Sembilan pukulan terakhir itu memang menjadi pemicu keharuan nasional Indonesia. Semua sesenggukan. Mata berkaca-kaca. Tiba-tiba ada perasaan emosional yang sulit terbayangkan menggelegak dalam dada. Indonesia! Ada di antara kita menangis. Memekik. Bersorak. Dan air mata pun leleh…
Drama sembilan pukulan terakhir itu memang memicu air mata. Pukulan servis terakhir Jia Yifan pendek ke arah Apriyani Rahayu. Apri angkat lob. Chen Qingchen smes. Apriyani kembalikan dengan pukulan drive mendatar ke arah Chen Qingchen.
Chen lob lagi ke arah bidang belakang sisi Apriyani. Smes Apriyani kali ini menyilang. Dikembalikan backhand oleh si kidal Jia Yifan, menyilang. Dicegat Greysia Polii di depan net.
Smes! Tak bisa dikembalikan sempurna menyilang oleh Jia Yifan. Bola pun ke luar lapangan. Hakim garis yang duduk di belakang Apriyani merentangkan kedua tangan, pertanda: out!
Apriyani langsung menggeletakkan punggung ke karpet pertandingan. Ungkapan haru kemenangan. Sementara Greysia memekik, berjingkrak, menari ke kiri, ke kanan lapangan. Apakah semua itu lalu selesai? Ternyata masih belum.
Jia Yifan serta merta angkat tangan kanan. Tanda “challenge”. Minta wasit untuk memutar pengadil video – VAR, video assistant referee.
Pengadil komputer pun memutar tayangan pukulan terakhir Jia Yifan. Apakah in atau out? Dan ternyata layar komputer membenarkan. Out!
Pekik kemenangan kembali dilampiaskan Greysia Polii dengan memeluk Apriyani (23). Pelampiasan tulus Greysia pada pasangannya.
Pasangan terakhir, dari lima pasangan tetap Greysia (33) di lapangan dalam setidaknya 17 tahun terakhir. Thanks, Apri.
Pelukan demi pelukan kembali dilampiaskan Greysia pada Apriyani, yang di lapangan memang sering memaksa lawan untuk mengembalikan pukulan dengan tidak sempurna. Giliran Greysia menghabisi dengan sabetan mematikan, smes. Sebuah kerjasama manis.
Sportivitas
Drama sembilan pukulan terakhir di lapangan pertandingan Musashino Forest Park Tokyo hari Senin (2/7) itu memang memicu keharuan nasional. Mata jadi berkaca-kaca. Tumpah semua keharuan bahagia dalam air mata menggenang.
Greysia Polii dan Apriyani Rahayu menggelorakan semangat: Indonesia! Yang sudah lama tercabik-cabik oleh ulah culas, ulah plintir, niat politik miring, korupsi, umpatan dan saling caci. Bangsa terbelah. Rasa kebangsaan teriris. Nasionalisme sudah disampahkan.
Medali emas olimpiade yang diraih Greysia Polii/Apriyani Rahayu itu tiba-tiba menyulap kesedihan akibat pandemi yang menghujam rakyat Indonesia, menjadi kegembiraan menggelegak.
Kita semua tiba-tiba diingatkan akan sportivitas. Sebuah semangat akan harkat martabat ksatria yang sudah lama terkubur. Diangkat kembali melalui kemenangan Greysia dan Apriyani.
Sebuah semangat sportivitas yang sama sekali tidak mengandalkan ketidak jujuran. Atau ulah korupsi. Ulah mengelabui. Tipu-tipu, manipulasi.
Semangat olahraga, semangat sportif adalah menghargai capaian prestasi tanpa perlu memakai cara yang di luar kewajaran. Akan tetapi cukup dengan tindakan sportif – bahwa siapa yang lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat dialah yang menang. (Baron Pierre de Coubertin, 1906: Citius, Altius, Fortius).
“Olahraga mencerminkan karakteristik sifat manusia, berupa kemampuan untuk bekerja sama,” ungkap Fabrice Louis (The Essence of Sports: An Anthropological and Metaphysical Approach, 2019). Ini juga kata kunci yang lahir dari bertahun-tahun menggulati kegiatan sportif yang menghasilkan kemampuan bekerja sama.
Secara konseptual dan definisi esensialis tentang olahraga, Fabrice Louis berargumen bahwa ada dua konsep olahraga yang harus diperhatikan. Konsepsi sosio historis dan konsepsi realistis dan esensialis.
Dalam konsepsi sosio historis, olahraga dipahami sebagai seperangkat praktik fisik yang muncul, berkembang, menghilang, dan menemukan fungsi serta makna dalam konteks sosial tertentu.
Sedangkan konsepsi realistis dan esensialis, menurut Fabrice Louis, adalah berlatih olahraga terdiri dari keterlibatan yang intens, secara fisik dan emosional dalam kompetisi – yang dihasilkan dari tindakan bersama yang paradoks – membuahkan hasil yang unik.
Hasil unik, emas bulu tangkis ganda putri di Olimpiade Tokyo yang membuahkan keharuan nasional, pekikan kemenangan inipun buah dari hasil kerja keras kebersamaan bertahun-tahun Greysia Polii dan Apriyani Rahayu.
Dan prestasi tinggi Greysia/Apriyani di Tokyo Senin petang itu mengudak rasa nasionalisme kita yang pudar akhir-akhir ini.
Satu pelajaran lagi diangkat melalui sepak terjang gemilang Greysia/Apriyani ini. Bahwa untuk dihargai seluruh bangsa, disanjung rakyat, dan membangkitkan rasa kebanggaan akan capaian prestasi itu tidak perlu melalui jalan pintas. Tetapi melalui kerja keras bertahun-tahun, latihan bertahun-tahun setiap hari. Demi mencapai kemenangan.
Greysia dan Apriyani mengajarkan pada kita akan semangat sportivitas. Bahwa kemenangan gemilang itu bisa dicapai dengan jalan jujur.
Kerja keras. Dan bukan pakai jalan pintas upaya tipu-tipu. Atau tindakan manipulasi seakan-akan, seolah-olah, mendadak dangdut.
Kalau toh Greysia dan Apriyani mendadak populer di seantero negeri sepulang dari Tokyo, dan membuat haru bergenang air mata karena capaian prestasinya?
Itu tentu bukan karena upaya pintas, pasang baliho-baliho segede gaban tentang diri kita. Capaian kita. Biar cepat populer. Padahal semua baliho itu demi syahwat politik berkuasa, misalnya. Greysia dan Apriyani nggak pakai cara sedemikian.