Anak-anak diajak menyanyi agar gembira dan semangat dalam menjalani kehidupan. Selain itu, proses tersebut menjadi koneksi tiap diri dalam membaca dan memahami gejala di lingkungan sekitar. Lagu anak identik dengan hal-hal sekelilingnya, baik benda hidup maupun benda tak hidup, yakni hewan, tumbuhan, cuaca, keindahan alam, hingga benda angkasa.
Kita teringat lagu berjudul “Bintang Kecil”, yang populer dalam banyak kesempatan anak-anak saat berinteraksi. Liriknya: Bintang kecil di langit yang biru/ Amat banyak menghias angkasa/ Aku ingin terbang dan menari/ Jauh tinggi ke tempat kau berada. Kita paham bahwa lagu menyiratkan imajinasi yang mendalam untuk mengerti salah satu bagian tata surya kita.
Ada rasa kekaguman dan keterbukaan cakrawala atas anugerah keberadaan bintang. Tak ayal, dalam Majalah Mekatronika edisi Agustus 1988, Agus R. Sarjono menulis catatan kecil berjudul “Bintangku Bintang”. Catatan dimaksudkan untuk sedikit memberi pengantar dalam edisi majalah dan menyampaikan makna, yang barangkali sebelumnya tak disadari oleh banyak orang. Lagu yang hanya sebatas lagu.
Agus R. Sarjono ingin lebih dari itu. Ia memberikan kisah dan cerita nostalgia untuk kemudian mengajak bahwa banyak pengetahuan terhampar dari sana. Penjelasannya: “Seperti juga para astronom, kita boleh jadi tak lagi bisa tertawa dengan nada mencemooh di hadapan cakrawala penuh bintang itu, karena rasa kagum menuntun hati untuk mentakbiri keperkasaan Sang Pencipta.”
Penjelasan yang mengesahkan lagu perlu termaknai. Anak-anak dilatih tak sebatas menghafalkan dan melantunkan, namun lebih dari itu. Ki Hadjar Dewantara menggagas keberadaan lagu tak terlepas dengan kesenian. Pernyataannya kita dapatkan dalam sebuah tulisan “Pengajaran Seni dalam Perguruan”, termaktub di buku Karja Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama: Pendidikan (1961). Pemikiran Ki Hadjar Dewantar: “Kesimpulan kita tentang pengadjaran seni menggambar atau melukis dan seni suara atau lagu ialah, bahwa kedua-duanja itu amat berfedah untuk ketjerdasan djiwa dari kanak-kanak, jaitu menghaluskan serta mendalamkan gerak-gerik dari djiwa, achirnya memperbaiki sifat budipekerti dari kanak-kanak kita.”
Eksplorasi Pengetahuan
Saat membayangkan bintang sebagai sebuah objek, dalam peresapan mendalam tentu muncul kesadaran dalam eksplorasi pengetahuan. Kita diingatkan dengan keberadaan lembaga Observatorium Bosscha, sebuah laboratorium untuk kepentingan penelitian mengenai astonomi sejak tahun 1923. Nama tersemat berasal dari salah satu tokoh intelektual, K.A.R. Bosscha.
Ada masa keberadaan laboratorium yang bersejarah dalam melakukan penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat secara luas tersebut terancam terkait dengan kebijakan ekologis dan tata ruang. Muncul beragam kekhawatiran dari kelompok yang menaruh harapan akan masa depan wahana tersebut. Salah satu upaya itu dilakukan oleh sekelompok anak-anak sekolah dasar dengan menuliskan sebuah buku berjudul Selamatkan Bosscha (2007).
Buku yang dieditori oleh Rahmat Jabaril tersebut mengisahkan cerita panjang kerinduan anak-anak akan perhatian dan kebahagiaan dalam lanskap ilmu pengetahuan, khususnya terkait dengan eksplorasi alam semesta. Keseluruhan anak-anak terlibat berjumlah 90 dengan masing-masing tulisannya yang berisi harapan, mimpi, dan imajinasi.
Kita mencuplik tulisan Azka dari SD Mutiara Bunda: “Kini bintang-bintang yang indah itu, tidak bisa kita lihat lagi dengan jelas di teropong bintang. Semua itu karena lampu-lampu perumahan yang sangat terang. Cahaya bintang-bintang itu telah tercemari oleh cahaya-cahaya lampu, yang kini telah menerangi lembang. Bosscha yang telah berdiri bertahun-tahun lamanya, apakah akan ditutup tahun-tahun ini? Masih banyak rahasia-rahasia langit yang belum kita ungkap. Masih banyak ilmu yang kita pelajari dari alam semesta.”
Pernyataan yang mungkin terkesan lugu, tetapi ia menjadi bukti akan hadirnya kesadaran. Anak-anak terbentuk melalui banyak pranata dalam relasi-relasi yang ada di lingkungannya. Lagu yang dimaknai dalam ajakan berpengetahuan membawa pada proses panjang akan pencarian ilmu pengetahuan. Anak-anak mendapati ketakjubannya dan sederet pertanyaan acak untuk terus dicari dan dijelajah secara mendalam.
Lagu dalam hal ini secara mendasar terkait dengan seni menjadi sarana ampuh dalam menumbuhkan rasa dan kepekaan dalam kearifan mengambl sikap. I Ketut Sumarsa menulis esai “Pendidikan yang Memekarkan Rasa” dalam bunga rampai Membuka Masa Depan Anak-anak Kita (2000) menegaskan bahwa makin peka rasa seseorang, makin cerdas budinya. Proses itu menjadi sarana seseorang melakukan tindakan yang tak diinginkan, seperti kekerasan.
Situasi tersebut membawa pada penyadaran bersama, perlu ada komitmen dalam proses belajar pada anak-anak. Proses tersebut berupa akumulasi pendidikan dalam berbagai ragamnya, yang dimulai dari keluarga. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Pada tiap zaman menghadapi tantangan yang beragam. Kita mungkin masih menaruh harapan bahwa lagu-lagu akan selalu menemani mereka dalam prosesnya dengan menghadirkan imajinasi, pengolahan rasa, dan kasmaran berpengetahuan.[]