Kendati tak pernah bertemu langsung dengan Cak Nur, pemikirannya sangat signifikan mengubah haluan jalan intelektual dan aktivisme saya. Pemikirannya yang dimaksud tertuang dalam buku “Islam, Kemoderanan, Keindonesiaan”. Itulah pertama kali saya “memberanikan diri” membacanya. Kenapa mesti menyisipkan term “memberanikan diri”?
Sebab, pemikiran Cak Nur merupakan sesuatu yang terlarang bagi kami selaku aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kota Padang. Pemikiran Cak Nur tak akan pernah selaras dengan gagasan khilafah islamiyah–yang pernah kami teriakan secara lantang.
Saya teringat–di suatu seminar menjelang pemilu 2009–betapa semangatnya bung Senata mengkritik Fadli Zon mengenai kondisi ekonomi nasional dengan tawaran resep mujarab ekonomi Islam ala HTI. Pun saya juga pernah menentang seorang dosen saat kuliah di IAIN Padang (2008-2010)–yang tak selesai–dengan mengusung ide khilafah sebagai pengganti NKRI. Dan saya menuding dosen itu terpengaruh gagasan Islam liberal.
Tapi mabuk khilafah itu tak berlangsung lama. Mungkin sekitar enam bulan kami aktif mengikuti liqo, kajian, dan lain-lian. Untuk kami bertiga, saya, bung Senata dan Ahmad Taufik (sekarang dosen UIN Jambi), dimentori langsung petinggi HTI Sumatera Barat.
Beliau mengajari kami ragam ideologi, seperti sosialisme, kapitalisme, Pancasila dan Islamisme. Menurutnya, hanya Islam satu-satunya ideologi yang benar. Dan kita harus mengembalikan kejayaan Ottoman Empire yang belum begitu lama mengalami keruntuhan (1924).
Suatu ketika, saat kajian HTI, kami bertiga mungkin terlalu kritis, hingga membuat ketua HTI kota Padang meradang. Bahkan ia menuding kami sebagai antek yang menyusup ke HTI. Dan saat itu juga, setelah kajian berakhir, kami memutuskan utk keluar dari HTI.
Selama masa transisi, saya memulai menjelajah “pemikiran terlarang” Cak Nur. Saya benar-benar penasaran bagaimana konsep Cak Nur tentang sekularisme dan politik Islam yang kerap dianggap sesat oleh para penantangnya. Membaca Cak Nur di fase ini sungguh menggugah nalar. Saya merasa terselamatkan secara ideologis.
Selama ini, saya dan teman seperjuangan hanya mengetahui pemikiran Cak Nur mulai dari masa MAN (Setingkat SMA) melalui buku Hartono Ahmad Jaiz dan Adian Husaini sebagai gerbong yang menentangnya. Rasa-rasanya terlalu naif jika hanya mengamini apa yang dipahami para penentangnya, sementara kita sama sekali tak pernah bersentuhan dengan pemikiran itu.
Di samping itu, kami juga diskusi dan meminta pandangan para senior tentang peta dinamika organisasi extra kampus. Dari situ, dengan penuh hikmat dan kebijaksanaan, kami melabuhkan pilihan pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).