Hal yang hilang dari pembahasan maupun perdebatan terhadap zaman ini harus dikata adalah kecenderungan berkomentar lebih tinggi, ketimbang berpikir. Teknologi komunikasi yang bergerak cepat itu secara langsung menjadikan para pengguna melewatkan proses pertimbangan maupun refleksi secara mendalam. Alih-alih kemudian muncul kemauan sikap ilmiah, yang ada adalah friksi saling menyalahkan antara satu dengan lainnya.
Perkara gula mungkin jadi satu hal yang mewujud algoritma media sosial di beberapa hari terakhir. Kita tahu gula terus perlu dan penting dibahas dalam situasi dan kondisi apa saja. Ia berhubungan dengan keseharian manusia, khususnya adalah berkaitan dengan makan. Babak demi babak makan menghamparkan kisah yang menjadikan perhatian terhadap keberadaannya tidak bisa diremehkan.
Para pembaca Majalah Intisari mungkin terpana tatkala dalam edisi demi edisi tidak sedikit akan terpukau dengan sajian tulisan berhubungan dengan makanan dan seluk beluknya. Hal menarik mungkin perlu disampaikan adalah saat di mana majalah tersebut menyajikan rubrik “Adakah yang Ingin Anda Ketahui?”. Rubrik yang menjembatani para pembaca dengan pertanyaan kepada majalah yang kemudian dijawab oleh para ahli.
Di sana Karlina Supelli, yang kemudian orang mengenal sebagai ahli astronomi dan filsafat mengisi sekian edisi. Di Majalah Intisari edisi September 1985, kita menyimak rubrik tersebut, ketika itu masih diasuh oleh Karlina—yang masih terlalu muda. Empat tahun selepas lulus dari astronomi ITB dan menasbihkannya sebagai salah satu ahli astronomi perempuan pertama Indonesia.
Di rubrik itu terdapat beberapa pertanyaan. Di antaranya datang dari Tony, Bandung berupa: “Apa sebabnya makanan manis membuat kita cepat kenyang? Permen atau gula merah menyebabkan rasa menusuk pada gigi berlubang, mengapa?”. Pertanyaan sekilas sederhana, namun di balik itu memuat gairah ilmiah di dalam memahami makanan. Karlina memberikan sebuah jawaban berupa:
“Makanan manis membuat kita cepat kenyang, karena gula yang terkandung dalam makanan itu merupakan karbohidrat yang nilai kalorinya tnggi. Permen atau gula merah menyebabkan rasa menususk pada gigi berlubang aena di dalam mulut gula segera difermentasikan oleh bakteri, sehingga menghasilkan asam.”
Keterangan mengisahkan keberadaan gula. Hal itu pula yang kemudian menggerakkan tangan membuka Majalah National Gegographic edisi Agustus 2013. Oh, edisi itu majalah sengaja membawa tema gula dengan judul “Gila Gula: Mengapa Sulit Menolaknya?”. Di dalamnya memuat tulisan penting dan panjang dari Rich Cohen yang benuansa sejarah bernada ilmiah.
Sebagai sebuah sejarah, rupa-rupanya gula bergerak dari benua ke benua. Konon, di daatan Asia gula masuk pada tahun 1.000 SM. Gula memiliki keterkaitan dengan sejarah peradaban Islam. Babak itu mulanya sejak Perisa mengenal gula pada 600 M. Tulis Cohen: “Ketika Pasukan Arab menaklukan wilayah tersebut, mereka membawa pengetahuan dan kecintaan pada gula. Gula pun muncul pada setiap tempat-tempat ibadah.”
Fakta itu kemudian ditegaskan oleh Cohen bahwa penyebaran gula seiring dengan penyebaran agama Islam sebagaimana ia juga mengutip Sidney Mintz dalam bukunya, Sweetness and Power. Kita kemudian juga kaget bahwa gula melibatkan perang dalam sejarah orang Eropa. Penjelasan Cohen: “Mungkin orang Eropa pertama yang jatuh cinta pada gula adalah tentara perang salib Inggris dan Prancis yang pergi ke timur untuk merebut Tanah Suci dari musuhnya.”
Kita kemudian diajak berpikir ilmiah akan bagaimana pengaruh gula terhadap manusia. Penjelasan terdapatkan: “…suntikan gula ke dalam aliran darah merangsang pusat kesenangan otak, mirip respons tubuh terhadap heroin dan kokain. Semua makanan lezat melakukan hal itu sampai batas tertentu—itulah sebabnya terasa lezat!—namun, gula memiliki efek yang sangat tajam. Gula boleh dikatakan membuat kita ketagihan”.
Banyak orang bisa saja kelewat tak menghiruakan perhatian secara aspek kesehatan. Gula adalah satu barang yang bila dikonsumsi secara berlebihan akan melahirkan masalah. Masalah erat kaitannya dengan penyakit. Abad XXI bisa jadi perkara itu sangatlah terbuka, apalagi ditopang dengan pola pemahaman informasi yang sepotong-potong. Banyak orang kelewat fanatik dengan perdebatan tak bertuan, namun kehilangan esensi akan pencarian makna ilmu pengetahuan.
Dari sana kita malah diingatkan dengan masa depan anak-anak. Dalam hiruk pikuk dunia produksi makan dan minum, persebaran informasi, bujukan iklan, dan tawaran kemasan, anak-anak adalah kelompok yang rentan mendapati beragam produk jenis makanan dan minuman yang kalau ditaksir kandungan gulanya begitu banyak. Keluarga yang tak menjadikan rumah sebagai medan perjuangan ilmu makanan akan sangatlah fatal dan berbahaya.
Fakta itu pula menjadi perhatian di dalam buku Rahasia Kecerdasan Anak: Memaksimalkan Perkembangan Otak (Kompas, 2010). Buku itu merupakan hasil revisi dari buku Sehat Pangkal Cerdas yang terbit pada 2001. Para pembaca disuguhkan berbagai tulisan dengan masing-masing perspektifnya dari sekian nama yang terlibat. Di sana tertemukan sebuah tulisan Gula bagi Anak Bisa Membawa Maut. Tulisan bernada ketakutan dari Audrey Luize, dokter alumni Univeritas Airlangga.
Para pembaca diajak waspada dan berpikir ilmiah. Penjelasan ditulis: “Anak yang makan gula berlebihan, dua jam berikutnya indeks sel darah putihnya menurun drastis sampai ke tingkat sangat rendah. Selain itu, dengan makin meningkatnya konsumsi gula, sel darah putih (fagosit) menjadi kurang aktif. Itu berarti, gula sangat membahayakan sistem kekebalan tubuh”. Kita diingatkan bahwa manisnya gula tak selamanya membahagiakan.[]