Sedang Membaca
Pandemi, Gawai, dan Peringatan Gangguan Kesehatan Mata
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Pandemi, Gawai, dan Peringatan Gangguan Kesehatan Mata

Anak Anak Asyik Bermain Ponsel Di Trotoar 20170818 160634 E1571374002605

Episode keberadaan wabah pandemi Covid-19 memperlihatkan masalah serius pada kehidupan manusia. Satu hal tak luput di sana adalah perkara mata. Data, fakta, dan angka tersiar dalam laporan di media pemberitaan. Kita menjumpai itu misalnya di Harian Media Indonesia edisi 14 Oktober 2021. Bertepatan dengan Hari Mata Sedunia, koran itu merilis beberapa laporan terkait dengan dampak pandemi terhadap kesehatan mata. Salah satunya bahwa Indonesia memiliki tingkat prevalensi kebutaan yang mencapai 1,5%. Tertinggi untuk kawasan di Asia Tenggara.

Di warta berjudul Menekan Angka Penderita Penyakit Gangguan Mata di Indonesia, kita menemukan penjelasan: “Angka gangguan pada mata ini diperkirakan meningkat seiring dengan datangnya pandemi covid-19. Hal itu disebabkan banyaknya masyarakat yang beralih menggunakan gawai untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari. Penggunaan gawai secara terus-menerus ini berbahaya bagi kesehatan mata, apalagi jika tidak diikuti dengan istirahat mata.”

Kita menyadari dengan penuh, urusan mata adalah jalan panjang yang terus melahirkan masalah. Teknologi menjadi biangnya akibat ketakpatuhan pengguna pada prosedur sebagaimana mestinya. Penelitian mengenai seluk-beluk mata menyeret kita pada kesejarahan dan perubahan yang dihadirkan zaman saat ini. Pertama, makin hari kecenderungan yang muncul adalah banyak orang tak sepenuhnya menggunakan mata. Kedua, mata melahirkan banyak tafsir di tengah semakin menguatnya sistem pengawasan di banyak hal, bahkan itu bagian dari struktur keberadaan negara.

Teknologi digital melahirkan sebuah pola hubungan antara pengguna, penyedia layanan, hingga pemodal. Banyak orang barangkali tak terjamin akan keselamatan identitas dirinya, terlebih kecenderungan muncul berupa canggihnya pemrograman demi pemrograman acapkali dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh kelompok tertentu. Beberapa hari terakhir, tak sedikit dari kita pun merasakan saat di salah satu wahana media sosial—Instagram menyajikan sebuah fitur berbagi riwayat diri, baik itu: nama panggilan, daftar kota pernah ditinggali, foto terakhir, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Pesantren Virtual dan Ladang Monetisasi Kyai di Ruang Digital

Sayangnya, orang-orang di kita itu banyak berwatak reaksioner dengan mengedepankan perhatian pada trend. Walhasil, pengumbaran hal-ihwal diri mulai dari umum bisa berisiko panjang. Sebab, pola muncul bisa saja mengarah pada hal privat dari identitas diri. Dahulu, ancaman akan “dimata-matai” itu menjadi perhatian dalam pemberitaan demi pemberitaan di beberapa media. Kita menemukan sebuah warta di Majalah Tempo edisi edisi 16 November 1998. Di warta berjudul Bila Komputer Bermata Dua, kita mendapatkan penjelasan:

“Ada pogram komputer tertentu yang berpotensi menimbulkan masalah karena bisa disalahgunakan. Surat elektronik pun bisa diintip oleh yang tak berhak.” Teknologi kadung dipahami sebagai hal netral, padahal sebenarnya tidak. Kemajuan demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sampai kapan pun tak pernah luput menghadirkan masalah. Kita terkadang terlambat sadar. Baru paham saat hal tak diinginkan telah terjadi. Kita mudah teralienasi dan terbujuk pada rayu sementara, tanpa diimbangi pertimbangan jangka panjang.

Urusan mata terlalu panjang dan sampai sejauh ini terus perlu diobrolkan. Kisah pergulatan mata secara filosofis terhadirkan. Salah satunya adalah dilakukan oleh Seno Gumira Ajidarma, lewat bukunya berjudul Kisah Mata: Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan tentang Ada (Galang Press, 2005). Seno menekankan banyak hal dan urusan hidup, salah satunya adalah akan bagaimana tugas tiap diri adalah memahami hakikat dan makna akan keberadaan mata dalam situasi dan kondisi apa saja. Kita kutip kalimat yang ia tulis:

Baca juga:  Pemikiran Syekh Yasin dalam Penentuan Awal Bulan Kamariah

“Mata bukan hanya berfungsi melihat, mata melihat dalam arti mencari makna hidup manusia tiada artinya. Tanpa makna manusia tidak hidup dan tidak ada, karena ada-nya manusia adalah jawaban dari apa makna ber-ada. Karena itu melihat adalah tindakan yang harus bermakna, dan melihat hanya bermakna jika mata tidak hanya terbuka melainkan membaca.”

Dalam kegemerlapan kehidupan di dunia, tiap orang terus dan semakin menghadapi masalah begitu kompleks. Termasuk adalah paradigma pemfungsian mata. Banyak ornag mungkin tak menyadari bahwa kian waktu, perhatian terhadap mata semakin terabaikan. Dalam kasus lain, hidup semakin terasa terawasi dengan kehadiran “mata-mata” dari luar yang dengan canggih dan mudah untuk melihat, mengamati, merekam, dan mencatat tiap diri orang. Baik itu lewat algortima media sosial, teknologi pengawasan di banyak sudut ruangan, hingga kamera otomatis terpasang dalam lalu lintas di sudut kota.

Petuah dan nasihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan tersaji dan tersampaikan dengan harapan tentu saja adalah banyak dari kita terus memahami bagaimana hal yang perlu dan tidak perlu dilakukan. Kebenaran bukanlah datang dari persepsi yang diikuti oleh banyak orang. Namun, kebenaran adalah jalan panjang yang membutuhkan kesadaran dalam mendayagunakan akalbudi dengan terus menemui renungan demi renungan dalam menjalankan hidup. Abad XXI menghamparkan sebuah tantangan terutama pengetahuan tentang pengawasan.

Baca juga:  Agama Cyberspace: Ketika Ritual Bergeser ke Ruang Virtual

Lewat pidato kebudayaannya yang berjudul Ritme dan Algoritme di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 10 November 2021, Merlyna Lim menyampaikan dengan apik akan kesejarahan peradaban dalam kehidupan manusia hingga dinamika-dinamika termunculkan dalam arus dunia digital. Akademisi berkebangsaan Indonesia yang saat ini menjadi pengajar di Universitas Carleton, Kanada itu seakan menegaskan bahwa situasi kompleks yang muncul perlu daya tahan dalam membaca secara seksama dalam proses panjang perjalanan kehidupan.

Kita mendapatkan sebuah penjelasan: “Rutinitas kita sehari-hari menelurkan ritme kehidupan mengekspresikan dan membentuk identitas dan jati diri kita, tentang siapa kita, apa yang kita perjuangkan, dan di mana dan dengan siapa kita berdiri dan berpijak.” Kalimat tersampaikan perlu digunakan sebagai “kacamata”, barangkali kenyataannya mata tak kerap dilibatkan secara mendalam akan hakikatnya. Penglihatan itu sebagai upaya untuk terus melakukan yang bajik dan bijak serta memilah dan memilih akan secarut hal dalam realitas.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top