Sedang Membaca
Berfilsafat dengan Cara Sederhana
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Berfilsafat dengan Cara Sederhana

Sampul Buku Filsafat Untuk Pemalas

Ada sebuah esai menarik yang dihimpun seorang begawan filsafat Indonesia, Jujun S. Suriasumantri dalam bunga rampai berjudul Ilmu dalam Perspektif (1978). Esai itu garapan Gilbert Highet dengan judul “Pikiran Manusia yang Tak Tertundukkan”. Di sana Gilbert memberikan sebuah uraian akan tantangan perjalanan pikiran manusia. Sebutnya, ada dua bahaya yang dihadapi dalam kehidupan spiritual manusia. Di satu sisi adalah kemalasan, di sisi lain berupa tirani.

Cara baca kemalasan penting dan terlebih kemudian kita berhadapan sebuah buku garapan Ach Dhofir Zuhry, cendekiawan Nahdalatul Ulama yang mengelola dan mengasuh Sekolah Tinggi Filsafat Al Farabi di Kepanjen, Kabuaten Malang. Dhofir menggunakan lema “malas” sejak halaman sampul buku. Ia memberikan jembatan yang menghubungkan antara filsafat dengan kemalasan. Buku memuat kumpulan tulisan reflektif terhadap banyak fenomena dalam kehidupan.

Hari demi hari menjadi amatan Dhofir yang terjadi pada kehidupan digital, kebudayaan massa, peristiwa politik, kehidupan beragama, dan situasi pascakebenaran. Dhofir memberikan tawaran dari sekian lanskap pemikiran filsafat. Terlebih, ia memiliki latar belakang studi filsafat. Oleh sebab itu, ia memberikan cara pandang bahwa filsafat bukan sebatas termaknai dalam ruang akademis, secara teoretis. Akan tetapi, filsafat perlu hadir sebagai laku dalam keseharian.

Di sebuah bagian tulisan, kita dapat keterangan: “Filsafat, secara diametral, berbeda dengan fakultas dan program studi filsafat. Filsafat tidak berjarak dengan kehidupan, ia adalah denyut kehidupan itu sendiri, filsafat mendetak-jantungi perubahan sosial, menjadi bahagian dari problem solving, secara praktis dan teoritis” (halaman 3). Keterangan penting untuk merefleksi filsafat.

Baca juga:  Resensi Buku: Mengenal Tokoh Legendaris Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir

Hal yang tak dapat dimungkiri adalah bahwasannya kenyataan yang masih sering terjadi, di kalangan publik, filsafat menjadi adiluhung dan sulit. Bahkan, kabar buruknya, di beberapa kelompok tertentu dengan kebodohan akut—malah mengampanyekan keberadaan filsafat sebagai sesuatu yang haram. Padahal, sederhananya, filsafat itu mencintai kebijaksanaan. Ia bagian kesadaran untuk memaknai manusia memiliki hakikat berpikir.

Oleh sebab itu, dalam penyajian yang dihadirkan pada tiap tulisan, dikemas dengan populer dan sederhana, namun tetap mendalam pada konteks yang hendak dimaksudkan. Dhofir juga mengetengahkan pentingnya dialog terhadap pembaca dalam setiap tulisan. Ini yang menjadikan pembaca tak merasa monoton. Teks demi teks yang terbaca membentuk makna baru yang dinamis.

Fungsi filsafat dalam konteks perubahan zaman perlu dipopulerkan diperankan oleh Dhofir. Hal yang sama pernah diutarakan filsuf perempuan dan kosmolog, Karlina Supelli melalui esai “Manusia dan Budaya Indonesia” dalam bunga rampai Filsafat [Di] Indonesia: Manusia dan Budaya Indonesia (2019) yang dieditori oleh A Setyo Wibowo. Di sana Karlina mengetengahkan satu hal: dalam konteks perkembangan Indonesia, filsafat perlu turun ke pasar.

