Sedang Membaca
Dari Prestise Hingga Mistis: Motivasi Berhaji di Midden Celebes
Jefrianto
Penulis Kolom

Jurnalis. Tinggal di Tawaeli, Palu, Sulteng.

Dari Prestise Hingga Mistis: Motivasi Berhaji di Midden Celebes

Berbagai cerita hadir dari perjalanan menunaikan ibadah haji di masa lalu, yang dilakukan oleh orang-orang di Nusantara. Ahmad Fauzan Baihaqi, dalam Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (tahun 1911-1930) menjelaskan, aktivitas perjalanan haji dari nusantara, sangat tergantung aktifitas pelayaran bagi jamaah haji, untuk menumpang kapal-kapal menuju ke Pelabuhan Jeddah.

Untuk wilayah Sulawesi bagian tengah atau yang dikenal dengan sebutan Midden Celebes, juga terdapat berbagai kisah mengenai perjalanan mereka menunaikan ibadah haji. Ahli linguistik, Nicolaus Adriani bersama etnografer, Albert Christiaan Kruyt, dalam De Baree Sprekende Toradja’s van Midden Celebes yang terbit tahun 1914 menyebutkan, orang-orang di sebelah selatan Teluk Tomini seperti Parigi, Sausu, dan Tojo, pada akhir abad 19, belum terbiasa berhubungan dengan dunia luar, sehingga belum mampu mengatasi ketakutan tentang apa yang ada di luar wilayah mereka. Hal ini kata mereka, membuat masyarakat di wilayah tersebut, belum secara serius mempertimbangkan perjalanan ke Mekkah (baca: berhaji).

Keduanya menyebut, mayoritas orang yang telah menunaikan ibadah haji di selatan Teluk Tomini adalah orang Kaili, Bugis dan beberapa orang Gorontalo. Di Parigi, N. Adriani dan A.C. Kruyt hanya menemukan dua orang Parigi yang menyandang gelar haji. Situasi serupa agaknya juga terjadi di wilayah lain di Midden Celebes.

Keduanya menulis, hanya dalam beberapa tahun, nampak peningkatan animo di Tojo untuk pergi berziarah (baca: berhaji). Ketakutan akan perjalanan besar ke Mekkah (baca: berhaji), berkurang secara nyata, ketika beberapa orang Tojo melakukan ibadah haji pada tahun 1893/1894, dan kembali ke daerah mereka dalam keadaan makmur. Untuk meningkatkan prestise mereka, para jamaah haji yang kembali ini, berlomba menceritakan semua pengalaman tentang perjalanan mereka, namun tidak banyak yang terdorong untuk pergi mengikuti jejak mereka. Hal ini disebabkan oleh biaya yang besar, yang menyebabkan sebagian besar masyarakat di sana, belum dapat mengimplementasikan niat mereka untuk ikut berhaji.

Baca juga:  Pameran Foto dan Manuskrip Islam Nusantara di Belanda Jadi Refleksi Bersama

Pada masa itu, para jamaah haji wajib dibekali paspor haji dan harus membayar ongkos naik haji sebesar f110, berdasarkan Resolusi 1825, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Keduanya juga mencatat, pada tahun 1902, sebuah acara besar dilaksanakan oleh Raja Tojo yang akan pergi berhaji, tetapi kematiannya menghancurkan seluruh rencana tersebut.

Semua jamaah haji dan ulama yang melintas di wilayah Tojo, menggambarkan kemuliaan dari berhaji. Dorongan untuk berhaji, bahkan datang dari negeri yang jauh. Adriani dan Kruyt mencatat, pada tahun 1901, Raja Tojo menerima surat dari salah seorang Sayyid yang mengatakan, untuk memfasilitasi para jamaah haji, Sultan Istanbul telah membangun jalur kereta api ke Mekkah, sehingga raja tidak perlu lagi khawatir untuk pergi menunaikan ibadah haji.

