Sedang Membaca
Iklan dan Martabat
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Iklan dan Martabat

Whatsapp Image 2021 10 22 At 07.26.29

Arus perubahan dan perkembangan zaman dengan salah satunya ditandai pada kemajuan teknologi informasi menjadikan apa yang dihadapi oleh manusia bukan satu atau dua hal saja. Namun, melainkan dari itu sederet pilihan dalam sebuah kenyataan dari zaman. Orang-orang menaruh perhatian terhadap perkembangan teknologi tentu dilandasi dengan adanya motif.

Baik itu untuk komunikasi, akses informasi dan pengetahuan, urusan bisnis, pekerjaan, hingga pada ranah hiburan. Situasi itu membuat manusia jarang berpeluang sama dalam pilihan demi pilihan akan singgungan dengan teknologi informasi.

Di hadapan itu, kita mafhum berjumpa dengan berbagai wujud akan keberadaan iklan. Dahulu, iklan hanya sebatas pada koran, majalah, hingga televisi. Kini, iklan-iklan hampir tiap waktu menyelinap tanpa permisi dalam interaksi orang di ruang digital dalam penggunaan gawai. Orang-orang terkadang mudah kesal dan naik pitam saat menonton sebuah video di Youtube kemudian muncul iklan. Pilihannya kalau tidak melewatkan iklan tersebut atau berlangganan layanan berbayar yang salah satu keuntungannya tidak ada iklannya.

Pada pranala demi pranala baik saat mengakses berita, mencari sesuatu, hingga membaca pengetahuan secara dalam jaringan, iklan kerap hadir dan muncul secara tiba-tiba. Lebih menjengkelkan adalah saat iklan yang sebenarnya tidak kita cari dan inginkan mlaah memenuhi halaman sebuah situs yang sedang kita akses. Kita kemudian memiliki banyak ingatan demi ingatan akan perkara iklan. Bagaimana iklan bekerja dalam keseharian kita dan transformasi perubahan yang dilakukan oleh para pengiklan itu sendiri.

Secara sederhana, iklan memiliki pengertian sebagai ajang promosi. Pada kenyatannya ia tak akan terlepas dari kepentingan ekonomi. Ini memberikan arti akan barang maupun jasa yang kita gunakan itu bukan cuma-cuma atau gratisan. Ada kelompok tertentu yang berperan dalam membaca situasi dan berbagi pengaruh kepada banyak orang agar terpengaruh pada berbagai jenis produk maupun jasa dari nama-nama perusahaan tertentu. Iklan hadir bukan sebatas pada gambar semata, kini telah bertransformasi pada kemasan audio-visual. Iklan merepresentasikan akan daur produksi-distribusi-konsumsi.

Baca juga:  Di Antara Jokowi dan Probowo, Siapa yang Berani Bangun Hubungan Diplomatik dengan Israel?

Teringat sebuah warta berjudul Iklan, Awas Rayuan Konsumerisme dalam Majalah Panji Masyarakat No. 659, 11-20 September 1990. Kita mendapati pengetahuan tak sebatas perihal keberadaan iklan. Namun, melainkan dari itu bagaimana dampak yang kemudian dimunculkan atas hadirnya. Ada kekhawatiran hadir saat iklan dipahami sebagai ajang promosi semata. Ia akan menjadi bujuk rayu banyak orang terhadap sebuah komoditas yang diperdagangkan. Situasi itu misalkan tergambar dalam kalimat di warta tersebut:

“Gencarnya promosi tentu saja dapat merangsang semangat konsumerisme masyarakat. Masih untung kalau masyarakat yang menjadi sasarannya mempunyai daya beli yang tinggi. Namun, bagaimana dengan kelompok masyarakat yang tidak mampu? Mengingat bahwa iklan atau promosi sebuah produk saat ini begitu luas penyebarannya. Baik melalui media elektronika, surat kabar atau majalah.”

Dengan demikian, kita paham bahwa iklan bertujuan pada satu hal, tiada lain adalah memberikan pengaruh dengan bujuk rayu dari narasi maupun cerita yang dikemas, ilustrasi sebuah produk, hingga pesan-pesan dalam percakapan di dalam iklan. Apakah sebuah barang maupun jasa itu benar dibutuhkan oleh kelompok orang itu adalah urusan di belakang.

Tujuan iklan adalah orang-orang bergairah membeli  barang maupun jasa yang tersampaikan dalam iklan itu. Tak ayal, bagian kecerdasan dari para pembuat iklan, kemudian melibatkan kalangan publik dalam jejak pendapat untuk mengetahui jenis iklan berpengaruh dan menjadi ingatan.

