Orang-orang pada 28 Oktober lalu memperingati peringatan Sumpah Pemuda yang ke-94. Media baik cetak maupun elektronik menyajikan sajian khusus berhubungan dengannnya. Konon, salah satu hal yang perlu disinggung saat berbicara bahasa Indonesia. Ia sebagai salah satu kesepakatan sebagai kesadaran akan bahasa persatuan. Kita ingat Orde Baru, bulan Oktober kemudian disahkan secara kepentingan politik nasional sebagai bulan bahasa.
Di abad XXI, bahasa Indonesia terus menarik untuk dibahas dan dikaji. Keberadaannya juga tak luput dari masalah seiring perkembangan zaman. Pada bulan Agustus lalu terdapat momentum Ejaan yang Disempurnakan (EyD) edisi kelima diresmikan pemerintah. Sejak saat itu pula, kita diajak mengingat kembali akan bahasa Indonesia. Di mata tafsir, bahasa terus berubah. Tak sedikit orang mudah berdebat.
Kita kemudian malah teringat tulisan pendek dalam kolom bahasa Harian Kompas (18/10/2022) garapan Liek Wilardjo. Liek menulis “Ihwal Istilah”. Ia masih pamrih berurusan dengan bahasa Indonesia, terkhusus adalah dalam perangai ilmu dan pengetahuan. Di dalam tulisan itu setidaknya kita mendapatkan dua hal penting. Pertama berhubungan dengan istilah “ilmu pengetahuan”. Bahwa ilmu pengetahuan sebagai kata memiliki arti yang keliru.
Penjelasan Liek terbaca: “Yang benar seharusnya pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Ilmu ialah pengetahuan ilmiah (science is scientific knowledge). Memang, ”definisi” ini terkesan tautologis, tetapi strukturnya betul.” Penjelasan membawa kita menelusur penggunaan “ilmu pengetahuan” dalam sejarah. Agaknya penting saat mendudukkan kepentingan negara dalam pembuatan istilah.
Setidaknya, jutaan manusia Indonesia memiliki ingatan saat sekolah dengan penamaan mata pelajaran: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pengistilahan itu kemudian menjadi lumrah saat istilah yang populer dikenal ilmu dan pengetahuan sebagai sebuah kesatuan kata, padahal secara kata maknanya berbeda. Mafhum, Liek kemudian melanjutkan tulisannnya dalam kalimat:
“Akronim iptek dapat tetap kita pakai asalkan ip-nya bukan ilmu pengetahuan, melainkan ilmu, pengetahuan. Jadi, iptek ialah akronim untuk ilmu, pengetahuan, dan teknologi (science, knowledge, and technology). Keterangan penting mengesahkan diri untuk memikirkan bahasa Indonesia dalam konteks bahasa keilmuan. Bahasa Indonesia bukan sebatas sejarah ketundukan pada baku dan tidak baku, namun berhubungan pula dengan adaptasi akan istilah-istilah di dalam keilmuan.
Kita kemudian iseng membuka buku Sejarah dan Perkembangan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1984) susunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah tulisan penting garapan Samsuri dengan judul “Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” patut disimak, Para pembaca mendapat penjelasan akan pentingnya memikirkan istilah dalam keilmuan bagi ranah perguruan tinggi.
Samsuri menulis: “Lebih penting lagi daripada penciptaan istilah-istilah itu ialah penyebarannya agar dipakai oleh ilmuwan dan dosen bidang yang bersangkutan, sebab kita dapat menciptakan beribu-ribu istilah, tetapi tanpa pemakaiannya, usaha itu akan mubazir belaka.” Penjelasan itu membawa pada perhatian akan poin kedua dari tulisan Liek Wilardjo. Ia mengetengahkan akan kesejarahan istilah “laser” dalam bahasa Indonesia.
Ungkap Liek: “Laser, misalnya, ialah istilah fisika dalam bahasa Inggris. Semula kata tunggal itu akronim yang terbentuk oleh lima (atau tujuh) kata, yakni light amplification by stimulated emission of radiation (penguat cahaya dengan pemancaran sinar terangsang).” Penjelasan mengungkap kesejarahan “laser” dalam persebarannya di Indonesia. Namun, satu hal penting yang perlu diingat istilah “laser” itu sangat populer di kalangan anak-anak dengan hadirnya alat mainan yang memancarkan cahaya warna.
Di beberapa majalah ternama yang mengusung diskursus sains dan teknologi, kita agak kecewa karena pemerian istilah “laser” diserap begitu saja sebagai hasil singkatan. Kita buka Majalah Mekatronika. Majalah dengan kepunyaan slogan: Majalah Sains, Teknologi Populer, Hobby itu menjadi penanda penting media cetak yang mengantarkan sains populer pada 1980-an. Di edisi No. 5 Tahun 1983 kita menemukan artikel berjudul “Senjata Laser Sinar X”.
Di artikel tersebut pembaca mendapat keterangan: “Sinar laser yang pertama didapatkan sebagai radiasi gelombang yang relatif panjang, terutama pada panjang gelombang sinar infra merah dan ujung sinar merah dari spectrum cahaya tampak.” Keterangan mengesahkan bahwa kata “laser” telah tergunakan lama dalam konteks bahasa Indonesia dari media yang memiliki arus utama ilmu dan teknologi.
Kita ingin mencari pembuktian lagi. Bukti terbaca hasil terjemahan bahasa Jerman. Buku berjudul Bagaimana Cara Bekerjanya: Alat Teknik Modern dalam Kehidupan Sehari-hari (1990). Di buku terbaca keterangan: “Yang disebut laser (singkatan dari bahasa Inggris: Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation = penguat sinar dengan pemancaran yang dirangsang) adalah peralatan untuk menghasilkan dan memperkuat sinar yang dapat dilihat yang sangat monokromatis lagi koheren (mengumpul menjadi satu).”
Penjelasan lebih nampak ilmiah dan berbobot keilmuan. Kita terus diajak berpikir mengenai “laser”. Kita menduga kata “laser” tak terdefinisikan secara keilmuan dalam bahasa Indonesia pelumrahan penggunaan istilah “asing” terjaring dari beberapa kalangan—media, ilmuwan, hingga dunia perguruan tinggi. Kita hanya membatin: yang “asing” memang asyik, meski kita masih mendapati pertanyaan akan konteks keilmuan dalam bahasa Indonesia.[]