Jalur kereta api ini sendiri dikenal dengan nama Hejaz Railway atau jalur kereta api Hijaz. Jalur kereta api ini adalah jalur kereta api yang dibangun pada masa pemerintahan Usmaniyah Turki, pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Jalur ini terbentang antara Damaskus (Suriah) –Amman (Yordania) sampai ke Madinah (Arab Saudi).

Adriani dan Kruyt menulis, bagi mereka yang cenderung religius, perjalanan berhaji merupakan hal yang sangat diinginkan, karena mereka percaya, hal itu akan memberi mereka pengampunan dosa. Hal lain yang menarik menurut keduanya, bagi orang Tojo, Parigi dan Sausu di masa itu, menunaikan ibadah haji dengan segala kesulitannya, lebih menarik untuk dilakukan, daripada ibadah lainnya yang sederhana, seperti doa harian. Namun menurut keduanya, pengampunan dosa, nyatanya bukanlah motivasi utama, mengapa banyak orang ini ingin pergi berhaji, jika mereka memiliki kemampuan untuk melakukannya. Motif utamanya adalah kemegahan Mekkah yang dinilai misterius, di mana Mekkah diselimuti oleh cerita-cerita misterius.

Baca juga:  Pesantren Era Mataram Islam

Mekkah dikatakan sebagai pusat bumi. Semua jiwa orang yang telah meninggal, dikatakan pergi ke Mekkah, dan ini adalah daya tarik misterius yang diberikan Mekkah. Di Mekkah, mereka yang menunaikan ibadah haji, dikatakan seringkali melihat penampakan ayah, ibu dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia. Di Baitullah, para roh orang yang telah meninggal dunia ini, dikatakan mendekati para jamaah haji yang menjadi keluarganya dan berjabatan tangan dengan mereka.

Dalam cerita itu disebutkan, isyarat dan roh orang-orang yang telah meninggal tersebut, dikenali dengan tangan mereka yang hangat atau dingin. Orang mati disebutkan datang dari sisi timur Baitullah, sedangkan yang hidup, datang dari sisi Barat.

Hal ini kata Adriani dan Kruyt, mempengaruhi pandangan masyarakat lokal di Midden Celebes, bahwa orang mati pergi ke barat, ke tanah orang mati, karena mereka yang masih hidup dikatakan senang menghadapi matahari. Hal inilah yang kemungkinan besar membuat orientasi arah makam pemeluk agama Islam di Midden Celebes, berorientasi timur-barat. Pada setiap upacara kematian di masa itu, orang yang hidup harus turun dari tangga timur Lobo, sedangkan jenazah dibawa menuruni tangga di sebelah barat, sehingga mereka menghadap ke barat.

Semua jenis cerita dari mereka yang menunaikan ibadah haji di masa itu, berkisar pada pertemuan orang hidup dan orang mati. Pemahaman yang hadir di masa itu, yang meyakini Mekkah sebagai kota tempat orang yang sudah meninggal, adalah letaknya di arah Barat Midden Celebes, arah di mana matahari terbenam, di mana tanah orang mati terletak.

Baca juga:  Akar Tradisi Ulama Al-Azhar Berziarah ke Makam Imam Syafii

Salah satu dari beberapa orang Tojo yang menjadi haji memberi tahu N. Adriani dan A.C. Kruyt bahwa seorang yang terpelajar di Mekkah, telah memberitahunya, ada empat cara untuk menjadi haji. Pertama, dipanggil oleh Nabi Muhammad, di mana semua dari mereka wafat di Mekkah. Kedua, dipanggil oleh malaikat, di mana jamaah haji tersebut melakukan perjalanan bolak-balik antara Mekkah dan tempat tinggal mereka, untuk mempelajari orang banyak. Ketiga, disebut namanya oleh Kabah, di mana mereka ini tetap di Mekkah untuk menerima pendidikan. Keempat, dipanggil oleh setan, di mana mereka ini hanya menjadi haji untuk membuat nama atau gelar, dan kemudian kembali ke negara mereka sesegera mungkin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top