Sedang Membaca
Nahdlatul Ulama, Ekologi, dan Krisis Iklim
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Nahdlatul Ulama, Ekologi, dan Krisis Iklim

272681532 1620469638305626 6729546699308661505 N

Forum Muktamar ke-XXXIV Nahdlatul Ulama (NU) di akhir tahun 2021, memberikan berbagai catatan menarik. Selain bagaimana sebagai pertemuan dalam kesiapan organisasi dalam menyongsong abad kedua, ada hal ditekankan sebagai konsensus dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Tentu saja, tak lain adalah bagaimana komitmen NU sebagai salah satu garda terdepan dalam mengawal Indonesia.

Satu hal yang menjadi perhatian serius adalah pembahasan perihal krisis iklim. Situasi yang sebenarnya telah berlangsung lama di tingkatan global, apalagi di bulan Oktober hingga November 2021, Indonesia menjadi salah satu partisipasi dalam forum Conference of the Parties (COP)—salah satu forum di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam menindaklanjuti tantangan global berupa krisis iklim dengan berbagai dampaknya.

NU mendorong pemerintah untuk menyusun Undang-undang tentang Perubahan Iklim. Itu salah satunya terliput di NU Online (23/12/2021) berjudul Muktamar NU Dorong Pemerintah dan DPR Buat UU Perubahan Iklim. Kita kutip: “Urgensi UU tersebut megingat perlunya Pemerintah menjaga agar laju emisi gas rumah kaca (GRK) tahunannya berada pada tingkat 1% untuk mencapai target unconditional scenario dengan berbagai kebijakan dan langkah strategis serta regulasinya.”

Visi tersebut penting mengingat permasalahan ekologi dan krisis iklim sebagai hal kompleks. Satu rancangan maupun skema tak bisa berdiri sendiri. Berbagai aspek keilmuan sangatlah perlu dalam membuka dialog untuk mencari soslusi demi solusi dalam upaya menghadapi krisis iklim. Baik itu langkah mitigasi maupun adaptasi. Sonny Mumbunan dalam Majalah Prisma Edisi Vol. 36, No. 2, Tahun 2016 memberikan penekanan akan relasi sains dengan politik dalam krisis iklim.

Baca juga:  Teknologi untuk Masyarakat Berkebutuhan Khusus

Lewat esainya berjudul INDC Indonesia: Produksi Pengetahuan dan Kebijakan Publik untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan tersebut, ia menjelaskan: “Saintifikasi politik adalah menyangkut speaking truth to power, menyatakan kebenaran (saintifik) pada kekuasaan. Sementara politisasi sains merujuk pada pelibatan sains dalam kekuasaan.”

Islam dan Krisis Iklim

Dalam bentangan dimensi waktu lain, kita mengerti bagaimana Islam dengan serius melakukan konsolidasi dan pertemuan di tingkatan internasional dalam menyusun kerangka teoretis dan praksis akan persoalan iklim. Salah satunya adalah tatkala dihelatnya Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global pada bulan Agustus tahun 2015 di Instabul, Turki. Indonesia mewakilkan delegasi dalam keterlibatan forum itu.

Fachruddin M. Mangunjaya mencatat serangkaian forum itu dalam bukunya, Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup (LP3ES, 2021).  Bahwa deklarasi tersebut juga diserahkan resmi kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Paling mendasar tentu saja adalah konferensi tersebut sebagai dialog untuk membangun perspektif Islam dalam perubahan iklim.

Kita juga teringat gagasan yang pernah disampaikan oleh seorang cendekiawan Muslim, Ziauddin Sardar di bukunya, Sains, Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam (Penerbit Pustaka, 1989). Bagaimana manusia memikul tanggung jawab keseimbangan, tak terkecuali relasi dengan alam semesta.  Ia menyebutkan, sikap mental yang ditumbuhkan oleh agama Islam merupakan kosmologi dan pendekatan yang seimbang terhadap kehidupan.

Baca juga:  Bagaimana Menyikapi ChatGPT-4 sebagai Aplikasi Belajar Agama?

NU dan Ekologi

Sebelum deklarasi tahun 2015, setahun sebelumnya tepat pada Juli 2009 di tempat yang sama telah ada pertemuan kurang lebih 70 ulama, ahli lingkungan, dan aktivitas lingkungan dari kalangan dunia Islam. Di forum Muslim Seven Year Action Plan for Cilmate Vhange Action itu, perwakilan dari Indonesia terdiri dari utusan Nahdlatul Ulama, Muhamamdiyah, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Masih di buku karya Fachruddin, pertemuan demi pertemuan yang ada menelorkan tindakan praksis sebagai aksi nyata kalangan umat Muslim. Misalkan saja penerapan konsep lingkungan maupun tempat dengan pengarusutaman pada keberlanjutan lingkungan hidup. Seperti halnya: Ekopesantren, Eko Masjid, Green Haji, Penggunaan Maskapai Hijau, Hemat Air, hingga Kota Hijau Berkelanjutan. Konsep-konsep itu penting menjadi perhatian dan pembahasan secara kolektif.

NU sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia tentu memegang penuh mandat itu dalam konsolidasi kepada para jemaah yang ada di dalamnya. Apalagi dengan keberadaanya dengan jumlah besar dari cakupan umat Islam di Indonesia. Lewat kontribusi, baik itu dorongan terkait regulasi, ajakan kepada basis jemaah, hingga aktif dalam merespon banyak isu dalam upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dan martabat banyak orang. Sebab, ketakutan yang ada munculnya dilema perbedaan antar generasi.

Baca juga:  Curhat Santri Gen Z Menghadapi Derasnya Arus Teknologi

Hal itu pernah diungkapkan oleh Emil Salim tentang ketidakpedulian generasi tua (Status quo oriented) dalam perhatian isu. Tak ada pembacaan jangka panjang akan keberadaan generasi muda. Apa yang dilakukan NU sebagai sebuah langkah bahwa generasi tua melek terhadap isu itu dan memancing kesadaran kelompok mudanya. Kita berharap dapat konsisten sebagai manifestasi akan konsep kerap diutarakan di NU berupa: baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top