Baca juga:  Ulama Adil dan Ulama Fasik

Di Majalah Tempo edisi 22 Mei 1993, kita menemukan warta berjudul Mencari Sepuluh Pesona Iklan. Mulanya kita akan mendapatkan informasi atas keterlibatan jejak pendapat kalangan publik sebagai bagian sayembara yang dilakukan oleh Citra Adhi Pariwara berupa sepuluh daftar iklan terbaik pada masa itu, sebagaimana tertulis dalam kalimat di warta tersebut:

“Iklan korporasi Bentoel International unggul karena dipilih 138.727 pemirsa. Iklan tapal gigi Close Up masuk peringkat kedua, dipilih 100.715 pemirsa. Urutan selanjutnya: iklan obat batuk Komix (83.641 pemirsa), iklan obat Promag (81.712), iklan sampo Dimension (70.323), iklan korporasi Marlboro (38.110), iklan obat nyamuk Baygon (33.901), iklan mi Indomie (32.311), iklan sirup Nutrisia (30.421), dan iklan pesawat televisi Digitec (28.510).

Sampailah kemudian kita memahami bahwa ternyata di balik pertanyaan kenapa kalangan publik dilibatkan dalam penilaian sebuah iklan. Ternyata, di balik antusias publik terhadap beberapa jenis iklan, ada motivasi yang muncul dalam benak kepala publik. Kita mendapati penjelasan dalam warta itu misalnya dalam kalimat ini: “Dari riset motivasi itu terungkap, misalnya bahwa masyarakat menggosok gigi bukan untuk menjaga kesehatan gigi, tapi juga untuk menjaga penampilan gigi dalam pergaulan. Sejak itu, iklan tapal gigi tidak lagi mengetengahkan perlunya menjaga kesehatan, tapi menjanjikan tampilnya ‘senyum cemerlang’.”

Di kasus lain terbaca sebuah kalimat dalam warta itu: “Dan pada kenyataannya riset motivasi dan studi psikologi lainnya memang efektif dalam membujuk konsumen. Para ibu rumah tangga membeli bahan pencuci bukan karena ingin mencuci lebih bersih, tapi karena ingin dihargai suami seperti janji yang disodorkan iklan”. Kita paham, iklan menjadi sebuah komoditas berujung pada masalah atas kekeliruan pemakaannya di kalangan publik. Keberadannya mengisahkan pada derajat martabat orang. Tentu saja, pemroduk iklan dalam silih waktu berganti terus punya cara dan strategi dalam urusan pengemasan.

Baca juga:  Tuan Guru dan Penanaman Sistem Nilai Melalui Pondok Pesantren

Teringat oleh kita semua dalam beberapa waktu terakhir sebuah masalah dalam ruang publik terkait perkara iklan. Sebuah perusahaan dengan beraninya menggunakan mama produk perusahaan lain. Kendati disajikan dengan menggunakan padanan lain, namun strategi pengemasan iklan terkesan mengolok-olok itu tetap terasa. Di hari ini, bisa saja peristiwa itu menggambarkan akan transformasi iklan merujuk pada pengembalian ingatan akan pentingnya etika. Hal itu setidaknya pernah juga dituliskan Putu Setia dalam esai berjudul Iklan (Tempo, 1 Juni 2008):

“Iklan yang menunjukkan kelemahan pemimpin lain, menjelekkan pemimpin yang ada, seolah-olah dirinya lebih pintar. Ini iklan memamerkan kesombongan, jumawa kata orang kampung. Pemimpin sejati tak akan menjelekkan lawannya untuk menunjukkan diri lebih baik. Pemimpin sejati memuji kehebatan lawannya seraya menyebutkan dirinya bisa lebih hebat lagi”.

Kita juga mendapatkan penjelasan akan pentingnya etika dalam iklan dari benny H. Hoed dalam bukunya, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Komunitas Bambu, 2008). Tulisnya, etik, dalam bidang seperti periklanan, jelas sangat penting. Etik bersumber pada hati nurani pemesan (produsen) dan pemroduksi iklan, yakni penjual barang atau jasa dan perangkat biro iklan. Barangkali mungkin begitu dinamika yang harus kita hadapi bersama zaman ini. Dengan berbagai macam terhampar di realitas, orang-orang tak banyak berpikir arti dari sikap dan tindakan yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Banyak dari kita terkesan sembrono dan menyepelakan banyak hal.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top