan Sains dalam bunga rampai Pendidikan yang Humanistis (Kanisius, 1998). Output yang diketengahkan berupa: anak mampu memberikan evaluasi pada berbagai kejadian yang dialami terkat sains dan teknologi, menggunakan pengetahuan yang dimiliki, dan memiliki daya pengembangan lebih dalam dan lanjut.
Dahulu, saat penerbitan buku menjadi objek dominan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, kita punya ingatan, strategi pengemasan buku agar membuat ketertarikan bagi kelompok pembaca tertentu adalah dengan menghadirkan ilustrasi, gambar, komik, hingga kartun. Dalam babak penting itu, beberapa orang pasti punya sentuhan terhadap beberapa penerbit terkemuka, khususnya dalam bidang sains dan teknologi. Mereka dengan periode waktu bergiliran menawarkan seri-seri khusus dan spesifik akan topik terkait sains dan teknologi.
Lambat laun, itu semua dirasa tak cukup. Perlu langkah maju dalam memperbarui sajian seluk-beluk berkaitan dengan sains dan teknologi. Babak baru itu kemudian menghadirkan film bertema sains. Orang-orang beralih dari percakapan dengan teks menuju pada percakapan dengan audio-visual. Tak lain itu berkaitan dengan peserta didik dengan didasarkan pada rentan usia. Kita mendapat pengakuan dari Wagiono Sunarto dalam tulisannya, Penciptaan Ilustrasi Inovatif Buku Cerita Anak-anak Indonesia di bunga rampai Buku dalam Indonesia Baru (Yayasan Obor Indonesia, 1999). Ia menyebut, anak-anak lebih banyak memerlukan simulasi dan sensasi baik verbal maupun visual.
Kategori fiksi sains menjadi perangkat penting dalam proses kembang-tumbuh peserta didik dalam melatih imajinasi, menguatkan nalar, dan mendayagunakan akalbudi terhadap pembacaan demi pembacaan ihwal pengetahuan, pengalaman, dan lingkungan terkait sains dan teknologi. Kita membaca penjelasan dari Nirwan Ahmad Arsuka dalam bukunya, Semesta Manusia (Penerbit Ombak, 2018) tentang fiksi sains kadang dianggap sebagai karya yang menautkan sains dan sastra. Ia juga menggarisbawahi bahwa tak sedikit pula fiksi sains yang hadir sejauh ini memunculkan penyalahgunaan khazanah sains.
Bagaimana pertautan muncul antara kuasi ilmiah terwakili nalar dengan keajaiban yang dihadirkan dalam imajinasi rasanya perlu terus diobrolkan. Kendati demikian, sampai sejauh ini, di Indonesia belumlah banyak kelompok intelektual secara serius menggarap ranah itu. Hal itu juga ditambah dengan tambal-sulam berhubungan dengan regulasi pendidikan yang seakan-akan urusan pendidikan tidaklah menjadi prioritas bersama. Pemberitaan demi pemberitaan terkait pendidikan pada akhirnya sebatas masalah demi masalah bercampur dalam urusan administrasi.
Walhasil, kondisi stagnan terkait penyajian sebuah metode dalam proses pengajaran sains dan teknologi terkadang bukan terletak pada tingkatan kecerdasan di lingkungan anak-anak, misalnya kemudian mendapati masa bahwa kelompok ilmu tergolong dalam saintek itu menjemukan. Namun, melainkan dari itu lambatnya sistem dalam membaca, menelaah, dan membangun solusi untuk kepentingan bersama dalam pembangunan berjangka akan ilmu pengetahuan. Maka tiada jalan lain kecuali mengerti dan memberanikan diri untuk terus beradaptasi.
Pendidikan menjadi peran penting dalam argumentasi tersebut. Kita diingatkan lewat sebuah esai dari Albert Einstein, Tentang Pendidikan dalam bunga rampai yang diterjemahan dan diterbiitkan oleh Penerbit Circa di bulan Juni 2021. Ia menulis, hal yang paling buruk adalah ketika sekolah terutama bekerja dengan metode rasa takut, paksaan, dan otoritas superfisial. Tergambar di benak Einstein, motif untuk bekerja di sekolah dan dalam kehidupan adalah kesenangan dalam bekerja, kesenangan melihat hasilnya, dan pengetahuan tentang nilai hasil itu bagi masyarakat.
Kepentingan itu perlu dilakukan bukan satu atau dua pihak saja. Melainkan dari itu, berbagai pihak dengan kesadaran diri untuk berbagi peran dan tugas dalam lapis demi lapis proses di dalamnya. Kita tentu memiliki keinginan untuk mencetak anak-anak dengan tangkas dalam pencarian demi pencarian dalam memahami dan mempelajari ilmu pengetahuan yang pada gilirannya menjadi harapan baik bagi bersama akan kontribusinya di suatu masa bagi perjalanan peradaban bangsa dan negara.[]