Indonesia dengan keberagamannya menjadikan kita untuk terus menyadari bahwa salah satu tugas itu adalah merawatnya dengan sebisa mungkin. Indonesia adalah jejaring sejarah perjuangan dan visi panjang yang tak pernah selesai. Dhofir memberikan refleksi bahwa untuk menyadari pentingnya merawat Indonesia dengan tiga hal: Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, dan Sumber Daya Ideologi.

Baca juga:  Iqazhul Himam: Syarah Berbahasa Sunda atas Kitab al-Hikam (1941)

Rasanya penting memaknai posisi Sumber Daya Ideologi yang dimaksudkan sebagai posisi paling penting. Dhofir menulis: “…akan tetapi Nusantara kita ini juga memiliki Sumber Daya Ideologi (SDI), yakni Pancasila. Inilah yang bangsa-bangsa asing sangat cemburu kepada bangsa Indonesia. Kerukunan umat beragama, perbedaan suku, etnik, bahasa dan budaya dapat direkat sedemikian elok oleh Pancasila” (halaman 197).

Zaman digital yang ligat melesat. Pengaruh demi pengaruh terhadirkan kepada generasi milenial dan generasi Z. Dhofir melakukan amatan sembari menaruh kekhawatiran akan ragam penyakit yang mudah diidap. Ia mengisahkan dalam sekian tulisan dengan pembuatan istilah seperti tuna pustaka, cuti nalar, jahiliah stadium akhir, pemutlakan pendapat, hingga fanatisme yang fana. Ia menaruh bagaimana mentalitas dan spirit berilmu mudah menurun.

Untuk menuju ke sana, di sinilah pendekatan yang dilakukan dalam buku tersebut. Penggunaan sapaan seperti Sobat Rebahan dan Sobat Pemalas, menjadi upaya membangun dialog kepada para pembaca untuk mengerti dan menginsyafi akan gejala yang kita hadapi dan perlu disikapi. “Apa pun yang terjadi, perjuangan tertinggi manusia adalah memenangkan akal sehatnya dari kesia-siaan pola pikir yang kerdil dan pola sikap nan jumud” (halaman 222).

Hal yang tak kalah pentingnya adalah buku menekankan bahwa filsafat menjadi bagian keseharian. Dengan begitu, setiap orang bisa menjadi seorang filsuf. Cara sederhana itu memungkinkan kita menemukan permenungan bahwa untuk menuju ke sana perlu tindakan, kesadaran, dan perbuatan. Satu hal yang ditekankan adalah kemauan untuk literasi, bukan sebatas pada membaca dan menulis. Namun, sebagai kesatuhan utuh dalam menganalisis teks, menafsir, merekayasa tradisi ilmiah, dan membangun pola pikir untuk terus seimbang.

Baca juga:  Ihwal Tanya dan Jawab Ulama

Rasanya kita perlu mengingat dua buku yang berjudul Malas Tapi Sukses: Menggapai Apa Saja Tanpa Melakukan Apa-apa garapan Fred Gratzon dan Hak untuk Malas garapan Lafargue. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, masing-masing buku itu diterbitkan oleh Alvabet (2010) dan Jalasutra (2008). Malas menjadi diskursus menarik, yang sedemikian rupa menjadikan Dhofir menghadirkan buku ini.

Yang tersirat kemudian bahwa diksi “malas” maupun “rebahan” direkonstruksi atas pemahaman sebagaimana umumnya. Diksi itu menjadi bahasa keseharian yang perlu menjadi sebuah diskursus, sekalipun dalam telah filsafat. Akhirnya, wacana muncul sebagai percakapan panjang untuk bagaimana kita semua meletakkan pikiran kritis dan melakukan transformasi pada setiap perubahan yang terjadi. Sobat pemalas dan kaum rebahan perlu dilibatkan dalam hiruk-pikuk yang terjadi sebagai agen revolusi.[]

 

Judul              : Filsafat untuk Pemalas

Penulis           : Ach Dhofir Zuhry

Penerbit          : Elex Media Komputindo

Ukuran           : 14 cm x 21 cm; xii + 273  Halaman

Tahun Terbit  : Cetakan Pertama, September, 2023

ISBN              : 978-623-00-4988-0

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top