Lazimnya, ketika kita berhadapan dengan teks-teks khususnya di buku pelajaran sains kealaman, seperti halnya fisika, kimia, hingga biologi mudah mengenyahkan dengan raut muka penuh kemangkelan. Itu peristiwa yang menjadi kisah panjang bagaimana dalam kebudayaan masyarakat belum bisa menerima dengan penuh istilah keilmuan tersebut. Kesemuanya kerap dianggap dengan nada sinis dan diikuti kesan sulit.
Fakta tersebut sejatinya menjadi pertaruhan untuk menyangsikan bagaimana narasi dalam buku-buku pelajaran berbasis sains kealaman. Dalam sejarah, rupanya persoalan itu dilandasi dengan nalar dikotomis dalam kebijakan pendidikan dengan pengategorian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kebijakan itu sangat terasa dalam kuasa rezim Orde Baru.
Kajian Niels Mulder dalam buku Wacana Publik Indonesia: Kata Mereka tentang Diri Mereka (Kanisius, 2003) memberikan analisis terhadap itu. Mulder menjelaskan bahwa IPS adalah mata pelajaran prioritas rendah. “Ini berarti, orang yang mendaftarkan diri untuk mata kuliah sosial di universitas dan IKIP dipandang dan betul-betul memandang diri sebagai kelas dua atau tiga dibandingkan dengan mereka yang memasuki fakultas yang lebih bergengsi, seperti misalnya fisika atau kedokteran,” tegas Mulder.
Penjelasan dari Niels Mulder membawa kita melakukan permenungan terhadap jutaan lulusan sekolah menengah ke atas tahun 2023 yang tak sedikit pasti mengambil jalan untuk studi lanjut. Sampai saat ini, gejala superioritas terhadap kalangan IPA masih betul terasa. Akhirnya, kita menghadapi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan: di mata keluarga Indonesia, kuliah di jurusan berbasis sains dan teknologi itu berderajat tinggi. Sebaliknya, kuliah di jurusan berbasis sosial humaniora adalah sebuah mimpi buruk.
Secara bahasa, kita sudah keliru sejak dulu dengan menganggap bahwa sains itu merujuk pada ilmu alam. Padahal dalam catatan Andi Hakim Nasoetion melalui tulisan “Beberapa Catatan: Ilmu dan Science Serta Eksakta dan Non-Eksakta” (Mimbar Indonesia, 4 Februari 1968) menyebutkan: “Science bukan hanya mencakup “ilmu pengetahuan alam”. Setiap pengetahuan yang memasuki taraf kuantitatif berubah menjadi suatu science.”
Permasalahan dalam bahasa itu kita duga kemudian menjadi upaya normalisasi dari alam bawah sadar dengan pengutuban ilmu-ilmu berkembang. Yang paling tragis adalah kondisi pengakuan terhadap keberadaan mata pelajaran berlatar belakang sains kealaman cenderung menjauhkan dari konsep-konsep dalam sosial humaniora. Pada pengamatan yang lebih jauh, itu kemudian yang membentuk anatomi kebudayaan baik dalam sekolah, masyarakat hingga pendidikan tinggi.
Persoalan Teks
Pendidikan dalam sudut kebijakan adalah uang berlimpah yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Cuma, terlalu naif kalau kita hanya menganggap bahwa pendidikan itu merupakan perealisasian anggaran. Pendidikan adalah keterhubungan dengan teks dalam buku-buku pelajaran. Para siswa diajak berduyun-duyun untuk mengayuh pedal dalam mengikuti kehadiran teks. Satu tahun bekerja sebagai penulis buku pelajaran, saya mendapat pelajaran penting akan pentingnya humanisme dalam buku pelajaran eksakta.
Dugaan itu muncul pada narasi tunggal yang menjadikan wacana ilmu eksakta dituliskan dalam halaman demi halaman. Secara umum tidak ada pelibatan nilai-nilai sosial humaniora sebagai daya pantik dalam menghubungkan teks pelajaran dengan aktivitas kesehariannya. Akhirnya, imajinasi dari pelajasan eksakta cenderung linier dan nampak ada pola eksklusivitas yang menggejala.
Kajian bahasa yang pernah dilakukan oleh Walter J. Ong menarik untuk digunakan mengkaji kenyataan tersebut. Terbaca salah satu karyanya Interfaces of the World: Studi tentang Evolusi Kesadaran dan Budaya terjemahan Feby Widayanti diterbitkan Diomedia tahun 2022. Buku itu terbit pertama kali pada 1977. Dengan runtut, Ong menjelaskan perkembangan bahasa dalam berbagai macamnya hingga keterhubungan terhadap pengaruh teknologi.
Tulis Ong: “Dengan demikian, perkembangan teknologi yang dimulai dengan menulis telah mengakibatkan pergantian besar-besaran pada aktivitas abstrak, yang terkadang disebut sebagai ledakan pengetahuan, bukan hanya terjadi pada ilmu fisika atau ilmu alam (di mana pengaruhnya begitu kentara) tetapi juga terkadang kita melupakan pengaruh yang disebabkan pada kemanusiaan.”
Visi Humanisme
Penjelasan Ong nampak menyiratkan masalah dalam sains kealaman atas peminimalisiran wacana sosial humaniora dalam teks maupun tulisan. T. Sarkim melalui esai “Humaniora dalam Pendidikan Sains” di buku Pendidikan Sains yang Humanistis (Kanisius, 1998) sedikit memberi tawaran dalam meneroka gejala demi gejala yang terjadi di sains kealaman. Ada fakta penting yang ia ketengahkan bahwa dalam sejarah bencana, seperti bom atom, senjata kimia, hingga pencemaran lingkungan merupakan catatan kelam yang muncul dalam diskursus sains kealaman.
Pengembangan segi-segi manusiawi dalam pengajaran sains juga dapat ditempuh dengan pembahasan sejarah perkembangan suatu konsep, yang di dalamnya terungkap pergulatan perjuangan para ilmuwan dalam usaha menangkap misteri alam (T. Sarkim, 1998: 142). Keterangan Sarkim penting dalam menelaah bagaimana banyak kiprah ilmuwan maupun saintis yang dalam hidupnya berhadapan dengan banyak gejolak, baik sosial, politik, hingga kemanusiaan
Di dalam konteks wacana buku pelajaran, hal yang penting direnungkan bersama adalah penarasian teks pelajaran berbasik sains kealaman membutuhkan metode dalam pelibatan sosial humaniora. Ilmu-ilmu dalam rumpun eksakta bukanlah kumpulan teori-teori indah yang penuh ketakjuban. Namun, di sana ada gejala-gejala sosial yang semestinya perlu dilibatkan menjadi konsensus dalam upaya mengembangkan ilmu dan pengetahuan sebagai aspek kesalingterhubungan, bukan pendikotomian.[]