Sedang Membaca
Sains, Seni, dan Kemanusiaan
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Sains, Seni, dan Kemanusiaan

Baitul Hikmah

Penghormatan penting kepada abad XXI tiada lain adalah kesetiaan terhadap ilmu dan pengetahuan. Yang mana, dengan kesetiaan itu, manusia dapat terus melakukan pencarian demi pencarian dalam mewujudkan martabat peradaban. Kisah, sejarah, dan realitas dari ilmu dan pengetahuan setidaknya telah menjadi salah satu sarana yang mangkus dan sangkil dalam memahami banyak hal di dalam kehidupan manusia.

Lewat maha karyanya, Cosmos (1980) dalam terjemahan bahasa Indonesia, Kosmos yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2016, astronom berkebangsaan Amerika Serikat, Carl Sagan dengan jeli memberikan sebuah pengisahan. Tulisnya berupa: “Fisika dan kimia memungkinkan bentuk kehidupan seperti ini. Seni menganugerahinya dengan daya tarik tersendiri.” Kutipan dari Sagan memberikan titik hubung antara sains dan seni.

Pada kenyataan tersebut, ada makna tersirat yang mesti dipanggul oleh peradaban manusia. Keberadaannya senantiasa dihadapkan dalam pencarian kosmik. Membangun relasi terhadap berbagai hal. Dari Sang Pencipta, sesama manusia, hngga alam semesta. Itu tiada lain adalah tanggung jawab tama bahwa kehidupan mesti diisi akan tindakan, perbuatan, dan perilaku untuk menciptakan sebuah keserasian. Ilmu dan pengetahuan menghubungkan satu dengan lain dalam kebersamaan pandangan terhadap kehidupan.

Di mata seniman, lukisan dan lagu melambangkan keindahan. Di mata saintis, konsep pengetahuan dengan metode ilmiah ketat menyiratkan akan makna keindahan itu sendiri. Menariknya, dalam dialog maupun percakapan yang berkembang pada ilmu dan pengetahuan, ada penekanan yang terjadi terhadap keberadaan sains dan seni. Itu mengacu pada konsep STEAM yang memiliki kepanjangan Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics.

Baca juga:  Gibran, Buku, dan Anak

Gagasan tersebut nampaknya terkadang masih dangkal dipahami dalam perubahan yang terjadi di sektor pendidikan. Laykalah, lewat sebuah tulisan dalam buku Kasmaran Berilmu Pengetahuan (2019), matematikawan Iwan Pranoto memberikan garis bawah. Bahwa dalam konstelasi pendidikan di Indonesia kebijakan pendidikan umum masih menyegregasi keilmuan dan monomorduakan pendidikan seni. Pernyataan tersebut jelas memberi maksud bahwa keberadaan seni tidak boleh dianggap sebagai sesuatu hal yang sempit.

Seni dalam telaah astronom dan filsuf perempuan, Karlina Supelli di beberapa ceramah ilmiahnya bukanlah sebatas panggung pertunjukan dan kegiatan pameran. Seni adalah matra yang memberikan daya dorong terhadap kemampuan berpikir kritis, melatih imajinasi, dan meningkatkan daya kreativitas. Keterhubungan yang terjadi dalam konteks luas—seni yang menghidupkan watak kemanusiaan atas tunggang langgang perkembangan ilmu dan pengetahuan.

Revolusi ilmu dan pengetahuan telah membentuk kebudayaan-kebudayaan baru dalam kehidupan manusia. Kebudayaan dengan ilmu dan pengetahuan kemudian saling memberikan pengaruh alam timbal baliknya. Kecepatan yang terjadi di satu sisi menjadi sebuah fase dalam munculnya optimisme, namun di sisi lain menumpukkan sederet kegelisahan dalam kemelut persoalan dan permasalahan yang ditimbulkan. Perubahan yang terjadi dalam ilmu dan pengetahuan merupakan sebuah paradoks.

Alih-alih revolusi ilmu dan pengetahuan menjadikan kesadaran kolektif memegang sikap dan perangai ilmiah, namun kejumudan intelektual, situasi tak bernalar, hingga ketidakmasuk akalan membayangi perjalanannya. Yang lebih menarik dari fakta tersebut adalah kebudayaan massa kita tergerak pada arus yang mengutamakan saling berebut kecepatan. Tatanan dalam berbagai hal masih didasarkan pada individualisme, belum pada tataran kolaborasi.

Baca juga:  Gus Dur, Laut, dan Reproduksi Tafsir Kebijakannya

Apa yang mestinya dilakukan? Jika boleh mendasarkan pada keberadaan proses manusia, satu hal yang pasti adalah pendidikan. Pendidikan dengan proses yang terjadi di dalamnya tiada lain adalah sebagai upaya membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan mengajarkan pada kesadaran individu untuk menemukan keyakinan yang didasarkan fakta objektif, bukan pada subjektivitas. Dengan demikian, di sinilah kesadaran itu dapat dimunculkan. Pada konteks luas, kesadaran itu akan terpatri dengan pengakuan bahwa di hadapan kita ada sesuatu hal lebih besar dari pada individu. Ia adalah masyarakat, negara, dan bangsa.

Dalam kecamuk yang terjadi di beberapa bidang kehidupan, kita masih percaya bahwa sains dan seni dapat menjadi sarana untuk menghidupkan kemanusiaan kita. Kita tidak butuh kedigdayaan akan perubahan yang terjadi dalam ilmu dan pengetahuan. Kita butuh kemauan dan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Saras Dewi menggambarkan dalam puisi berjudul “Rumah Ilmu” di buku Kekasih Teluk (2022): Jika tak pergi/ Maka aku akan menjadi wujud kejahatan/ Musuh-musuh Sang Dewi/ Akan berpesta di atas air mata yang menderita// Pada hari aku meninggalkan rumah ilmu/ Dewi pengetahuan menyelipkan pesan di pergelangan tanganku/ “Pengetahuan akan memberikanmu harapan”//.

Dengan melihat situasi yang terjadi, kita masih berpikir akan pendidikan. Pendidikan tidak bisa hanya dijadikan sebagai sebuah sarana dengan pengedepanan daya saing dan selektif. Pendidikan yang tidak hanya sebatas didasarkan pada kecerdasan intelektual. Namun, pendidikan yang mampu menggerakkan manusia untuk memekarkan rasa—kecerdasan emosi. Bahwa lewat pendidikan tersebut sebagai sebuah kesangsian bersama ada visi kemanusiaan yang ditanggung.[]

Baca juga:  Sastra Kita Jalan di Tempat?
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top