Kita mudah dibuat takjub dan kaget saat beberapa tokoh tertentu—kalangan intelektual maupun cendekiawan memberikan pengakuan dan ingatan akan masa kecilnya ketika ia telah dewasa. Ingatan itu terdiri dari keping-keping tindakan dan peristiwa yang menghubungkan antara satu dengan lainnya. Satu peristiwa itu pernah disampaikan oleh astronom perempuan dan filsuf Karlina Supelli ketika di siniar “End Game” bersama Gita Wirjawan yang tayang pada 23 Mei 2023.
Menjalani masa anak-anak itu berarti mengingat kebiasaan orangtua dalam pengasuhan, guru di sekolah, hingga teman bermain. Peristiwa demi peristiwa dikisahkan oleh Karlina. Ia memiliki minat membaca buku sejak kecil, tersebabkan ibunya memiliki kebiasaan menuturkan cerita maupun dongeng saat sebelum Karlina tidur. Tradisi lisan itu dengan sendirinya membentuk tubuh yang mau menghayati teks demi teks di kemudian hari.
Tak kalah menariknya adalah ingatan terhadap guru semasa sekolah menengah pertama. Ia menaruh kekaguman terhadap beberapa guru, salah satunya adalah kepada guru ilmu ukur atau matematika. Guru tersebut, di luar dugaan, justru memberikan teladan mengenai bacaan sastra. Inilah yang kemudian menjadikan Karlina sadar, proses tersebut menempatkan bidang kajian yang akhirnya digeluti—sains membutuhkan sastra sebagai penuntun imajinasi.
Kisah di atas mengajak kita mengerti bagaimana pola asuh orangtua dan peran guru di sekolah terhadap anak-anak. Mereka harus diakui adalah sosok yang mudah menirukan fenomena lingkungan sekitar—dari apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang ia hadapi. Tumbuh dan kembang seorang menjadi dewasa dengan pilihan hidup, seperti halnya menekuni sains, tidak bisa dilepaskan dari tahap demi tahap di masa kecilnya.
Keluarga dan Gagasan Berbuku
Ingatan konsep pengasuhan anak berhubungan dengan cerita dan membaca menempatkan sosok penting seorang pengkaji bacaan anak. Ia adalah Murti Bunanta, yang dengan ketekunannya terhadap literasi bacaan anak, bersama kawan-kawannya mendirikan Kelompok Pecinta Bacaan Anak (KPBA). Ruang itu menjadi sentrum di dalam kajian perkembangan bacaan anak, jejaring komunitas, hingga produksi teks terhadap anak dengan disesuaikan pada perkembangan zaman.
Gagasan-gagasan Murti Bunanta terdiri dari tulisan lepas untuk beberapa nama media cetak hingga bahan seminar dapat kita temukan di bunga rampai berjudul Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca (2008). Ia memberikan landasan mendasar: “Saat di mana anak mengembangkan imajinasi dan memperluas minatnya adalah ketika ia mendengarkan cerita. Dari cerita, anak belajar mengenal manusia dan kehidupan, serta dirinya sendiri.”
Peran orangtua dalam membentuk dan mengembangkan budaya terhadap buku menjadi penting dalam entitas keluarga. Ia menulis: “Peranan orang tua dalam memperkenalkan buku ada anak sedini mungkin merupakan hal yang mendasar. Menciptakan suasana gemar membaca dalam keluarga dengan cara banyak melibatkan aktivitas anak yang berhubungan dengan buku adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan minat baca anak.”
Pengaruh kebudayaan membaca diakui Murti Bunanta salah satunya lewat esai berjudul “Semasa Kecil Sampai Tujuh Puluh Tahun Kemudian” dalam buku Berkelana Lewat Buku: Kisah Tujuh Penulis (2021). Tulisan dibuat saat Murti Bunanta masuk usia 74 tahun. Ia berbagi ingatan, komitmen, dan ketekunan terkait relasi anak dan bacaan. Teks bacaan, cerita, dongeng, dan puisi menuntunnya menuju kedewasaan.
Ia juga dapat memberikan akan hakikat keberadaan bacaan anak. Tulisnya: “Bacaan anak yang baik dapat “mengajar” dan dinikmati semua orang, berapa pun usianya, tetapi tidak sebaliknya. Bacaan dewasa belum tentu cocok dan boleh dibaca anak. Sebagai seorang peneliti sastra anak, saya mencintai buku anak sebagai harta yang tak ternilai karena data menjadi bahan penelitian yang menarik tentang suatu bangsa.”
Kesadaran Era Kini
Di dalam menggeliatnya zaman digital, kita agaknya menghadapi penyempitan makna mengenai kesadaran berliterasi. Hal itu tentu tak terlepas dengan perubahan kebudayaan yang ada. Bisa jadi, orang merasa cakap literasi tatkala sebatas bisa menggunakan gawai. Padahal kepemilikan produk teknologi dan keterkaitannya dengan literasi, tidak terbatas pada penggunaan secara teknis, namun bagaimana memfungsikan untuk senantiasa melatih kemampuan berpikir kritis, imajinatif, dan berdaya kreatif.
Bagaimana langkah untuk menuju kesadaran berliterasi di tengah tantangan digital ini? Satu hal yang mendasar adalah keteladanan yang diberikan kepada anak. Ini tak terlepas akan bagaimana revolusi digital membuka kemungkinan perubahan konsep pengasuhan. Kita mafhum, dengan segala kemudahan, banyak pihak serta merta mendasarkan konsep tumbuh dan kembang dari anak dengan menyerahkannya kepada gawai.
Tidak ada salahnya memang, namun yang perlu diantisipasi adalah hilangnya keteladanan, kebiasaan, hingga pamrih secara mendalam mengenai buku bacaan. Membaca, dalam artian secara luas di abad XXI terus relevan dan penting. Dari peristiwa demi peristiwa menggamit buku, memperhatikan, menelaah isinya, dan memberi tafsiran menjadi sebuah proses panjang dalam penciptaan sebuah makna dalam kehidupan.
Ratih D. Adiputri (2023) memberi ungkapan yang menarik akan urgensi kebutuhan tersebut. Ia menegaskan dalam pernyataan: “…literasi itu dasarnya mengalokasikan waktu untuk membaca dan memahami isi bacaan, idealnya teks panjang, buku fiksi atau karya ilmiah lainnya. Bahkan nanti mampu menceritakan isinya dengan pemahaman tersendiri. Inilah literasi yang sesungguhnya.”
Kembali kepada peranan orangtua dan guru, maka untuk membentuk budaya literasi membutuhkan kesadaran dan berbagi peran dengan lainnya. Setidaknya yang perlu ditekankan adalah kemauan membersamai anak, bahwa ketertautannya terhadap bahan bacaan maupun cerita adalah aset berharga bagi anak untuk mengarungi masa depan. Hal itu tidak langsung memberikan dampak signifikan, namun membentuk kesatuan proses dalam jangka panjang hingga menemui masa dewasanya.[]