Rusia dan Ukraina menjadi sorotan dalam banyak ruang di beberapa hari terakhir. Salah satunya adalah serangan dilakukan oleh Rusia kepada Ukraina yang kemudian mengundang banyak pihak memberikan sikap. Sebab, tak dapat ditampik serangan tersebut memakan sejumlah korban dan berpeluang untuk bertambah lagi. Dari segi kemanusiaan, tindakan tersebut tentu tak dapat dibenarkan. Perang dan segala bentuk kejahatan yang mengancam kemanusiaan harus dihentikan.
Kendati itu, harus diakui bahwa konflik yang terjadi tak mudah selesai seperti terbayangkan. Di Harian Kompas (25/02/2022) memuat berita utama berjudul Serangan Rusia Tandai Babak yang Gelap di Eropa. Sebuah penjelasan tersampaikan: “Serangan Rusia ke Ukraina digambarkan sebagai serangan terbesar oleh satu negara ke negara lain di Eropa sejak Perang Dunia II. Pecahnya konflik terbuka ini menjadi kulminasi konflik antara Rusia dan negara-negara Barat, yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dengan menyeret Ukraina.”
Penjelasan tersebut mengingatkan kita pada sejarah kelam masa lalu dampak terjadinya perang. Perang Dunia pertama dan kedua mengisahkan banyak catatan dalam berbagai hubungan, baik itu ideologi, politik, militer, ekonomi, hingga ilmu pengetahuan dan teknologi. Puncaknya pada momentum Perang Dunia II, satu fakta penting terjadi adalah lahirnya kompromi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kepentingan militer dan politik. Satu hal menonjol adalah beberapa negara berupaya untuk memanfaatkan energi nuklir untuk keperluan pembuatan senjata.
Gerry van Klinken melalui bukunya, Revolusi Fisika: Dari Alam Gaib ke Alam Nyata (Gramedia, 2005) menyebutkan; “Dalam Perang Dunia II, para ilmuwan untuk pertama kalinya terjun dalam peperangan. Mereka mengusulkan, merancang persenjataan mutakhir, dan memperlihatkan cara pemakaiannya. Contoh yang paling terkenal adalah bom atom, tapi radar (radio detection and ranging) mungkin lebih penting lagi, terutama dalam pertempuran di udara.”
Pernyataan itu membuka kesadaran kembali akan ilmu pengetahuan dan teknologi resisten akan kepentingan. Menjadi berbahaya ketika temuan yang dihadirkan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi digunakan sebagai perangkat yang merugikan banyak orang. Ukraina maupun Rusia punya sejarah panjang dalam perhatian pengembangan energi nuklir. Di Tahun 1986, Ukraina belum lahir sebagai negara tersendiri. Ia masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Tepat pada 28 April 1986, kecelakaan reaktor nuklir terjadi di Chernobyl (yang kemudian menjadi bagian dari Ukraina).
Di Majalah Tempo edisi 10 Mei 1986, sebuah liputan berjudul Chernobyl Ternyata Pabrik Bom? menarik untuk dijadikan sarana menelisik apa yang terjadi pada masa lalu. Di kecelakaan yang memakan korban akibat radiasi tersebut, banyak spekulasi maupun dugaan muncul. Salah satunya adalah di luar keperluan pembangkit listrik, di sana ada kepentingan oleh negara dalam melakukan produksi senjata. Penjelasan itu misalkan saja tersebutkan:
“Seorang bekas pejabat tinggi IAEA (perhimpunan tenaga atom internasional, yang merupakan organ PBB) yang tak mau disebut namanya membenarkan, IAEA tahu bahwa Chernobyl, selain reaktor daya, juga memproduksi plutonium. Uni Soviet, menurut pejabat itu, ikut mendirikan IAEA, dan sebagai konsekuensinya “mendaftarkan” reaktor-reaktornya. “Tapi, untuk Chernobyl itu pada kenyataannya di luar pengawasan IAEA,” katanya. Karena faktor-faktor militer, baik Uni Soviet maupun Amerika Serikat berusaha “menggelapkan” reaktor-reaktor yang memproduksi senjatanya.”
Kita sedikit beralih pada analisis terkait dengan kepentingan negara dalam bom atom. Sebuah buku garapan Bertrand Russel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Akal Sehat dan Ancaman Nuklir diterbitkan oleh Ikon Teralitera pada 2002 menggugah kesadaran untuk lebih dalam memahaminya. Buku itu berjudul asli Common Sense and Nuclear Walfare pertama kali diterbitkan pada tahun 1959. Russel menuliskan itu tak terlepas bagaimana situasi Perang Dingin setelah berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.
Selain menganalisis, ia dalam beberapa bagian menawarkan sebuah jalan tengah dalam pembacaan gejolak yang terjadi. Seperti saat ia menulis: “Berdasarkan tiga proposal di atas, bila kita ingin terhindar dari bencana besar, kita harus mencari cara untuk menghindari semua perang, apakah itu besar atau kecil dan apakah perang nuklir atau bukan.” Proposal yang dimaksudkan adalah beberapa poin yang distuliskan, masing-masing:
- Perang nuklir skala besar akan menjadi bencana besar, bukan hanya bagi yang terlibat perang tapi juga pada umat manusia dan tidak akan menghasilkan apa pun bagi manusia yang berakal sehat.
- Jika perang kecil terjadi, terdapat risiko akan berkembang menjadi perang besar: dan berdasarkan banyak kasus perkembangan seperti itu sudah bisa dipastikan.
- Jika semua senjata nuklir yang ada sudah dihancurkan dan ada perjanjian untuk tidak membuat yang baru, maka perang besar akan menjadi perang nuklir segera setelah pihak-pihak yang berperang mempunyai waktu untuk membuat senjata yang dilarang.
Banyak orang kemudian mudah mendapati ingatan sama tatkala mendengar nuklir. Aapalagi dalam situasi gejolak antara beberapa negara. Nuklir menjadi sebuah konotasi yang termaknai negatif. Bahwa ia berkaitan dengan senjata pemusnah massal berupa bom atom. Lebih lagi, nuklir termaknai menyimpan ancaman dengan radiasi yang dihasilkan. Sejarah panjang hubungan energi nuklir dengan perang telah membentuk peradaban masyarakat luas. Kini, akankah situasi konflik antara Rusia dengan Ukraina sedang terjadi akan menambah daftar panjang itu?