Umat Islam sudah terbiasa pergi ke masjid. Mereka menjalankan misi, kewajiban, dan penuntasan capaian hidup. Lanskap aktivitas itu berdasarkan pada etos spiritual, akan bagaimana manusia menjalin hubungan kepada Allah SWT. Di masjid, kita juga tahu, orang-orang juga mudah mendapatkan ceramah, kultum, dan petuah dari para dai maupun pendakwah.
Terhadap keberadaan masjid, kita ingat sebuah buku penting dan bersejarah garapan Sidi Gazalba, berjudul Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Buku itu diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Antara pada 1962. Tahun demi tahun buku senantiasa cetak ulang. Menegaskan urusan masjid begitu penting di kalangan publik. Sidi membabarkan mengenai keberadaan masjid dalam berbagai ruang keterhubungan yang membentuknya.
Di buku tersebut, kita dapat menemukan uraian kedudukan masjid dalam kebudayaan, politik, seni, ekonomi, sosial, filsafat, hingga ilmu dan pengetahuan. Kita terpantik uraian Sidi mengenai masjid sebagai pusat keilmuan. Ia menyebutkan: “Mesjid selalu mengawasi, mengeritik dan menilai apakah ia dikerjakan untuk kebenaran. Mesjid jadi pengingat akan takwa bagi semua orang yang berhubungan dengan ilmu. Tanpa menghubungkan dengan mesjid, orang akan lupa pada tujuan ilmu.”
Pernyataan tersebut menarik untuk meneroka situasi di zaman mutakhir. Cara pandang orang terhadap masjid tentu senantiasa mengalami transformasi. Betapapun, kita juga menyadari, acapkali keberadaan masjid justru menabalkan kritik akan keberadaannya. Mari kita mengingat pengalaman keseharian, saat pergi ke masjid, khususnya mendengarkan ceramah-ceramah. Kita boleh jujur, ceramah-ceramah yang kita dengarkan seakan monoton dan menyiratkan hanya berpangkal pada petuah dan janji surgawi.
Terlintas pertanyaan: apakah masjid hanya sebatas mengurus persoalan akhirat dan menjauhkan dari persoalan yang nyata dalam perjalanan kehidupan? Dengan tempo sesingkat-singkatnya, kita kemudian dapat menghubungkan pada persoalan lingukungan hidup, tak kecuali tentang krisis iklim. Terlihat jarang para pendakwah atau penceramah hingga khotib menjadikan ekologi sebagai arus utama dalam paparannya di mimbar.
Hal tersebut menjadi mafhum saat kita menyimak wawancara kepada salah seorang cendekiawan, Amin Abdullah di Majalah Tempo edisi 15 – 21 April 2024. Dalam wawancara dengan tajuk “Agama Tak Peduli Lingkungan” tersebut, Amin menguraikan isu ekologi dalam cakupan sejarah revolusi industri, perkembangan ilmu dan pengetahuan, peranan agama, hingga fikih lingkungan. Ada banyak keraguan dan kerancuan yang mengemuka dalam paparan Amin.
Kritiknya terhadap peranan agama mengenai persoalan lingkungan hidup diterangkan berupa: “Terus terang bahwa agama tak peduli pada persoalan lingkungan. Materi yang disampaikan dai dan ulama cuma hubungan manusia dengan Tuhan serta sesama manusia. Hablum minallah dan hablum minannas. Mereka tak pernah menyebut hablum minalalam, hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Pengajian-pengajian itu sama sekali tak menyentuh perkara sampah, air, dan lainnya.”
Lalu, apakah kita akan membuat maklum alih-alih mendasarkan pada pernyataan “toh, kehidupan di Bumi ini pada akhirnya juga rusak dan berakhir”? Tentu saja tidak. Naga-naganya dibutuhkan sebuah jalan tengah dalam meneroka permasalahan tersebut. Pada aspek ini, salah satu yang perlu diurai pada agama Islam, dengan menempatkan peranan masjid terhadap persoalan lingkungan hidup.
Namun, kita perlu berangkat pada satu hal mendasar, bahwa planet Bumi sampai sejauh ini adalah planet yang paling layak dihuni oleh manusia. Dengan begitu, sebagai manusia tentu yang menjadi hakikat manusia adalah bagaimana menjadi manusia dengan semestinya. Dalam relasi kehidupan, kehidupan semakin kompleks. Aktivitas kita harus diakui juga berpengaruh pada persoalan lingkungan hidup.
Dengan melihat perkembangan, kita tahu masalah ekologi dan krisis iklim makin menggejala dan menjadi fakta yang tak dapat ditampik. Sebagai bentuk pembelajaran bersama, kesadaran mengenai ekologi dan landasan sikap yang bisa dilakukan setiap orang bisa dibangun melalui pemfungsian keberadaan masjid. Itu berhubungan dengan dai, penceramah, maupun pendakwah yang menjadikan ekologi sebagai arus utama.
Bagaimanapun posisi forum yang dapat mengumpulkan jemaah itu dapat efektif dalam menyampaikan pesan-pesan ekologi. Hal ini mengingatkan gagasan akademisi Universitas Nasional, Fachruddin M. Mangunjaya yang berjudul “Khotbah Jumat Bisa Efektif Mendekatkan Isu Perubahan Iklim di Masyarakat, Bagaimana Caranya?” (The Conversation, 2023). Dengan mengambil sampel pada keberjalanan khotbah Jumat, ia menguraikan dengan mendasarkan pengalaman terlibat dalam pelatihan untuk menyiapkan dai maupun penceramah yang menjadikan isu lingkungan hidup sebagai kerangka materi.
Keterangan ditulis oleh Fachruddin: “Untuk memperkuat pesan ini, para penceramah dapat memberikan contoh langkah-langkah yang sudah dilakukan umat Islam di belahan dunia, upaya dari lembaga pesantren di Indonesia melestarikan lingkungan, ataupun inisiatif ‘hijau’ lainnya yang ditempuh oleh masyarakat di lingkungan terdekat mereka.”
Dalam konteks Islam di Indonesia, kita tentu sepakat memandang dua organisasi yang memiliki basis massa terbanyak, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Korelasi terhadap gagasan di atas tentu jelas, mereka memiliki basis tradisi pendidikan masing-masing yang juga mengandaikan kehadiran kader dalam ruang dakwah. Maka, kepentingan pengetahuan ekologi dan pemupukan kesadaran harus dijadikan faktor dalam mendidik kader.
Dengan demikian, terdapat ketersediaan kader yang siap menjadi pendakwah maupun penceramah di masjid-masjid. Dakwah dengan mendekatkan pada ekologi adalah sebuah urgensi di tengah kompleksitas perkembangan dunia pada abad XXI. Metode tersebut menjadi jalan yang tersistem untuk membangun kesadaran bersama, bahwa banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi permasalahan ekologi maupun krisis iklim.
Hal-hal itu mengacu pada tilikan terhadap lingkungan sekitar. Dari hal kecil. Tidak melulu pada hal yang besar. Etika terhadap lingkungan ini dapat terpatri dari materi-materi ceramah yang didapatkan oleh jemaah. Akhirnya, di sinilah respons yang perlu dilakukan agama dengan instrumen yang ada. Bahwa agama menekankan pada relevansi berupa aksi maupun tindakan terhadap tantangan yang ada di kehidupan.[]