Pada tarikh 2012, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan sebuah buku berupa Indonesia Menuju Bangsa Inovasi 2030: Memorandum AIPI. Buku dengan penyematan kata “memorandum” memberikan gambaran kepada khalayak berisi catatan demi catatan dari sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam lembaga non struktural yang disahkan pada 13 Oktober 1990 tersebut.
AIPI memiliki agenda dengan dimaksudkan untuk jangka panjang. Pembaca menemukan kutipan: “Semua agama juga mengajarkan agar manusia membangun hubungan yang harmonis dan selaras dengan sesama manusia, bahkan juga dengan makhluk lain, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia diajarkan untuk lebih mengedepankan prinsip-prinsip persamaan dan persaudaraan daripada prinsip perbedaan dan pertentangan.”
Pernyataan itu menjadi sangat perlu dalam membuka diri untuk melakukan refleksi di tengah berbagai gejolak yang terjadi. Tak terlepas akan bagaimana situasi yang terkadang terjadi, atas nama agama, beberapa pihak berbuat kerusakan dan tidak mengindahkan hadirnya kemaslahatan. Juga, bagaimana agama masih kerap menjadi benalu atas efek domino dengan keberadaannya dijadikan komoditas politik identitas.
Pada aras lain, pernyataan itu juga membawa pada kerangka dialog terhadap keberadaan ilmu pengetahuan. Konsensus antara keduanya memberikan sumbangsih pada ranah praksis. Mendorong pada hadirnya martabat manusia, menjaga keseimbangan, tidak mendiskriminasikan yang lain, mengedepankan perdamaian, serta memperjuangkan emansipasi.
Memaknai Perjumpaan
Penerbit Mizan pada kurun 2004 menerjemahkan sebua karya garapan John F. Haugt yang telah diterbitkan di New York pada 1995, Perjumpaan Sains dan Agama: Dari Konflik Ke Dialog. Buku diadirkan dengan menerapkan cara pendang pendekatan terhadap bahasan terdiri dari: konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi. Cara itu menjadi tawaran Haught untuk mengajak para pembaca dalam memahami hal terkait sains dan agama secara menyeluruh.
Di Majalah Al-Jami’ah edisi No. 12 Tahun 1976 menerbitkan satu tema khusus berupa Metodologi Penelitian Agama. Majalah yang diterbitkan oleh IAIN Sunan Kalijaga tersebut tahu dan paham, bagaimana riset mengenai agama penting dan perlu hingga kemudian berimplikasi pada wacana perkembangan ilmu pengetahuan. Kita menemukan salah satu hal yang ditekankan, berupa:
“Oleh karena itu dunia kita dewasa ini sangat merindukan perkembangan nilai-nilai keagamaan dan kerohanian untuk mengimbangi kemajuan tehnologi dan untuk mendewasakan mentalitas umat manusia. Dan jalan menuju cita-cita ini adalah perkembangan dan kegiatan penelitian agama atau riset agama. Karena hanya dengan kegiatan penelitian atau riset agama maka pemikiran dan pengalaman agama bisa dikembangkan pula.
Berdialog dan Bertindak
Munculnya rasa kekhawatiran maupun kecemasan atas hal yang tak diinginkan menjadi sebuah titik dalam pengarusutamaan dialog. Isu yang terus santer kaitannya dengan itu misalkan persoalan krisis iklim, ancaman superioritas kecerdasan buatan, hingga teknologi yang bisa berpengaruh buruk bagi jiwa maupun fisik manusia. Agama kemudian menjadi landasan moral untuk menyeimbangkan.
Terhadap krisis iklim misalkan, saya mengamati kehadiran Islam dan Katolik dalam beberapa referensi yang menunjukkan keterbukaan untuk terus mendialogkan ilmu pengetahuan hingga kemudian memberikan sikap. Di Islam, tepat pada Agustus 2015 dihelat Deklarasi Islam untuk Perubaan Iklim Global yang melibatkan cendekiawan, praktisi, organisasi kemasyaratan, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pemerintah.
Fachruddin M. Mangunjaya (2021) misalkan mencatat bahwa deklarasi tersebut berupaya menggerakkan kaum muslim seluruh dunia gna memperlambat laju dan mengurangi perubahan iklim (mitigasi) serta melakukan adaptasi. Dengan artian, ada perumusan secara aspek teoretis bagaimana melihat krisis iklim dari tinjauan agama Islam maupun segi ilmu pengetahuan. Ada titik temu berupa hadirnya tindakan yang perlu dilakukan.
Sementara itu, dalam Katolik, kita paham tentang Laudato Si’ yang digagas oleh Paus Fransiscus dan disampaikan kepada publik sejak Juni 2015. Gagasan itu hampir sama, hanya saja dalam konteks agama Katolik. Kehidupan beragama dijadikan sebagai hal yang mesti dikontekstualkan terhadap realitas yang terjadi. Terlebih dalam konteks tersebut, otoritas pemuka agama sangatlah berpengaruh pada basis masa yang ada.
Seiring perjalanan zaman, kiranya masalah maupun tantangan yang muncul semakin banyak dan beragam. Dalam konteks kemajuan zaman, manusia tidak bisa hanya menyandarkan pada progresivitas ilmu pengetahuan. Ia mesti butuh tumpuan atas nilai dari agamanya. Pun sebaliknya, tidak bisa hanya memahami keberadaan agama tanpa melibatkan tafsir zaman. Ia mesti membuka diri terhadap perkembangan dalam ilmu pengetahuan.
Tak salah ketika kita mengingat kembali tulisan Soedjatmoko, Perubahan dalam Dialog antara Ilmu dan Agama (1975). Tulisan dibuat sebagai tanggapan dari sebuah diskusi yang mengadirkan dua tokoh pada zaman itu: Harun Nasoetion dan Taufik Abdullah. Banyak hal ia sampaikan, salah satunya adalah berkaitan upaya menghindari jurang pemisah antara dua kelompok yang mengarah pada agama dan ilmu pengetahuan, sebagaimana dikatakan:
“Jangan sampai ada pemisahan antara golongan yang memikirkan dan memperkembangkan kehidupan moral dan golongan ilmu pengetahuan; antara golongan intelektual tradisional dan golongan intelektual modern. Maka perlu sekali diusahakan kerjasama yang erat serta peningkatan komunikasi antara semua golongan intelektual ini.”[]